Oleh: Danty
Aku terbangun saat tengah malam. Kulihat jam menunjukkan angka 2 dini hari. Sepertinya jet lag yang menyerangku masih belum pulih. Padahal sudah 3 hari aku di Jakarta. Kalau begini caranya, bisa-bisa jet lag-ku baru akan pulih ketika waktunya kembali ke New York. Aku hanya ada waktu seminggu di Jakarta setelah setahun tidak pulang.
Aku memutuskan untuk bangun. Minum teh mungkin enak. Apalagi semalaman hujan turun. Aku masih khawatir rumah ini akan banjir seperti dulu tapi Ibu bilang, sudah 2 tahun terakhir ini tidak pernah banjir. Syukurlah, mungkin Jakarta sudah menemukan pemimpin yang tepat dan masyarakatnya sadar.
Aku harus melewati lorong lalu ke ruang keluarga, baru bisa sampai dapur. Lorongnya penuh dengan foto keluargaku, dariku kecil hingga lulus SMA, sampai fotoku di New York yang kukirimkan lewat email ke Ibuku. Ibu sering bilang, ini adalah lorong waktu. Terkadang aku sering malu ketika teman atau saudara berkunjung dan harus melihat siklus pertumbuhanku di lorong ini.
Sampai di ujung lorong, aku melihat cahaya dari TV yang menyala. Di sofa di depan TV, ayah duduk. Punggung lebarnya membelakangiku. Ayah punya punggung yang lumayan bagus karena dulu hobi berenang. Pelan-pelan aku berjalan ke arah dapur agar tidak ketahuan ayah. Tapi sepertinya gagal, ayah menoleh ke belakang.
“Virga?” kata ayah memastikan
“Ya, ayah,” kataku. Ayah kembali duduk menghadap TV. “Aku ingin membuat teh, apa ayah mau juga?” tanyaku.
“Tidak, aku akan tidur. Selamat malam,” kata ayah seraya bangun dari duduknya, dan menuju kamar tidur.
“Selamat malam,” kataku sambil berjalan ke dapur.
Selesai membuat teh, aku duduk di sofa. Aku mengaduk pelan teh ku, uap panas masih mengebul. Aku menyalakan TV dan National Geographic Channel langsung muncul. Ayah masih menyukai channel ini. Sudah lama aku tidak menonton TV. Kesibukanku sebagai designer di salah satu rumah mode di New York tidak memungkinkan untuk bersantai, seperti saat ini. Aku harus berangkat pagi dan pulang malam.
Sambil menyeruput teh yang masih panas, aku melihat bayang-bayang album foto dari cahaya TV di atas meja. Aku menaruh cangkir disamping album foto itu lalu mengambilnya. Aku tersenyum sendiri melihatnya. Ku buka sampul depan, kemudian lembar demi lembar foto aku perhatikan dengan seksama. Ada beberapa foto yang aku lupa, tapi kebanyakan membawaku kembali ke memori masa lalu. Sampai pada foto dimana aku memakai gaun merah untuk acara Prom Night SMA. Bukan dengan pasanganku, melainkan dengan ayahku. Aku menggandeng lengan ayah yang senyum lebar. Saat itu juga aku tersenyum lebar. Ah…. kejadian yang sulit untuk aku lupakan. Momen yang membuatku bisa jadi seperti sekarang ini. Kak Mika, aku rindu kakak.
6 tahun sebelumnya
“Woah, beli apaan?” kataku sambil menutup pintu mobil. Aku melihat ada 2 atau 3 atau mungkin lebih, tas belanja di kursi belakang. Kak Mika yang sedang serius memundurkan mobil hanya menoleh padaku lalu tersenyum.
“Jangan bilang ayah ya,” katanya setelah mobil kami sudah di jalan.
“Iya iya,” jawabku malas. “Anterin les sekalian ya,” kataku sambil membuka handphone ku.
“Gak mandi dulu? Kamu bau banget,” kata Kak Mika sambil mengerutkan hidungnya.
