Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang diajukan Komisi I DPR kepada Badan Legislasi menuai banyak kritik dari kalangan pers dan jurnalis. Meskipun bertujuan untuk menyelaraskan regulasi penyiaran dengan perkembangan teknologi dan dinamika informasi terkini, draf tersebut dikhawatirkan dapat mengancam kebebasan pers dan jurnalistik.

Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah perluasan cakupan kerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam pengaturan dan pengawasan konten siaran. Hal ini memang diperlukan untuk menjaga kualitas tayangan dan siaran pada masa sekarang. Banyak platform yang dapat menjadi media untuk penyebaran informasi yang tidak relevan dan tidak berkualitas. Akan tetapi, di sisi lain timbul kekhawatiran terkait munculnya penyalahgunaan kekuasaan dan penghambatan kebebasan pers. 

Bagi para jurnalis, kebebasan pers adalah landasan utama dari pekerjaan mereka. Kebebasan ini memungkinkan jurnalis untuk melaporkan fakta tanpa takut terhadap tekanan dari pihak manapun. Namun, dengan KPI yang memiliki otoritas lebih besar, ada potensi bahwa jurnalis akan menghadapi hambatan lebih besar dalam menjalankan tugas mereka. Ketakutan akan sanksi atau penutupan media dapat membuat jurnalis memilih untuk tidak meliput isu-isu sensitif atau kontroversial demi menghindari masalah. Media yang khawatir terhadap regulasi yang ketat mungkin akan lebih cenderung untuk mengikuti aturan yang aman dan menghindari kritik terhadap pihak-pihak tertentu, terutama pemerintah. Hal ini dapat mengurangi keberagaman perspektif dan kualitas informasi yang disajikan kepada publik.

Poin lain yang menjadi sorotan adalah isi dari Pasal 50B ayat (2) huruf c lantaran pasal ini dianggap dapat mematikan pers dan jurnalistik. Isi pasal ini mencantumkan  tentang larangan penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Pelarangan tersebut tidak seharusnya dilakukan karena investigasi merupakan bentuk tertinggi produk jurnalistik. Investigasi jurnalistik merupakan pilar penting dalam demokrasi dan berperan dalam mengungkap tindak pelanggaran kepentingan publik seperti korupsi. Pelarangan ini dikhawatirkan akan membungkam suara kritik dan menghambat upaya penegakan hukum.

Selain pasal di atas, Pasal 50B ayat (2) huruf a, d, e, dan f juga menuai kritik dari kalangan pers dan jurnalis. Pasal-pasal ini berisi larangan penayangan konten yang memuat narkotika, gaya hidup negatif seorang tokoh, kekerasan di masyarakat, dan unsur mistis. Meskipun bertujuan untuk melindungi masyarakat dari konten negatif, pembatasan ini berimplikasi pada terbatasnya ruang gerak jurnalis dalam menyampaikan informasi yang akurat dan relevan kepada masyarakat. Pers dan jurnalis memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan informasi dari berbagai peristiwa, termasuk yang mengandung unsur-unsur diatas.

Melihat berbagai poin di atas, dalam proses pembahasan dan pengesahan RUU Penyiaran ini, keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan sangat diperlukan. Pemerintah, media, organisasi jurnalis, dan masyarakat harus duduk bersama untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan tidak hanya mampu menghadapi tantangan era digital, tetapi juga melindungi kebebasan pers dan hak-hak jurnalis.

Diharapkan draf RUU Penyiaran tersebut dapat ditinjau ulang dan direvisi agar tidak mematikan fungsi pers dan jurnalis serta tetap dapat menghasilkan tayangan yang berkualitas tanpa mengesampingkan kebebasan pers. Jangan sampai dengan adanya undang-undang baru ini keberlangsungan pers di Indonesia dibungkam oleh para pemegang kekuasaan.

Penulis: Puti Narita Adzra