Belum lama ini, masyarakat Indonesia, merasakan euforia perayaan HUT RI ke 70. Semarak dan hiruk pikuk perlombaan terasa sampai ke penjuru negeri. Kekhidmatan upacara bendera 17 Agustus 2015, masih terasa dan menggali sisi nasionalis masyarakat Indonesia.

Untuk pertama kalinya presiden ke-7 kita, Joko Widodo, menjadi pemimpin upacara di istana negara Jakarta. Slogan “Ayo Kerja” diluncurkan dan mengudara diseluruh stasiun televisi Indonesia sebagai tanda perubahan dan realisasi dari janji-janji sang presiden terhadap rakyatnya.

Namun begitu, perayaan dan gegap gempita HUT RI ke 70 ini juga dibarengi dengan berbagai permasalahan pelik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat luas. Melemahnya ekonomi Indonesia, menguatnya dollar serta melonjaknya beberapa harga bahan pangan menjadi sorotan utama yang harus segera di tuntaskan oleh pemerintah.

Seperti dilansir VIVA.co.id, Menko Darmin mengatakan “Rupiah melemah dikarenakan modal asing terus keluar dari Indonesia”. Terakhir rupiah melemah di harga Rp 13.838  per dollar AS (20 Agustus 2015) setelah menguat Rp 13.824. Langkah nyata akibat melemahnya rupiah terhadap dollar, BI membatasi pembelian Valas (Valuta Asing). BI mengubah peraturan transaksi valas dari US$100.000 menjadi US$25.000. Hal ini dilakukan agar nasabah membeli valas jika membutuhkan saja dan jika melakukan pembelian di atas nominal tersebut maka harus lewat underlying. Langkah yang diambil BI ini diharapkan dapat membuat nilai rupiah stabil, bisa dikatakan untuk saat ini rupiah belum merdeka.

Faktor belanja negara yang minim, pembangunan infrastruktur yang lamban, serta efek dari masalah global seperti devaluasi mata uang di beberapa negara di Asia, membuat rupiah melemah. Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung lamban.

Rakyat pun dibuat resah dan gundah gulana disaat harga daging sapi melonjak tajam, bahkan di beberapa tempat stock daging sapi habis karena para penjual daging sapi melakukan mogok akibat dari mahalnya harga daging sapi. Masih belum kering masalah harga daging sapi, harga komoditi lainya yaitu daging ayam ikut ikutan naik. Di beberapa daerah harga per-kilo daging ayam mencapai 40-44 ribu rupiah. Menurut Menko yang baru “Harga ayam ikut-ikutan naik dikarenakan masyarakat beralih ke daging ayam ketika daging sapi langka”. Permintaan daging ayam oleh konsumen yang terlalu besar sementara pasokan yang didistribusikan ke pasar tidak ditambah. Rakyat pun akan sembelit, jika hal yang sama terjadi pada bahan pangan yang lainnya. Pemerintah harus lebih sigap menangani permasalahan pangan seperti ini yang langsung berdampak pada perut rakyat.

Strategi jitu swasembada pangan harus secepat mungkin direalisasikan, namun pemerintah juga tidak bisa bergerak sendiri, rakyat juga harus berkontribusi jangan hanya menanti. Faktor lahan yang kurang,bibit unggul, serta pupuk menjadi masalah yang mengiringi mimpi pemerintah melakukan swasembada pangan.

Ketahanan pangan adalah salah satu aspek yang harus dipikirkan matang-matang, agar tidak terjadi kelangkaan bahan pangan, kenaikan harga pangan, bahkan kelaparan. Bahan pangan pokok seperti beras, jagung, gula, sayuran serta daging menjadi komoditi yang harus digaris bawahi pemerintah Indonesia. Memang sulit melaksanakan program ini, karena ada beberapa golongan yang mengatasnamakan egonya sendiri menginginkan cara yang instan. Alhasil impor barang dari luar negeri mau tidak mau harus dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar dan menstabilkan harga komoditi yang labil.

Sensitifitas masyarakat terhadap pangan membuat beberapa orang berteriak bahwa “negeri ini belum merdeka”,”negeri ini penuh para bedebah”,”negeri ini semakin rumit dengan gimik dan skenario politik yang diperankan oleh para wakil rakyat”. Bukan hal yang salah, jika rakyat memandang sebelah mata pemerintahan kali ini. Menteri yang baru dilantik saja berseteru dengan wakil presidennya, masalah yang seharusnya ada di meja rapat pun menjadi konsumsi publik beberapa hari ini.

Revolusi mental yang di gadang-gadang belum menunjukkan hasil yang signifikan,dan rakyat hanya bisa meratapi nasib negeri ini dari balik layar kaca televisi. Kemerdekaan pun menjadi hal yang basi jika revolusi hanya menjadi imajinasi. Semua aspek harus dibenahi, bui tikus-tikus berdasi, kontrol jalannya birokrasi dan segerakan realisasi.

Jangan sampai rakyat merasa terbebani, dan diminta mengerti atas apa yang terjadi pada negeri ini. Seharusnya pemerintah yang turun kebawah, mengerti dan mendengarkan suara rakyatnya. Bukan rakyat yang disuruh naik keatas dan mengerti polemik-polemik yang ada.

(aep)

Sumber foto : kompasiana.com