Oleh: Alluragilius Whichisae

Alesh memandang kumpulan orang-orang ini tanpa minat. Dia malas untuk ikut euforia di sini. Kenapa? Pertama, Alesh bukan orang yang kelewat bersemangat seperti mereka. Kedua, Alesh tidak menginginkan perjalanan ini. Ketiga, Alesh tidak begitu mengenal orang-orang ini. Keempat, dia kesepian. Dan masih ada kelima, keenam, ketujuh, dan alasan lainnya.

Tapi sepertinya alasan yang utama adalah karena mereka bukan keluarganya. Setidaknya menurutnya bukan. Alesh tahu diri. Dia bukan bagian dari mereka. Alesh hanya anak perempuan biasa yang baru saja menjadi yatim piatu. Yang kebetulan diadopsi begitu saja oleh salah satu pasangan dalam keluarga besar ini.

“Alesh?” Alesh mendongak begitu mendengar suara ibu angkatnya memanggilnya. Terlihat wanita yang usianya baru menginjak pertengahan tiga puluhan itu tengah tersenyum dan menatapnya lembut.

“Kenapa, tante?” sahut Alesh kemudian. Dia tidak bisa memanggil wanita ini dengan sebutan ‘mama’, ‘ibu’ dan sebagainya.

“Yakin barang kamu ngga ada yang tertinggal?” tanya wanita itu. Alesh menganggukkan kepala sebelum kemudian kembali memperhatikan anggota keluarga yang lain. Mereka sedang menunggu kedatangan kereta yang akan membawa mereka ke Malang. Untuk menghabiskan tahun baru di pantai bersama-sama. Melupakan peningnya kepadatan kota Jakarta.

Rencana yang benar-benar tidak perlu untuk Alesh. Karena di malam tahun baru, gadis itu hanya memerlukan selimut dan susu hangat di atap rumahnya. Dia tidak begitu memerlukan liburan, acara bersama, kumpul keluarga atau sebagainya. Lagipula keluarga ini begitu aneh. Mereka kan bisa pergi dengan mobil masing-masing, kenapa memilih kereta?

“Alesh kan?” Satu-satunya anak laki-laki keluarga ini yang sebaya dengannya bertanya dengan wajah penuh semangat.

“Iya. Ada apa?” Alesh menjawab dengan ragu.

“Ayo antar aku membeli camilan!” Alesh tidak sempat menolak saat anak itu tiba-tiba menariknya berdiri. Membuat anggota keluarga lain melihat ke arah mereka dan menitip banyak barang untuk dibeli. Dan Alesh tidak bisa memprotes apapun begitu anak itu memaksanya untuk berlari kecil menjauhi keluarga besar itu. Dia menyeret Alesh menyeberangi beberapa lintasan kereta api dan keluar dari stasiun sebelum kemudian memasuki sebuah minimarket.

“Saya rasa kamu perlu minta maaf.” Alesh bersuara begitu anak laki-laki di hadapannya ini melepas genggamannya di depan sebuah rak yang penuh dengan makanan ringan.

“Daru. Namaku Daru.” Anak laki-laki itu tersenyum lebar sebelum kemudian mengambil beberapa bungkus keripik kentang.

“Kenapa juga aku harus minta maaf?”

Alesh menyipitkan matanya pada anak laki-laki benama Daru itu. “Tentu saja karena kamu sudah menyeret saya begitu saja.”

“Menyeret begitu saja?” Daru menoleh dengan tampang polosnya. Dia tertawa keras sebelum kemudian menyerahkan semua makanan ringan itu pada Alesh.

“Hey!” Protes Alesh.

“Justru aku itu menyelamatkan kamu.” Daru tidak menghiraukan protesan Alesh. Dia berjalan santai ke lemari pendingin dan mengambil beberapa botol soda.

“Saya tidak minta…”

Drrt ddrrrrttt.

Getar ponsel di saku Alesh membuatnya cepat-cepat berjalan ke kasir dan menyerahkan seluruh makanan kering di tangannya. Dia kemudian segera mengangkat telpon, diikuti pandangan ingin tahu Daru. Dan pandangan Daru berubah begitu melihat wajah Alesh dan ucapan gadis itu selanjutnya.

