Oleh: Indah Zahrotul

Jalanan kota sehabis hujan dan kenangan kita yang pernah berboncengan. Dulu, bahagia sesederhana bercerita tentang masa depan, meskipun di masa depan, kita hanyalah masa lalu.

“Ra…” Kulihat bibirnya yang manis menyunggingkan senyum melalui kaca spion. Wajahnya bulat, ayu, dengan kulit sawo matang dan rambut sebahu, matanya berbinar melihat senja sehabis hujan reda. Jalanan masih basah sementara senyumnya yang ranum masih merekah bersama pipinya yang memerah.

“Eh, iya Sa? Kenapa?”

“Kalau dilihat dari kaca spion, ternyata wajahmu bulat juga ya Ra, lucu.”

“Sa, lihat bulan itu, bukankah wajahmu lebih bulat daripadanya? Hahaha.” Ia tertawa sambil menunjuk ke arah bulan yang sedang purnama dengan sangat sempurna.

“Ah mana ada, kamu selalu menyamakanku dengan sesuatu yang sifatnya sementara, waktu itu kamu bilang aku lebih mirip matahari karena menurutmu aku bisa memberi energi dan semangat saat kamu butuh, sekarang sudah hampir malam dan kamu bicara tentang bulan, besok apalagi? Hahaha.” Aku tertawa, kulihat ia masih tersenyum ranum sambil menepis rambut poni yang hampir menutupi mata lebarnya itu.

“Sa, kita tak pernah tau, kapan waktu bisa secepat itu pergi meninggalkan kehidupan nyata, beralih dari detik satu menuju detak detik yang lainnya, dan bergerak menuju angka-angka yang semakin tua jumlahnya. Sa, barangkali hari ini aku masih bisa bercanda bersamamu, tapi esok, siapa yang bisa menebak?”

Iya Ra, kamu benar. Mungkin kita hanya bisa bermimpi, tanpa pernah tahu hal apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ra, mimpi kita mungkin terlalu indah dan mustahil untuk diwujudkan adanya, bisakah kamu kembali ke suatu fakta bahwa kita sedang berada di antara derai duka dan air mata?”

Ia terdiam, menjelma menjadi sebuah kehampaan. Roda kendaraan berkejaran dengan riang. Seluruh jalan yang terbentang tak lebih dari ruang hampa bersama lelampuan yang berlompatan tanpa arah. Ia masih diam membeku, tubuhku seperti kabut malam yang tak dibutuhkan, sia-sia menebal di antara udara dan kelamnya waktu yang melaju.

Hari semakin malam, mataku semakin berat sementara jalan menuju desa masih sangat jauh dan Kayra masih terdiam. Ra, bukankah aku telah menghancurkan kebahagiaanmu hari ini? Batinku tanpa pernah bisa mengutarakan kegelisahan itu padanya. Ia masih terdiam, kadang merenung, dan sesekali mengalihkan wajahnya saat aku menatap kaca spion dan melihat raut kesedihan pada matanya. Jalanan terasa kosong, begitu pula pandanganku, semua berlalu dengan begitu cepat, aku tidak bisa berhenti, tidak bisa menghentikan yang terjadi.

***

“Ra… Kayraa!!!”

Gubrakkk!!!

Saat itu kepalaku terasa hangat, pandanganku memudar namun masih bisa kulihat gadis kecil itu terkapar di bawah roda truk penebang kayu yang hilang kendali. Kulihat jalan yang aspalnya memerah bersimbah darah, telingaku berdengung, tak peduli berapa banyak riuh teriakan yang melebar tak seirama, jantungku berdegubersama dengan denyutnya yang tiada karuan, kakiku terjatuh, pikiranku tiba-tiba sepi, pudar, dan buram, aku berharap mataku dapat terbangun dan meraih wajah bulat Kayra yang terpental jauh dariku. Segalanya berakhir dengan sunyi, entah dimana dan sudah berama lama. Sejak saat itu, aku mulai mengutuk kebodohanku.

Ra, maaf…

Maaf, aku tidak bisa menjadi seperti yang kau inginkan, aku tidak bisa memenuhi impian kita. Impian hanya sebatas impian Ra, bahkan untuk kembali melihatmu saja, aku perlu tidur dan berusaha untuk memimpikanmu. Ra, setidaknya aku masih harus hidup untuk beberapa waktu sampai kita berjumpa kembali, hidupku sudah terlalu bodoh dan aku sudah sangat lelah menangis setiap hari. Lima tahun Ra, lima tahun aku hidup dalam penyesalan, mempertanyakan keadilan pada Tuhan dan mencaci-Nya di setiap keadaan. Mencoba mengingat semua kejadian dan hanya memori bersamamu lah yang tersisa. Aku masih ingat bahwa aku gagal memberimu kebahagiaan, aku gagal memberimu apa yang kau inginkan. Aku selalu menyesali sesuatu yang bahkan tak mungkin bisa aku wujudkan, menyesal pernah hidup dan melihatmu pergi. Andai rasa sakit itu dapat berpindah, aku rela menggantikanmu Ra, aku rela menanggung semua kebodohanku asalkan kau tetap baik-baik saja.

Ra, maaf. Maaf jika aku hanya bisa menuliskan segala penyesalanku pada pesawat kertas ini. Aku harap ia bisa terbang, membawa serta mimpi-mimpi kita, menjadi seorang pilot yang gagah dan pramugari yang cantik jelita di dalam satu pesawat yang mewah. Ra, segalanya telah berubah, bahkan sehari setelah kau pergi. Hidupku berubah, impianku tak terarah, sangat mustahil untuk aku wujudkan kembali. Aku berharap untuk waktu yang pernah kita lewati untuk kau ikhlaskan jika harus menjadi sebuah masa lalu. Ra, keinginan kita untuk terbang telah aku tulis pada pesawat kertas ini, setidaknya ia masih bisa kita terbangkan di bawah langit biru, mengejar setumpuk awan yang berlarian seperti kuda-kuda putih yang berkejaran menuju bagian bumi yang lain, terhembus desiran angin melayang membawa impian sekaligus khayalan kita.

Ra, maaf jika aku tidak sanggup menyelamatkanmu dari segala kebodohanku. Maafkan aku sebab aku tidak sanggup merawatmu, maafkan aku sebab aku tidak sanggup menjadi saudara kembar lelaki yang dapat melindungimu. Maaf jika kini aku tidak sanggup berdiri dengan sempurna, untuk hidup seorang diri, tanpamu, tanpa ayah dan bunda. Kirimkan salamku pada mereka, sampaikan maaf dan rinduku untuk keluarga kecil kita.

Tidak lama bagiku, lima tahun mengumpulkan memori dan mencoba menerima kenyataan bahwa aku telah kehilanganmu, satu-satunya malaikat yang kumiliki. Menerima segala kondisi dan mencoba bangkit dari keterpurukan yang ada. Dan hari ini, tepat di hari ulang tahun kita, aku terbangkan pesawat kertas ini, menuju tempat indah yang lain, membawa do‘a dan impian kita. Ra, aku sudah bisa berdiri sendiri, meskipun hanya dengan satu kaki. Di depan pintu kenangan, tempat menuju keabadian, mengantar impian-impian yang pernah kau minta, tempatku menangis mengais kepingan-kepingan luka, merayakan perpisahan ke alam nirwana dan melewati sejuta cahaya bersama pesawat menuju luasnya angkasa. Selamat ulang tahun, selamat hari penerbangan, Ra.