Oleh: ro
Benda usang di sudut ruangan seolah menarik diri di hadap pandang. Memanggil niat ‘tuk melangkah meski hati ini membantah. Lantaran kurasa mereka ‘kan kembali merekah. Rasa-rasa masa itu, berkumpul lagi menjadi satu. Saat ia kusentuh, semua terasa kian utuh. Yang dulu hilang, kini terasa berlalu-lalang. Detik pun mereminisensi, oleh balada televisi.
Kuingat hari itu, kita masih SMA kelas satu. Kita rutin membolos kelas, demi acara TV jam sebelas.
Kuingat masa kuliah, tugas-tugas senantiasa mewujudkan resah. Yang seharusnya tekun belajar ujian, kita justru menonton film kala hujan.
Kuingat saat kita sengaja menjauh, cemburu menjadikan kita musuh. Namun rindu pun sukar ‘tuk dilawan, kaukirim pesan untukku di saluran nomor delapan.
Kuingat ketika janji kita saling terikat, hidup bersama hingga maut bersepakat. Sebuah kemustahilan; tertawalah kita dibumbui rasa pahit, teringat puisi di televisi yang hanya kauingat sebait.
Kuingat kala kita masih bersama, di ruang tamu memperdebatkan nama. Tangisan nyaringnya yang membelah malam, membuatmu terpaksa menggantikanku menyulam.
Hingga kuingat, masa-masa itulah yang ingin kulupa. Karena tiada detik yang kulewat, tanpa terbayang dirimu sekelebat. Wujud usang ini memang tampak tak ada harga, namun memorinyalah yang mengusik raga. Rasa, masa, asa ini akan tetap ada, meski kau pun, telah lama tiada.