***

Alesh memandangi kereta yang ada di hadapannya sementara Daru masih berbicara dengan ayah angkatnya di telpon. Kereta. Satu lagi alasan kenapa Alesh tidak menyukai perjalanan keluarga ini. Dia belum pernah menaiki kereta.

“Lesh, ayo naik.” Suara berat Daru menyadarkan Alesh.

“Mmm, kamu yakin ini keretanya?” Tanya Alesh kemudian begitu mereka menaiki gerbong kereta.

“Om Rian bilang mereka semua udah di gerbong enam.” Jawab Daru tanpa menoleh. Dia berjalan mendahului Alesh menyusuri gerbong yang baru mereka naiki. Alesh berhenti melangkah dan menatap punggung Daru ragu. Sungguh, perasaan gadis itu benar-benar tidak enak.

“Lesh?” Daru memandang Alesh bingung dari seberang gerbong. “Ayo!”

Alesh yang masih saja diam membuatnya tidak sabar. Daru kemudian memindahkan kantong makanan ringan ke tangan kirinya dan berjalan cepat ke arah Alesh. Dia menggenggam tangan gadis itu dan segera menyeretnya lagi.

“Daru! Jangan seret saya!” Protes Alesh. Bersamaan dengan itu dia menyadari kalau gerbong-gerbong yang sedari tadi mereka lewati adalah gerbong kereta ekonomi biasa. Bukan gerbong pribadi seperti apa yang keluarga mereka bicarakan.

Tiba-tiba terjadi goncangan pelan. Kereta yang mereka naiki mulai berjalan. Alesh terpaksa menarik kaos Daru dan berpegangan erat.

“Keretanya udah jalan.” Gumaman Daru terdengar.

“Daru, saya rasa kamu harus memastikan apakah kita menaiki kereta yang benar.” Masih berpegangan erat pada Daru, Alesh mencoba berbicara. Dia masih takut melepas pegangannya.

“Memang kenapa?” Tanya Daru bingung.

“Saya tidak yakin. Tapi, coba kamu telpon lagi Om Rian.” Jawab Alesh bingung.

“Om? Kamu panggil papa kamu Om?” Daru melepaskan genggamannya.

“Astaga, itu tidak penting.” Alesh buru-buru menarik lengan Daru dan membawa laki-laki itu duduk di kursi gerbong yang kosong. Dan saat itulah mereka melihat gerbong kereta itu. Gerbong pribadi yang sudah dipenuhi oleh anggota keluarga mereka. Gerbong yang ada di sebelah kereta yang mereka naiki. Alesh dan Daru berpandangan. Mereka seakan bisa berbicara lewat pikiran karena setelahnya mereka menghela nafas bersama-sama. Mereka salah menaiki kereta.

 

***

“Bagaimana?” Alesh menatap Daru yang baru saja menutup telpon dengan pandangan penuh harap.

“Om bilang kita turun di Bandung dan naik kereta lain dari sana ke Malang.” Jawab Daru lemas.

Alesh memalingkan wajah ke jendela. Terlihat perumahan padat penduduk yang begitu sesak. Bahkan ada yang sangat dekat dengan lintasan kereta. Alesh bisa membayangkan bagaimana dia tidak bisa tidur setiap malam bila tinggal di rumah itu. Ah, tiba-tiba saja dia merindukan orangtuanya. Orang tua kandungnya.

“Alesh, kenapa kamu ngga suka keluarga kami?” Alesh menoleh pada Daru bingung. Tidak menyukai keluarga mereka?

Kapan Alesh mengatakan itu? Gadis itu kemudian sadar. Dia tidak pernah turut serta dalam obrolan mereka, tidak pernah berbicara dengan anggota keluarga lain dan selalu menyendiri. Pasti itu yang membuat Daru berpikiran seperti itu.

“Saya bukannya tidak suka. Hanya belum terbiasa.” Ya, benar. Itu alasannya. Menurut Alesh.

Daru terlihat mengangguk sebelum kemudian tersenyum. “Aku mengerti.” Laki-laki itu kemudian mengeluarkan sekaleng soda dan menyodorkannya pada Alesh. “Ngomong-ngomong kok cara ngomong kamu tuh formal banget sih? Aku tuh kaya lagi ngomong sama turis yang baru bisa bahasa Indonesia.” Tanya Daru lagi.