“Gak usah lah, ngapain mandi segala. Nanti malah telat,”
“Masuknya juga masih 1 jam lagi. Gak malu apa cewek badannya bau kayak gini? Jorok tau gak,”
“Enggak, biasa aja. Aku bawa parfum kok. Tinggal semprot,” kataku mulai agak kesal
“Cewek tuh harus jaga penampilan. Cewek itu makhluk indah jadi harus dijaga. Kamu udah SMA kelakuan masih kayak cowok. Coba dandan, deh. Kamu cantik kalo badanmu dirawat,”
“Iya iya bawel deh,” kataku semakin kesal. Kak Mika cuma bisa menghela napas lalu kembali fokus menyetir.
Aku memang tidak bisa dandan. Berbeda dengan Kak Mika yang super feminin dengan seribu alat kosmetik di kamarnya. Alat kosmetik yang aku punya paling hanya pelembab dan bedak. Itu pun dibelikan oleh Ibu dan jarang sekali aku pakai.
Aku dan Kak Mika sangat berkebalikan. Aku dekil, Kak Mika berkilau. Aku sawo matang, Kak Mika putih langsat. Aku kurus, jangkung, Kak Mika bisa dibilang punya badan yang proposional walaupun tingginya hanya sebahuku. Tak jarang temanku kaget kalau aku punya kakak secantik Kak Mika. Tak sedikit pula teman Kak Mika yang kaget ketika pertama kali bertemu aku.
Yang sama hanya otak kami. Kami terkenal pintar. Kak Mika pernah jadi ketua OSIS dan memenangkan beberapa olimpiade saat SMA, dan sekarang jadi mahasiswi di universitas ternama. Aku selalu juara kelas, walaupun sering bolos untuk ikut pertandingan basket. Tapi ada sedikit perbedaan diantara kami dan orang tua kami. Ayah dan Ibu tidak pernah memujiku saat menang karya ilmiah tingkat nasional, sedangkan Kak Mika akan dipuji habis-habisan ketika menang lomba menyanyi 17-an di RT.
“Vir, tolong cariin hapeku dong di tas. Ayah tadi nitip beli lampu tapi lupa yang berapa watt,” pinta Kak Mika. Dengan malas aku mengambil tas Kak Mika di kursi belakang. Ketika aku membalikkan badan, aku lihat mobil dari arah depan melaju dengan kencang ke arah mobil kami. Terakhir yang kuingat hanya suara Kak Mika berkata dengan lirih, “tolong adikku. Dia terjepit,”
***
4 tahun sesudahnya
“Aku pulang,” kataku sambil melepas sepatuku
Rumah berantakan, seperti biasa. Cup mie instan dan minuman bersoda berserakan di meja ruang keluarga. Majalah, koran dan album foto sudah tidak pada tempatnya. Ayah masih tidur di sofa. Kaosnya terangkat sampai perut buncitnya terlihat. Dapur juga sama. Piring kotor menumpuk. Sampah makanan sudah seminggu tidak dibuang. Pintu kulkas terbuka sedikit.
Aku tidak berniat sama sekali untuk membersihkan rumah. Kakiku melangkah ke kamarku, melewati sampah-sampah dan majalah yang berserakan. Aku sedikit mengumpat ketika tumpahan minuman soda mengenai kakiku. Kemudian aku masuk kamar dan mengunci pintu.
Kepalaku menyandar di pintu kamar. Helaan napas berat keluar dari hidungku. Sudah 2 tahun sejak kematian Kak Mika, dan orang tuaku masih belum bisa menerimanya. Bagaimana tidak, Kak Mika adalah anak kesayangan mereka. Kak Mika adalah kebanggaan keluarga. Semua orang sudah memprediksi keberhasilannya. Kak Mika punya otak cerdas, bisa diterima di perusahaan yang dia inginkan. Kak Mika punya paras cantik, bisa memilih lelaki mana yang ia mau. Semua orang berharap padanya. Sampai pada supir mengantuk dan menghantam keras mobil kami, yang akhirnya harus mengambil nyawa Kak Mika. Kak Mika kehabisan darah saat di ambulans. Seharusnya Kak Mika yang pertama kali ditolong karena beberapa potongan mobil menusuk tubuhnya, tapi ia bersikeras memohon pada para penolong untuk menolongku terlebih dahulu. Kematian Kak Mika memang bukan kesalahanku. Tapi entah kenapa aku merasa disalahkan karena sikap orang tuaku. Mereka berhenti bicara padaku. Jarang makan, begadang semalaman, menangisi foto Kak Mika.
