Oleh: Luluk Latifah

Dunia kampus tentunya tidak akan terlepas dari pergerakan mahasiswanya, sebagai sarana aktualisasi diri serta pengembangan karakter. Arah pergerakan bermacam-macam, pun tempatnya pula berbeda-beda. Ada pergerakan yang berfokus pada perjuangan keagamaan, kesenian, sosial-masyarakat, dan lain sebagainya. Ada pula pergerakan intra kampus, pun ekstra kampus. Merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. Keputusan tersebut mengatur kedudukan organisasi intra ini merupakan kelengkapan yang bersifat non-struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan. Dengan demikian, Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) adalah organisasi mahasiswa yang bukan merupakan kelengkapan non-struktural pada organisasi yang berada di lingkup perguruan tinggi. Jadi, perbedaan yang mendasar di antara organisasi intra dan ekstra kampus hanya terletak pada kedudukannya dalam organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan. Dengan kata lain, OMEK tidak berada pada lingkup perguruan tinggi, dalam segi pembiayaan operasional, struktural organisasi, AD/ART bahkan hal remeh-temeh lainnya. OMEK bersifat independen.

Stigma Negatif Kerap Muncul

OMEK melekat dengan stigma negatif yang telah digencarkan oleh beberapa orang, atau mungkin kelompok. Sebut saja, organisasi anti OMEK, mereka dengan gencarnya mendoktrin tentang pelarangan mahasiswa baru untuk mengikuti OMEK. Lucunya, mereka melarang dengan cara doktrinasi. Satu sisi, para OMEK juga menawarkan tujuan mulia organisasinya dengan doktrin. Semua doktrin yang diberikan oleh OMEK atau anti OMEK, pada akhirnya tergantung, kepandaian mengolah kata dan membungkusnya menjadi indah. OMEK menjadi konotasi negatif karena boleh jadi hal-hal yang dilakukan dalam menuju proses kebaikannya atau tujuan mulianya diwarnai dengan hal-hal yang buruk. Mawapres FILKOM, Fahmi Alfareza pun memberikan sedikit pemikirannya tentang OMEK, bahwa sebetulnya setiap apa yang dilakukan manusia pasti ada baiknya ada buruknya juga.

Bukan Politik Praktis

Sebuah organisasi dapat dipandang sebagai organisasi berpolitik praktis apabila organisasi tersebut ada keterkaitannya dengan kebijakan negara maupun kelompok politik seperti partai politik dan lain sebagainya. Seperti yang ditulis di awal paragraf, OMEK bersifat independen seharusnya, supaya tidak keberpihakan atau bahkan menciderai tujuan mulia OMEK karena dikucuri dana oleh partai politik, misalnya.

Mahasiswa Bebas Memilih Organisasi Apapun

Karena organisasi intra kampus belum ada yang menaungi tentang ilmu politik, mungkin OMEK adalah jawaban untuk itu. Kebanyakan OMEK memang fokus pada politik jadi, OMEK lahir untuk menaungi siapa saja yang ingin memperdalam ilmu politik. Kembali lagi kepada masing-masing dari kita, mau ikut belajar dengan mengikuti salah satu OMEK, atau tidak sama sekali. Semua kembali ke minatnya masing-masing. Sampai saat ini begitu banyak OMEK yang mewarnai dinamika kampus, tentunya tidak prematur. Contohnya saja, Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) , Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan lain sebagainya. Perbedaan ideologis setiap OMEK seharusnya disikapi dengan bijak, dengan tidak perlu menjatuhkan yang satu dengan yang lain.

Hasil Kaderisasi Mulus, dengan Melahirkan Pemimpin

Mungkin, tolak ukur kaderisasi yang dilakukan di setiap OMEK berjalan mulus dengan lahirnya pemimpin baru dengan wajah baru! Sejarah pun mencatat, beberapa tokoh OMEK menjadi pimpinan lembaga kemahasiswaan di kampus bahkan pemerintahan. Seperti contohnya Muhammad Nur Fauzan (Presiden EM UB 2018) yang merupakan kader dari KAMMI. Tak sedikit pula kader OMEK berkarir gemilang di pemerintahan, contohnya saja Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Kabinet Kerja, Sofyan Djalil dari HMI. Bahkan ada beberapa mahasiswa FILKOM yang ikut andil di OMEK, seperti Abdul Latif yang akrab disapa Ibeng (Sistem Informasi 2015) aktif di IMM, Anjas Pramono Sukamto (Teknik Informatika 2016) yang sekarang sedang menjabat sebagai Ketua PMII Rayon Musa Al Jabar (Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Komputer).

OMEK memang bisa menjadi salah satu pilihan strategis untuk mereka yang ingin belajar berpolitik. Meskipun, toh pada kenyataannya tidak semua kader memiliki concern ke arah sana. OMEK memang menyimpan kekuatan besar. Baik dari segi jumlah kader maupun jaringannya. OMEK memang sudah ikut “terjun” dalam kegiatan internal kampus. Frasa terjun disini bukan dalam artian secara organisasi aktif terlibat dalam kehidupan kemahasiswaan lingkup perguruan tinggi, tetapi melalui anggota-anggotanya yang mampu menjadi pimpinan organisasi intra karena kemampuan dan kapabilitasnya yang mumpuni. Dengan kata lain, atau bahkan pemaknaan lain, OMEK berhasil menyisipkan “bidak catur” mereka dalam jabatan-jabatan tertentu di dalam organisasi intra kampus. Pada akhirnya toh itulah tujuan mereka, membina kader yang berkualitas, guna memimpin keberlanjutan negara ini. Jadi, kalau tidak ada yang ikut OMEK, siapa yang mau menjalankan perpolitikan ini?

“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga Ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si Dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri,” – Bertolt Brecht, Penyair dan Dramawan Jerman.