Alesh mengangkat bahu. “Saya lahir di keluarga yang formal. Di antara seorang profesor dan seorang ahli kimia. Mereka selalu berbicara seperti ini di rumah. Lagi pula, saya tidak punya banyak teman.” Alesh menyadari kalau dia terlalu banyak bicara. Tapi, entahlah. Alesh merasa nyaman berbicara pada laki-laki ini.

“Benarkah? Tapi di usia kita, seharusnya kamu membuka diri. Pelajari hal-hal yang ‘remaja’. Ya semacam itulah.” Daru asyik mengunyah keripik kentangnya.

“Remaja ya…” Alesh mulai menerawang. Masa remajanya ia habiskan di dalam laboratorium, perpustakaan, museum dan kamarnya. Sampai usia enam belas tahun ini pun dia bahkan belum pernah bermain ke tempat-tempat ‘remaja’ ataupun mempelajari hal-hal yang menurut Daru adalah ‘remaja’. Ah, bahkan Alesh tidak yakin remaja itu apa.

“Lesh, kalau kamu mau berusaha, kamu pasti bisa kok.” Alesh memandang Daru sejenak. Dia baru sadar kalau laki-laki di hadapannya ini ternyata tampan. Dagu kokoh, hidung yang tinggi, juga mata yang tajam dan tegas itu. Alesh menghela nafas. Daru adalah orang baik.

“Daru, saya benci kamu.”

***

Daru masih menatap Alesh tidak percaya. Apa yang Alesh katakan? Membencinya? Atas dasar apa?

“Kenapa? Apa salah aku? Aku ngga pernah berbuat jahat sama kamu.” Daru akhirnya bisa bersuara. Enak saja, gadis ini mengatakan kata benci padanya.

“Saya benci orang baik.” Alesh kemudian memalingkan wajahnya ke jendela. Daru menatap gadis itu bingung. Benci orang baik? Alesh? Gadis aneh yang begitu formal, penyendiri dan tidak bisa bergaul ini benci orang baik?

“Lalu…” Daru mengikuti arah pandangan Alesh. Masih perumahan padat dan gedung-gedung yang tinggi. “Kau ini apa?”

Alesh menoleh. Dia memandang Daru dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Kalau orang baik, berarti kamu benci dirimu sendiri?” Tanya Daru.

Alesh tampak tertegun. Entah apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan. Raut wajahnya tidak bisa di tebak. Tidak ada ekspresi yang berarti di sana. Ah, kalau diingat-ingat. Semenjak bertemu dengan Alesh kemarin sore, Daru tidak pernah melihat ekspresi apa pun dari gadis itu selain bosan dan terkejut. Nada suara Alesh mungkin mengekspresikan suasana hatinya, tapi kenapa wajahnya tidak?

“Bukan. Saya orang jahat.” Alesh kembali memandang keluar jendela.

“Bagaimana dengan Om Rian dan Tante Tiara? Mereka orang baik, dan kamu membenci mereka?” Daru tidak tahan untuk bertanya tentang hal ini.

Tapi Alesh tidak menjawabnya. Dia masih terpaku pada pemandangan entah apa di luar sana. Seperti ada yang menarik. Tapi Daru tidak yakin. Wajah Alesh tidak mengekspresikan apapun.

“Saya hanya anak yatim piatu yang tidak sengaja bertemu dengan mereka. Saya anak yatim piatu yang menurut mereka begitu malang. Saya anak yatim piatu yang akhirnya jadi bagian keluarga kalian.” Daru terdiam. Meskipun memandang keluar jendela, Daru bisa melihat tatapan sendu Alesh. Gadis itu jelas sedang terluka.

“Saya benci orang baik karena mereka selalu meninggalkan saya.” Ketika mengucapkan itu Alesh menoleh. Dan Daru bisa melihatnya. Alesh menangis. Air mata mengalir deras di pipinya. Tapi tetap wajah itu tidak mengekspresikan luka.

Ada apa dengan gadis ini sebenarnya?

 

***

Alesh terbangun begitu merasakan tepukan lembut di kepalanya. Dia tertegun melihat Daru yang tersenyum padanya. Seakan pembicaraan beberapa waktu lalu tidak pernah terjadi.

“Kita sebentar lagi turun.” Ucapnya kemudian sebelum kemudian sibuk dengan handphonenya. Mungkin menghubungi Om Rian.