Tiba-tiba kudengar teriakan dari ruang keluarga. Ibu teriak-teriak dan kudengar ada barang yang pecah. Aku langsung keluar kamar dan melihat vas kesayangan ibu sudah hancur berkeping-keping. Napas ayah yang berderu menahan amarah. Ibu baru pulang dan tas belanjanya masih menumpuk di sofa. Akhir-akhir ini Ibu sering belanja. Sedangkan aku hanya terdiam di ujung lorong.
“Istri macam apa kamu, minta uang seenaknya seperti itu?!” ayah geram
“Kamu suami tidak becus. Kerjaanmu hanya bermalas-malasan di rumah ,” kata Ibu
“Apa kamu bilang?!” kata ayah. Ketika ayah mengangkat tangannya hendak memukul ibu, aku langsung berlari ke menghadang ayah. Kulebarkan tanganku melindungi ibu.
“Ayah hentikan!”
“Diam kamu! Tidak usah ikut campur urusan orang tua!” kata ayah sambil mendorongku.
Aku jatuh tersungkur disamping ibu, dan saat itulah ayah memukul ibu. Ibu berteriak kesakitan.
“Ini salahmu mengijinkan Mika membawa mobil,” kata Ayah sambil menunjuk Ibu yang menahan tangis. Tenggorokanku terasa tersekat mendengar perkataan ayah. “Andai saja Mika masih di sini,” kata Ayah sambil menghela napas.
“Kamu yang tidak bisa menerima kematian anakmu! Kenapa harus menyalahkanku?!” balas ibu dengan nada lebih tinggi.
“Kalian sama-sama monster,” kataku memotong pembicaraan mereka. “Monster menyedihkan yang tidak tahu perasaan,” kataku sambil bangun. Aku menatap mata kedua orang tuaku. Mereka terlihat geram dengan perkataanku tadi.
“Apa kamu bilang? Kalau saja Mika tidak menjemputmu, dia pasti masih hidup. Kalau saja kamu membantunya keluar dari puing-puing—,” serobot ayah
“Mika sudah sepantasnya hidup, bukan aku. Aku harusnya mati, karena aku bukan yang kalian inginkan!” kataku memotong perkataan ayah. “Cukup menyalahkanku. Aku juga cukup menyalahkan diriku sendiri. Apa kalian lupa aku ini juga anak kalian?” kataku. Tangisan yang kutahan akhirnya jatuh juga
Aku menyeka pipiku dengan punggung tanganku. “Apa ibu lupa sudah melahirkanku? Apa ayah lupa mengantarku sekolah setiap pagi? Apa kalian lupa kalian punya anak satu lagi? Aku juga rindu Kak Mika. Apa kalian tahu, setiap malam aku berharap Kak Mika yang hidup bukan aku. Karena aku sama sekali tidak diinginkan di dunia ini,” kataku dengan satu tarikan napas.
Kulihat wajah tertegun kedua orang tuaku. Mereka seakan tersadar setelah mendengar ucapanku tadi. Ingin aku mengeluarkan semua isi hatiku, tapi hanya tangisan yang keluar. Aku terisak di depan kedua orang tuaku yang hanya bisa diam terpaku. Ku keluarkan semua tangisan yang terpendam dalam diriku sejak Kak Mika meninggal. Aku menangis sepuasku sampai akhirnya ibu memelukku. Ia juga ikut menangis. Tak lama, ayah juga ikut memelukku. Kami menangis bersama sampai kami tidak bisa membedakan air mata yang jatuh milik siapa.
