Oleh: Alluragilius Whichisae

Aku bisa melihat hantu. Iya, hantu. Makhluk yang menurut orang-orang adalah arwah penasaran dari orang yang sudah meninggal. Mereka menjadi hantu karena urusan yang belum selesai atau sesuatu yang mengikat dan akan menuju cahaya jika semua itu telah terselesaikan. Walaupun aku masih tidak yakin mengapa mereka ada, percayalah, bisa melihat mereka adalah hal yang sangat buruk.

Contohnya ketika tiba-tiba melihat kepala-kepala muncul dari balik dinding atau ketika melihat orang-orang di album foto yang sebenarnya sudah meninggal berkeliaran di sekitarmu.

“Hai!”

Aku terkejut saat sapaan itu tiba-tiba terdengar bersamaan dengan tepukkan di bahu yang lumayan keras. “Bisa gak, gak usah pake ngagetin?,” kataku kesal pada manusia yang saat ini sedang tersenyum konyol. Aku terbiasa mengidentifikasi makhluk-makhluk di sekitarku untuk berjaga-jaga.

“Biasa aja dong, Dre,” sahut Bubur sedikit jengkel. Nama manusia itu Bubur, atau setidaknya begitu kami memanggilnya. Alasannya, karena Bubur dan perawakannya mengingatkan kami pada pemeran utama dalam sinetron di salah satu televisi swasta yang jumlah episodenya mencapai 2000 episode.

“Gue biasa aja, situ yang sewot,” balasku sambil menoyor bahu Bubur pelan. Bubur adalah salah satu sahabat manusia yang paling sering mengajakku bicara. Dia tahu mengenai kemampuanku melihat hantu dan untungnya tidak mempermasalahkan itu, meskipun dia sendiri sangatlah penakut.

“Wekawekaweka,” Bubur menyuarakan kata ‘wkwk’ yang saat ini sepertinya sudah masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia dan memiliki arti. “Betewe Dre, gue sebenernya gak berniat ember nih, ya… Gue cuman mau ngasih info aja sama loe, anak-anak EMIF lagi bantuin Altaf nyiapin segala sesuatu buat nembak lo,” Bubur melihat jam tangannya sebelum kemudian menghela nafas. “Dan itu sekitar lima belas menit dari sekarang,” lanjutnya.

Aku terdiam. Altaf. Cowok itu lagi. Ketua dari divisi yang Bubur ikuti di Eksekutif Mahasiswa Informatika. Cowok yang sudah tiga bulan ini terus menerus mencoba menembus dinding yang kubangun dari orang-orang yang terlalu mencolok seperti dia.

Altaf selalu mencoba menjadi sosok teman yang sering orang-orang elu-elukan. Dia sering membantuku menyelesaikan tugas dan praktikum, membimbingku di mata kuliah pemrograman, menjadi partner joggingku setiap paginya, pengingat makan dan jam tidur. Dia berhasil membuatku tidak bisa kalau tanpa dia. Dan sialnya, atau akhirnya aku jatuh cinta pada cowok itu. Cowok yang sampai saat ini, bahkan belum tahu bahwa aku bisa melihat hantu.

“Hello?!,” Bubur mengetuk keningku dengan jari-jarinya yang bengkak itu. “Back to the world, sista,” ucapnya dengan nada genit.

Biasanya aku menjadikan itu sebagai bahan olokkanku, tetapi saat ini gairah untuk menanggapinya pun tiba-tiba hilang. Apa yang harus kulakukan kalau Altaf benar-benar akan menembakku, oke menembak bukan dalam arti sesungguhnya.

“Deandrea, loe harus terima Altaf,” kata Bubur lagi.

“Yang bener aja, Bur. Gue gak pantes buat Altaf,” sahutku tak setuju.

“Gak pantes apanya sih? Altaf ganteng, loe lumayan manis, kalo feminim dikit. Altaf pinter, loe gak bodo-bodo amat, kalo privat sama dia. Altaf aktif organisasi, loe ikut satu kepanitiaan ,walaupun itu dia yang maksa. Altaf baik, lo agak jinak kalo lagi sama dia. Awwww!,” Aku memukul lengan Bubur keras.

“Loe ngomong, seakan-akan gue gak ada bagus-bagusnya kalo bukan karena Altaf. Seakan-akan gue sangat bergantung sama dia,” cerocosku gemas pada Bubur yang saat ini sedang mengelus-elus lengannya yang kupukul.

“Tuh, jawabannya itu. Loe memang sangat bergantung sama Altaf!,”

Aku tertegun. Ya. Aku memang sangat bergantung padanya.

“Gak ada yang lebih indah, dari saling melengkapi Dre,” lanjut Bubur.

“Tapi, gue aneh, Bur. Gue gak normal,” lagi-lagi aku terpikir akan hal itu. Kejujuran mengenai kemampuanku pada Altaf. “Gue bisa ngeliat…,”

“Hantu? Gue kenal ketua gue, Dre,” Bubur memotong ucapanku. “Dia orang yang paling baik, toleransi dan logis yang pernah gue kenal. Dan satu hal yang gak perlu diraguin lagi, dia suka sama loe. Dia juga sayang sama leo. Sesederhana itu,”

Aku lagi-lagi tertegun. Saat ini apa yang Bubur katakan benar-benar membuatku sadar akan sesuatu.