Alesh mengalihkan pandangan ke jendela. Dia sedikit tenang melihat sawah, rumah-rumah mungil dan padang rumput juga lapangan luas yang dilewati kereta ini. Ternyata inilah sisi Bandung yang selalu disukai orang-orang Jakarta. Hijau dan lapang.

Mereka turun di stasiun Bandung yang begitu ramai. Tidak seperti Jakarta, Alesh sama sekali tidak merasa gerah. Dia memejamkan mata dan menikmati sejuknya angin di kota Bandung sembari menunggu Daru yang sedang membeli tiket.

Untungnya, kereta menuju Semarang akan tiba beberapa menit lagi. Meskipun hanya tersisa kursi eksekutif, Daru tidak keberatan membayar tiket yang jauh lebih mahal itu.

Alesh kembali teringat semua pertanyaan Daru dan semua jawabannya. Alesh benci orang baik karena Alesh selalu kehilangan mereka. Sahabatnya, orang tuanya, keluarganya yang dulu. Alesh selalu berharap akan banyak hal mengenai orang-orang baik itu. Dan dia selalu kehilangan mereka.

“Jadi, nama panjang kamu Aleshanee?” Daru tiba-tiba muncul dan menyodorkan kartu pelajar Alesh.

Alesh menerima kartu itu dan cepat-cepat memasukkannya ke dompet. “Berapa menit lagi keretanya tiba?”

Daru tidak menjawab pertanyaan Alesh. Laki-laki itu tampak asyik dengan handphonenya. “Astaga…” Gumaman pelannya juga masih bisa Alesh dengar. Alesh tidak tahu kalau Daru diam-diam tersenyum sambil melirik Alesh. Tersenyum karena tahu sebuah hal hebat dari Mr. Google.

 

***

“Jaka Andaru.”

Alesh menoleh ke samping dan mendapati Daru tersenyum padanya. “Apa?” Kereta menuju Semarang yang saat ini mereka naiki baru saja berangkat.

“Namaku Jaka Andaru. Artinya laki-laki yang bahagia. Mama sama Papa berharap aku selalu bahagia.” Daru menjelaskan tanpa diminta. Alesh diam-diam tersenyum. Tentu saja, Daru akan selalu bahagia.

“Lesh, kamu ngga bisa menilai orang hanya dengan melihat dua sisi.” Daru kembali bersuara. “Seperti halnya kamu ngga bisa menentukan iklim hanya dengan tropis dan subtropis. Masih ada pembagian iklim Koupen, berdasarkan matahari, letak geografis dan hal lainnya. Karena iklim di setiap daerah pasti berbeda.”

Alesh terdiam. Maksud Daru adalah dia tidak bisa menggolongkan orang hanya berdasarkan baik jahatnya. Setiap orang punya sifat dan watak yang berbeda.

“Menilai orang juga seperti reaksi kimia. Kamu ngga bisa tahu bagaimana sifat suatu larutan atau zat sebelum mereka bereaksi. Karena setiap zat punya reaksi yang berbeda. Ada yang menjadi dingin, panas, berubah warna, atau tetap seperti itu. Tergantung dari zat lain apa yang kita reaksikan dengan mereka.” Lanjut Daru.

Alesh mengerti maksud Daru. Setiap orang dapat dibaca sifatnya ketika mereka bereaksi pada apa yang kita lakukan.

“Lesh, kamu orang yang istimewa. Itulah alasan kenapa Om Rian dan Tante Tiara mengadopsi kamu. Bahkan saat kamu masih koma.” Daru tersenyum. Benar-benar senyum yang lembut. “Bukan karena mereka adalah sahabat orang tuamu, bukan karena kasihan. Tapi karena mereka tahu ,kalau kamu itu istimewa.” Alesh menggigit bibirnya. Tidak tahu harus berkata apa. Dia masih sangat bingung.

“Aku mengenal mereka, Lesh. Om Rian dan Tante Tiara seharusnya mengadopsi anak sejak dulu begitu mereka tahu mereka tidak bisa memiliki keturunan. Tapi akhirnya mereka memilih kamu. Setelah belasan tahun menunggu, akhirnya mereka memilih kamu. Mereka mencintai kamu, Lesh.”