***
“Kamu sih ketinggian,” kata Gilang, temanku, saat mengantarku mencari gaun untuk acara Prom Night. Tapi gaun yang ku mau tidak ada ukurannya. Sudah 3 gaun yang ku mau tidak ada ukuran yang pas untukku. Aku hanya cemberut ketika kami berjalan ke parkiran.
“Trus gimana nih? Mau pulang aja?” tanya Gilang ketika kami sudah di dalam mobilnya
“Gak usah, anterin aku ke Tanah Abang aja mau gak?” pintaku sambil memasang safety belt.
“Hah? Ngapain?” tanya Gilang
“Aku mau buat sendiri aja gaunnya,” jawabku santai.
Tiga minggu sebelum acara Prom Night kuhabiskan untuk membuat gaun. Tanteku adalah seorang desainer, aku belajar banyak darinya. Sebenarnya sudah sejak lama aku tertarik dengan fashion. Aku juga sudah mulai belajar berdandan memakai kosmetik Kak Mika. Sayang kalau tidak dipakai.
Saat hari H, aku memakai gaun yang kubuat sendiri. Aku tersenyum puas melihat gaunnya di badanku. Aku tinggal merapikan riasanku, dan menunggu Gilang menjemput lalu kami berangkat ke aula sekolah. Saat aku sedang memakai lipstick, pintu kamarku terbuka dan kedua orang tuaku masuk. Aku tersenyum ke arah mereka.
“Udah siap?” tanya ibu. Aku mengangguk dengan semangat. “Gaunmu bagus banget loh. Ibu boleh dibikinin satu?” goda ibu. Aku tertawa kecil mendengarnya
“Jangankan satu, nanti aku buatkan selemari,”
Saat ibu hendak membenarkan rambutku yang agak berantakan, telepon rumah berbunyi dan ibu langsung keluar untuk mengangkatnya. Sekarang di kamar hanya ada aku dan ayah. Aku tersenyum kecil melihat ayah bingung harus berbuat apa. Sejak kejadian saat itu, ayah dan ibu sudah mencoba untuk merelakan Kak Mika. Semua foto Kak Mika yang ada di lorong dipindah ke kamar Kak Mika agar tidak mengingatkan, kata ibu. Namun ayah terkadang masih kesulitan untuk memulai pembicaraan denganku.
“Kamu cantik sekali, Vir. Gaunnya juga. Kamu hebat nak,” kata ayah sambil tersenyum. Aku kaget mendengar kata-kata itu dari mulut ayah. Tidak pernah sekali pun ayah memujiku. Aku mencoba tersenyum tapi tenggorokanku tersekat. Kutahan air mata yang akan jatuh. Ayah terdiam, aku juga terdiam. Entah mengapa pujian ayah bisa membuatku sangat senang. Lebih senang daripada semua kata-kata manis yang diucapkan lelaki lain selain ayah padaku. Mereka seperti manis buatan sedangkan ayah dari manisnya tebu. Asli dan tulus. Aku tersenyum lebar sampai deretan gigiku terlihat.
“Vir, ayo cepat. Nanti Gilang keburu jemput loh,” teriak ibu dari ruang keluarga. Saat aku hendak keluar kamar, ayah memanggilku.
“Boleh ayah yang antar kamu? Kalo pacarmu gak keberatan. Sudah lama ayah tidak mengantarmu,” kata ayah ragu. Aku hanya tertawa mendengarnya lalu mengangguk dengan cepat.
“Boleh kok,” kataku lalu mengambil hapeku untuk SMS Gilang kalau aku berangkat dengan ayah. “Oh iya, Gilang bukan pacarku. Dia cuma teman,” kataku mengklarifikasi saat kami keluar kamar.
Ayah hanya mengangkat alisnya, tanda tidak percaya. “Aku serius,” kataku tegas. “Setidaknya belum,” kataku lagi sambil tersenyum malu disusul tawa ayah.