Oleh: Poemnivore

Hari itu matahari begitu lancang pada makhluk bumi, hingga tak setitik pun sinarnya terpasung. Salah satu makhluk bumi bernama Bang Kribo hendak memakinya karena itu akan melunturkan baju hijaunya yang mencolok. Tapi kawannya, si anak milenial berhasil mengalihkan emosi Bang Kribo. Mungkin kalau tidak dicegah, saban penduduk Kampung Veje yang lewat di depannya akan kena semprot mulutnya.

Hari itu ternyata yang naik pitam bukan hanya Bang Kribo, beberapa penduduk kampung juga mulai berhamburan keluar karena hidung mereka mendadak gatal oleh asap-asap misterius. Pada tempo sepersekian detik, bunyi dentuman berhasil memekakkan telinga mereka. Belum sempat mereka menerka-nerka darimana gerangan bunyi itu, mendarat benda tajam nan berat yang memporak-porandakan Kampung Veje.

Benar-benar hancur. Kacau. Kehangatan yang selama ini mereka jalin, juga kasih sayang yang mereka pupuk bersama tuannya cedera parah. Saat mereka berlarian, mereka tidak hanya memikirkan keluarganya, namun juga tuannya yang selama ini melindungi mereka dari serangan yang membahayakan. Bagaimana tuan mereka? Ke mana gerangan perginya? Apakah tuannya tak memiliki kesempatan untuk mengamankan kampung ini?

Mereka tiba-tiba terlempar ke pusat keramaian tadi. Ya, mereka tahu ini adalah dimensi yang sering berdampingan dengan mereka. Dalam keadaan setengah sadar, Bang Kribo mencoba memahami keadaan yang menimpanya. Ia mulai memikirkan kampungnya, ia benar-benar terpisah di dimensi lain. Saat pertama ia membuka mata, sebuah pandangan mengiris hati menusuk matanya. Rupanya sahabat-sahabatnya telah terinjak-injak oleh massa. Mereka mati mengenaskan setelah tak sempat menyelamatkan diri saat asyik bercakap di dekat rumahnya. Padahal baru kemarin Bang Kribo bercerita keresahannya tentang kampung itu, apa masih bisa nanti keturunannya menikmati kedamaian dan kehangatan kampung yang dilimpahi kenikmatan dimensi mereka.

***

“Pagi, Ibu-ibu! Wah, kayaknya semuanya lagi pada bingung ya?” Sapa hangat dari Bu RT baru.

“Ya, gimana kita kagak bingung nih, Pok! Toko langganan kita aja udah ludes. Eh, pedagang lainnya pada libur, katanya sih mereka ketakutan.”

“Saya kemarin sampe nangis lihat beritanya Bu Sadeyyan. Dagangannya benar-benar ludes dan total kerugiannya gak main-main jumlahnya.” Sahut ibu-ibu lainnya.

Begitulah celoteh ibu-ibu pagi hari ini. Benar, Bu Sadeyyan bukan hanya pedagang yang dermawan, namun juga dikenal sebagai seorang bijak. Ia selalu mengibaratkan negeri ini seperti gerobaknya. Ya, barangsiapa yang memegang gerobak ia menjadi tuannya.

“Buk, pernah terpikir gak sih, kalau sayuran milik Bu Sadeyyan yang jadi primadona ibu-ibu di sini itu persis kayak anak-anaknya Ibu Pertiwi dari RT sebelah. Dulu mereka itu pernah rukun, adem-adem saja. Mereka adalah saudara kandung yang diikat oleh sebuah marga yakni Pancasila.” Sahut bu RT baru.

“Ya, memang benar dulu mereka seperti keluarga Ibu Pertiwi, tapi sekarang mereka musnah. Massa bukan hanya berhasil menginjak mereka, tapi juga berhasil memporak-porandakan gerobak tempat mereka diperjualbelikan.” Sambung salah satu wanita paruh baya yang dari tadi tampak diam saja.

Ya, Bu Sadeyyan memang tidak pernah menyebut nama dagangannya dengan brokoli, sayur kol, wortel, dan lain-lain, tapi Ibu Sadeyyan selalu menyebut mereka sebagai sayuran. Kalau hanya ada brokoli, Ibu Sadeyyan tidak menyebutnya dengan sayuran.

***

Pada akhirnya penghuni kampung Veje dan tuan mereka, Bu Sadeyyan hanya dapat meratapi nasib masing-masing. Bang Kribo, sebuah brokoli yang menjadi kesayangan tuannya pun akhirnya mendapati sayur kol yang sudah tak berbentuk, yang tak lain ialah sahabat kesayangannya, si anak milenial.