
Oleh: Alluragilius Whichisae
“Hidup itu kaya diperkosa. Kalo ga bisa ngelawan, nikmatin aja.” Argumen yang sering kulontarkan saat bergurau dengan teman-teman dan belakangan kusesali karena ternyata hidup tidak sebercanda itu. Menjadikan pemerkosaan sebagai analogi benar-benar hal yang bodoh. Aku amat merasa malu jika mengingat betapa menyebalkannya kalimat-kalimat itu.
“Mau makan apa?” tanya Deva sambil menolehkan sedikit wajahnya. Membuat aku terkesiap saat sadar sejak menaiki motor tadi aku hanya diam. “Sayang?” tanya Deva lagi.
“Aku lapar banget, apa ya enaknya?” tanyaku balik sambil mencondongkan kepalaku ke depan.
“Ikana?”
Tempat yang ditawarkan Deva membuatku terkikik. “Itu si kamu juga laper banget.” Lalu kami tertawa. Ikana adalah kedai makan yang menjual nasi goreng dengan porsi jumbo. Biasanya satu porsi dihabiskan oleh 3 sampai 4 orang, tetapi kami bisa menghabiskannya berdua saja.
“Mau cerita sesuatu?” Ia kembali bertanya. Mendengarnya aku mengeratkan pegangan tanganku di pinggang Deva. Membuat laju motor yang ia kendarai menjadi lebih pelan.
Punggung Deva malam ini terlihat lebih tegap. Bahunya terasa lebih lebar dan kokoh. Jika biasanya aku memarahi Deva saat mengenakan kemeja ketat, malam ini aku harap dia mengenakannya karena cahaya dari motor dan mobil di jalan membingkai pemandangan ini dengan sempurna. Apakah aku pernah mengatakan pada Deva bahwa momen yang paling aku paling sukai adalah saat berada di atas motor dan dibonceng olehnya?
“Kamu beneran ga ingin cerita apa-apa?” Deva masih belum menyerah. “Aku ga mau makan kalo mood kamu kaya gini,” lanjutnya.
Sambil menghela nafas, aku mencondongkan tubuhku ke depan dan menaruh daguku di bahu kiri Deva. “Kemarin malem aku takut banget, Dev.” Mendengarnya, Deva berbelok di perempatan, mencari jalur yang lebih jauh.
“Kemarin malem ada kejadian apa?”
Kejadiannya pukul 10 malam lewat 5 saat aku dan Cintya berpisah di trotoar depan gerbang kampus. Jalanan menuju kost biasanya terang, tetapi beberapa hari ini lampu-lampu di sana mati. Mungkin lampunya sudah lama tidak diganti. Tidak seperti biasanya juga, warung tambal ban di depan gapura sudah tutup. Aku sudah cukup sering pulang lebih larut dari itu sendirian, jadi aku tidak terlalu khawatir.
Setelah berjalan melewati gapura, aku melihat perempuan lain berjalan tidak terlalu jauh di depanku. Ia menenteng tas kertas yang kelihatan berat sambil sesekali menyampirkan ulang kerudungnya. Kemudian sesuatu terjadi dengan sangat cepat. Perempuan yang akhirnya kuketahui mbak-mbak itu seperti ditabrak seorang pria saat ia menjerit keras. Pria itu kemudian melarikan diri, ke arahku.
Saat itu aku masih benar-benar mencerna apa yang terjadi sehingga yang kubisa lakukan hanya berdiri diam. Aku pun masih diam saat pria itu menghimpitkan tubuhku ke dinding dengan menempelkan tubuhnya begitu saja. Mungkin sekitar dua detik saat aku yang menatap jalanan dengan nanar kembali tersadar. Kudorong tubuh pria itu kuat-kuat, kuangkat sebelah kakiku dan menendang kaki kirinya hingga ia benar-benar terjatuh ke samping.
Aku menggeser tubuhku dengan cepat kemudian berjalan mundur menjauhi pria yang saat itu akhirnya berdiri sempoyongan sambil mengumpat. Aku mendengar beberapa kata umpatan dan kata-kata dalam bahasa jawa lainnya sebelum kemudian berlari lagi ke arah gapura dan jalan raya. Ya Tuhan, semoga dia tertabrak mobil atau terjatuh ke parit hingga pingsan.