Alesh sadar kalau air matanya mengalir deras. Dia bahkan tidak tahu kenapa dia bisa menangis. Hanya saja, rasanya dada Alesh begitu sesak. Lalu apa? Dia harus melakukan apa? Saat Alesh bangun dari komanya beberapa bulan lalu. Dia bahkan tidak tahu caranya bersedih dan marah saat tahu kalau orang tua kandungnya meninggal satu bulan sebelumnya di mobil yang sama dengan Alesh. Alesh saat itu ingin menangis, mengeluh, dan marah. Kenapa Tuhan tidak mengambil dirinya juga.

“Orang-orang baik itu tidak meninggalkan kamu begitu saja. Mereka pergi, mencoba mengajarkan kamu tentang hidup. Memberitahu kamu kalau Tuhan punya banyak rencana untuk hidup kamu.” Daru tampak menerawang. “Jangan lagi keras kepala dan memandang semuanya dari sisi negatif. Lepaskan apa yang ingin kamu keluarkan. Saat hati kamu berbicara, itulah yang harus kamu percayai.”

Alesh menghela nafas sebelum kemudian menatap Daru sungguh-sungguh. “Saya bahkan tidak tahu caranya menangis. Saya lupa kapan terakhir kali saya menangis. Tangis yang sesungguhnya.” Alesh mengusap pipinya yang basah. “Saya ingin marah, mengeluh, berteriak. Tapi saya tidak tahu caranya. Saya melupakan hal itu. Semuanya.”

Tenggorokan Alesh terasa sakit, tapi dia masih ingin berbicara. Entah kenapa sedikit demi sedikit dia merasa lega. Mengungkapkan apa yang dia inginkan pada Daru membuatnya lega.

“Lesh, kamu bukan melupakannnya. Hanya tidak mengingatnya. Kamu jarang, sekali melakukannya, karena itu kamu tidak terbiasa.” Daru mengusap rambut Alesh lembut. Tidak tahu kalau hal itu membuat Alesh semakin ingin menangis.

Mereka menghabiskan sisa perjalanan dalam diam. Hingga Alesh lelah menangis dan tertidur di bahu Daru. Bandung dan udara sejuknya menyelamatkan Daru dari kebingungan. Iklim dan reaksi kimia menyelamatkan Alesh dari ketidakmengertiannya.

“Terimakasih banyak, Jaka Andaru.” Ya, hati Alesh sudah bicara, dan gadis itu mempercayainya.

 

***

Daru membuka mata dan tersenyum merasakan berat pada bahunya. Meskipun tidak tega mengganggu tidur Alesh yang begitu nyenyak, Daru tetap harus melakukannya. Mereka hampir sampai di stasiun Malang.

“Lesh, bangun.” Daru tertawa melihat Alesh mengerutkan kening sebelum kemudian membuka kelopak matanya malas. Gadis itu pasti lelah karena menangis berjam-jam.

“Sudah sampai?”

Daru tersenyum. Bahasa formal Alesh yang khas terdengar merdu. “Bentar lagi.”

Alesh tampak mengangguk sebelum kemudian memandang keluar jendela. Mereka sama sekali tidak berbicara hingga tiba di stasiun. Daru mendahului Alesh turun dari kereta sebelum kemudian membantu gadis itu. Dia tersenyum hangat sebelum kemudian menggenggam tangan gadis itu erat.

“Kamu tahu, Lesh? Aleshanee, dalam bahasa India artinya adalah baik hati.” Ucap Daru.

Alesh tidak sempat menanggapi ucapan itu karena tiba-tiba seseorang memeluknya. “Sayang, kamu ngga apa-apa?” Genggaman tangan Daru pun terlepas.

Alesh menggeleng dan tersenyum. “Tidak apa-apa, bu.” Wanita itu tampak kaget dan melepas pelukannya.

“Kamu tadi bilang apa?”

Alesh kembali tersenyum. “Ibu.” Dan wanita itu kembali memeluknya erat. Alesh menatap ayah angkatnya yang sekarang terlihat begitu lega itu. “Maaf membuat ayah khawatir.” Ucapnya kemudian.

Daru menonton semua adegan itu sambil tersenyum. Alesh begitu cantik saat matanya menyipit dan bibirnya melengkung ke atas. Selain bahasa formalnya, Alesh adalah gadis yang luar biasa. Begitu baik hati. Ah, dia tiba-tiba merasa kesal saat menyadari bahwa gadis itu sekarang adalah sepupunya.

 

Ilustrasi : Jengar