“Kak!”

Seorang manusia, lagi-lagi dengan tiba-tiba menarikku berdiri. “Ikut sebentar yuk,” katanya sambil menarikku mengikutinya begitu saja.

“Sukses, Dre!,” seruan Bubur masih sempat kudengar.

Manusia itu, yang baru kuingat bernama Merry. Membawaku ke koridor utama fakultas sambil berteriak, “Drea! drea!,” membuat orang-orang di sekitar kami yang asalnya hiruk pikuk, seketika berbaris rapi membentuk barikade sepanjang koridor.

“Drea!,” seruan keras itu memaksaku untuk fokus ke ujung koridor. Di sana, Altaf berdiri sambil tersenyum lebar. Cowok itu kelihatan sangat tampan, dengan kemeja maroon yang dia tekuk di lengannya sampai sikut. “Aku bawain kamu jembatan dari Curug Omas kesini. Maaf ya, belum bisa bawa kamu ke sana,”.

Aku menggigit bibir. Altaf orang Bandung. Dia sering sekali menceritakan indahnya kota Bandung, dan menunjukkan foto-fotonya di beberapa situs alam di sana. Ada satu jembatan berwarna merah dengan lantai kayu yang terlihat sangat ajaib. Di bawah jembatan itu ada air terjun yang lumayan luas. Kalau lengan jembatan itu tidak setinggi sekarang Altaf bilang, dia bisa saja merasakan derasnya aliran air terjun itu. Dan lagi-lagi, cerita mengenai jembatan itu membuatku jatuh cinta.

“Drea, aku sayang sama kamu. Tresno jalaran soko kulino. Artinya jatuh cinta karena terbiasa, kan?. Oke, kalau gitu berarti aku udah jatuh cinta sama kamu. Aku terbiasa bareng kamu, ngelihat senyum kamu, ngelihat ekspresi cemberutmu, sedihmu, nerima marah kamu, belajar sesuatu bareng kamu, belajar jatuh cinta…,” Altaf mengatakan semua itu sambil mengacak rambutnya. Kebiasaannya kalau sedang gugup.

Aku kemudian segera berjalan ke arahnya, dan baru sadar bahwa orang-orang yang membentuk barikade tadi ternyata membawa duplek berwarna merah yang saling tersambung seperti lengan jembatan. Di lantai koridor yang kulewati pun, terhampar duplek berwarna kayu yang dilapisi plastik. Membuatku tanpa ragu langsung memeluk Altaf, begitu sampai di hadapannya.

“Aku bisa liat hantu, Taf,” ucapku kemudian.

“Aku tau,” sahutan itu membuatku cepat-cepat melepas pelukanku dan menatap Altaf ragu. “Kamu selalu ketakutan saat sendirian, tiba-tiba ngeliat udara dan terkejut sendirian, kamu sibuk buntutin orang dan tiba-tiba nyentuh bahunya sambil ngomong sendiri,”.

Aku seketika merasa bodoh. Benar, Altaf adalah pengamat yang baik. Mana mungkin dia tidak sadar, segala keanehan dan tingkah mencurigakanku.

“Kamu mau jadi pacar aku, dan membagi semua rasa takut itu sama aku?,” pertanyaan Altaf kubalas dengan anggukan pelan. Cowok itu tersenyum lebar, dan kembali memelukku diiringi tepuk tangan orang-orang dan sorakkan selamat mereka. Memang seharusnya begitu. Deandrea membutuhkan Altaf sebagai kekuatannya setelah jatuh cinta padanya.

Kukira cerita indahnya berakhir di sini. Tapi, hawa dingin yang tiba-tiba menyergap membuatku refleks melihat ke bawah. Dari balik bahu Altaf, aku melihat sesosok hantu dengan rambut yang panjang di sebelah sisi. Hantu itu memeluk kaki kanan Altaf dengan erat, sedangkan setengah badannya terlihat seakan-akan tenggelam di tanah. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi lengan pucat dan beberapa luka itu saja, sudah membuatku takut. Mengapa aku baru melihatnya sekarang, padahal sepertinya sudah beberapa lama hantu ini bersama Altaf.

“Taf, ada yang meluk kaki kamu dan kayaknya ngikutin kamu entah dari kapan,” kurasakan tubuh Altaf menegang saat aku mengatakan itu.

“Hantu?,” tanya Altaf dengan suara rendah.

“Iya, hantu,” jawabku kemudian. Saat kukira Altaf akan melepasku dan segera pergi, cowok itu malah mengeratkan pelukkannya. Bagus sekali, Drea. Belum 5 menit kamu resmi menjadi pacar Altaf, dan kamu sudah membuatnya ketakutan. Bukankah Altaf bilang aku boleh membagi ketakutanku?

 

–Selesai–