“Mbak…”
Mendengarnya aku menoleh dan mendapati mbak-mbak yang menjerit tadi menatapku dengan wajah basah. “Mbaknya diapain sama yang tadi?” tanyaku khawatir.
“Dada saya,” jawabnya susah payah.
Aku saat itu mengusap bahunya pelan dan menyadari bahwa tubuhku mulai bergetar. Setelah berpisah di persimpangan dengan mbak-mbak tadi aku kembali mencerna seluruh kejadian tadi hingga tiba di kost. Teman sekamarku yang melihatku datang dengan tubuh bergetar bertanya kenapa. Saat itulah tangisku pecah.
Saat bercerita bagian itu juga isakanku terdengar oleh Deva. Cowok itu kembali berbelok ke jalan lain yang tidak seramai jalanan tadi. Tangan kirinya sesekali mengusap tanganku yang ada di pinggangnya. Dia sama sekali tidak mengatakan apapun sampai isakanku berhenti.
“Kok udahan nangisnya?” tanya Deva.
“Udah abis,” jawabku sedih sambil menempelkan wajahku ke punggung Deva. Sebenarnya itu kulakukan untuk mengelap air mataku menggunakan jaket Prodi yang dikenakan Deva.
“Dev,” panggil Deva. Dia selalu memanggilku dengan nama jika membicarakan hal yang serius. Ohiya, sekedar informasi, namaku Devira ya. Berkonsentrasilah saat membaca ini dan menemukan banyak “Dev”.
“Kenapa?” Sahutku.
“Aku bangga karena kamu seberani itu kemarin. Kamu juga bisa menenangkan orang lain meskipun kacau sekali. Kamu juga hari ini bisa sangat kuat dan ga terpuruk,” ucap Deva sambil menggenggam tanganku. “Makasih ya udah mau berbagi ketakutan kamu,” lanjutnya.
Aku mengangguk meskipun Deva tidak dapat melihatnya. Saat itu motor kami sudah sampai di Ikana. Tempat itu tidak seramai biasanya. Meja yang kami tempati tepat di samping jendela. Malam itu nasi goreng ikan asin jadi pilihan kami. Sambil menatap lalu lalang kendaraan aku memikirkan banyak hal.
“Tapi, Dev.”
Mendengar itu, aku menoleh dan mendapati Deva menatapku sedih. Dia kenapa?
“Aku sangat merasa bersalah karena kalo aja kemarin aku memaksa buat jemput kamu, kamu ga perlu mengalami hal seperti itu,” ucapan Deva itu membuatku menggeleng.
“Kemarin kan kamu lagi deadline Sayang, jadi,”
“Ini bukan lagi masalah enak ga enak, atau kamu gamau bergantung sama aku. Justru kamu harus. Aku udah janji aku bakal jagain kamu. Dengan kejadian ini bisa bayangin betapa marahnya aku? Aku juga takut kalo nanti hal yang lebih buruk menimpa kamu. Aku ga tahu bakal sehancur apa aku,” Deva mengucapkan semua itu sambil beberapa kali mengepalkan tangannya. Kok dia yang marah?
“Dev,” aku mencoba menenangkannya dengan menepuk lengan Deva pelan. Kriuuuk. Baiklah, terimakasih juga kepada bunyi perutku yang berhasil membuat Deva sedikit tersenyum.
“Aku ga mau tahu semalam apapun, sejauh apapun. Kalau kamu ga ada barengan pulang sampai kos, harus aku yang jemput. Janji ya?” Deva kembali berbicara. Aku mengangguk sambil menggigit bibirku. Deva saat itu benar-benar mirip seperti papaku. Lucu sekaligus bikin terharu saja. Aku beruntung sekali ya.
Tidak peduli apakah karena mabuk, stres maupun hilang akal, melakukan pelecehan seksual adalah hal yang tidak bisa dimaafkan. Sekalipun hanya menempelkan tubuh, rasa takutku saja bisa sebesar ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana orang yang mengalami hal lebih buruk. Semoga semua perempuan di luar sana tidak lagi mengalami hal-hal seperti ini. Semoga yang pernah mengalami, disembuhkan trauma dan ketakutannya.