Jika mendengar kata mahasiswa, tentu paradigma kita adalah orang di perguruan tinggi yang sedang mempelajari suatu bidang tertentu di jenjang yang paling tinggi dalam sistem pendidikan di negara Indonesia. Namun sayangnya, polemik mulai bermunculan mengenai keberadaan mahasiswa.

Mahasiswa bisa dikatakan semakin “matang” pemikirannya. Akan tetapi, masih banyak mahasiswa yang hobi membungkam pendapat diri atau acuh terhadap apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan mereka. Jika mahasiswa berani mengatakan pendapatnya, mungkin saja pendapat mereka bisa menjadi penggerak perubahan. Sebagaimana kata-kata yang mengasumsi bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, tentunya tidak salah apabila masyarakat mengandalkan mahasiswa sebagai harapan baru bangsa.

Harapan besar yang dibebankan pada mahasiswa seakan mulai memudar. Saat ini mental mahasiswa sedang mengalami degradasi, hal ini menjadi masalah yang sangat fundamentalis. Mental menentukan arah pikiran dan arah batin seorang manusia. Bisa dikatakan sangat mendasar karena berhubungan dengan tata cara seorang untuk melangsungkan kehidupan bermasyarakat, bermartabat, berbangsa, & bernegara. Maka dari itu pembenahan mental memang sangat dibutuhkan. Seperti halnya yang baru-baru ini dibahas oleh pemerintahan Indonesia yakni mengenai Revolusi Mental.

Permasalahan seperti dibidang sosial, politik, budaya, ekonomi, teknologi dan lain sebagainya, masih membuat mahasiswa tebal telinga dan menutup mata. Mereka yang seharusnya dapat menjadi wadah diskusi karena mengenyam pendidikan yang tinggi, justru malah tidak mampu menemukan solusi. Terlebih lagi, masalah politik yang malah ramai mengkritik. Solusi? Jelas sepi. Mahasiswa sekarang sungguh dramatis, ambil enaknya dan masalah memikirkan kepentingan orang banyak bisa diurus dibelakang.

Jika bicara masalah efek kemajuan teknologi, memang benar penggunaan teknologi adalah hak dan mungkin sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat, mengingat semakin dewasa seseorang harus semakin sering bergelut dengan waktu sehingga pasti condong lebih memilih hal yang serba instan. Terlepas dari perkembangannya yang terus maju dengan pesat, hal ini ternyata memiliki efek bagi sebagian besar masyarakat, khususnya membuat mental mahasiswa yang lama-lama terkikis habis.

Mental yang terkikis pada diri mahasiswa adalah masalah kritis. Mental dapat menetukan sikap dan jalan pikiran. Bagaimana bisa mahasiswa menjadi harapan bangsa dan negara bila mental yang menentukan sikap dan jalan pikiran lambat laun semakin terkikis? Dan bagaimana jika teknologi semakin berkembang pesat sedangkan mahasiswa terus menerus mengalami degradasi mental? Tidak lama lahirlah generasi serba instan, mau ambil enaknya saja, protes sana sini tanpa memberikan solusi untuk membangun bangsanya sendiri.

Yang namanya mahasiswa harusnya bisa menjadi diri sendiri yang dapat mengendalikan diri tanpa mudah dipengaruhi oleh orang lain.

Sekali lagi, perbaikan mental adalah hal yang fundamental. Untuk itu kalian para mahasiswa yang masih skeptic, segera berintuisilah menjadi mahasiswa yang aktif peduli akan tempat kalian berpijak. Teruslah ingat bahwa mahasiswa adalah generasi penerus bangsa. Jangan mau diiming-imingi oleh suatu hal yang serba instan untuk menjaga mental kalian agar tidak semakin pudar. Dan demi negara ini, perdalamlah dasaran diri sebagai seorang motivator dan problem solver. Sadarkan diri, siapa kalian, mengapa kalian disini. Karena reaksi tanpa aksi adalah nihil.

(blng)