Judi sejak kemunculannya menjadi masalah atau bahkan penyakit yang tak akan pernah usai. Masalah ini menyebar luas melintasi ruang dan waktu. Bagaimana tidak? Selain menjadi permasalahan global, judi juga merupakan salah satu kegiatan tertua umat manusia. Judi sudah menjadi hal yang sangat diatur atau dibatasi sejak zaman Mesir kuno dibuktikan dengan adanya penemuan artefak berumur 3.000-4.000 tahun SM. Artefak tersebut berisi peraturan yang  melarang adanya perjudian karena sudah sangat merajalela di kalangan masyarakat. Aturan tentang judi juga ditemukan dalam hukum dinasti China kuno, Romawi kuno, Talmud Yahudi, serta dalam Buddha juga Islam. 

Dampak negatif dari judi tentu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Masalah ini menjadi semakin kompleks dengan adanya kemajuan teknologi informasi, kegiatan ini ditransformasi menjadi lebih mudah akses dan penggunaannya. Dimulai dari tahun 1994 sejak munculnya kasino online pertama hingga sekarang, pasar perjudian online seluruh dunia diproyeksikan mencapai pendapatan sebesar Rp1,6 kuadriliun pada 2024. 

Di negeri kita tercinta, perputaran uang dalam judi online di Indonesia mencapai Rp327 triliun sepanjang tahun 2023. Indonesia juga memperoleh predikat sebagai negara dengan pemain judi online terbanyak di dunia. Berdasarkan keadaan tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengusahakan pemutusan akses sebanyak 566.332 konten yang mengandung unsur perjudian. Upaya penegakan hukum atas penyebar, pelaku, dan pemain judi online juga telah dilaksanakan oleh pemerintah. 

Presiden pun ikut turun tangan dengan menerbitkan surat keputusan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pemberantasan judi online. Baru-baru ini terdapat inisiasi adanya bantuan sosial (bansos) dari pemerintah untuk korban judi online. Telah diklarifikasi bahwa bansos tersebut ditujukan untuk keluarga terdampak penjudi, bukan untuk pelaku judi online. Meskipun begitu, usulan tersebut tetap menuai banyak kritik dari beberapa pihak.

Bantuan dari pemerintah sepertinya akan berakhir sia-sia jika perbuatan judi tetap saja berlangsung di sekitar keluarga terdampak. Alih-alih memberi bantuan sosial, pemerintah perlu memberikan bantuan berupa pendampingan agar bisa menghentikan perilaku pelaku judi online. Karena upaya-upaya yang telah disebutkan di atas tidak akan berdampak banyak jika pelaku sudah menderita kecanduan melakukan judi online. Masyarakat juga nampaknya sudah muak dalam upaya mereka mengatasi pelaku judi, sebab belakangan ini terdapat kasus seorang polisi wanita yang membakar suaminya sendiri lantaran diduga kesal gajinya dihabiskan untuk judi online.

Ketidakpastian dalam judi adalah daya tarik bagi pelakunya. Dopamin yang dilepaskan oleh otak saat menjalani aktivitas menyenangkan, seperti makan, seks, mengonsumsi narkoba atau alkohol, ternyata juga dilepaskan saat berada dalam situasi ketidakpastian tersebut dan akan berakhir menjadi candu. Seperti halnya rehabilitasi narkoba, pelaku judi online juga memerlukan rehabilitasi agar bisa lepas dari kegiatan merugikan ini. Dengan memahami akar emosional dari kecanduan, seseorang dapat lebih efektif mengatasi dorongan untuk berjudi. Ada beberapa terapi yang dapat dilakukan, seperti hipnoterapi, terapi perilaku kognitif (CBT), dan pendekatan psikoterapi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberi perhatian lebih terhadap kondisi psikologis pecandu judi online dan orang-orang terdekat yang terdampak. Tujuannya agar korban-korban judi tidak terus bertambah dan mencegah tindakan kriminal yang dipicu kegiatan tersebut.

(M. Iqdam Faidhirrahman)