oleh : Kalderas

Aku terombang-ambing. Di dalam kegelapan dan kesesakan yang tiada tanding. Ingin rasanya memosisikan tubuh dengan stabil, namun apa daya berbalik sendiri pun mustahil. Aku tak tahu disebut apa tempat ini, yang ku tahu aku kini tengah berhimpitan dengan sosok-sosok sejenisku. Terasa dari indra peraba kami yang memang bersinggungan sedari tadi.

Biar ku ingat bagaimana bisa aku sampai terperangkap di tempat yang tak layak untuk makhluk hidup sepertiku. Benar! Aku sedang asyik berburu tadi. Berburu karena mulut gatal dan suasana perut yang bebal karena lama tak diganjal. Andai saja Bang Toyibku itu pulang. Pasti Aku takkan kelaparan begini. Ia akan membawa rumput laut kesukaanku, makan bersama dan bercengkrama ria. Ah sudahlah, biarkan dia berpetualang. Toh dia akan kembali kalau tiba saatnya jagoan-jagoan kami datang.

Kali ini suasana sepi sekali. Tak kudengar tetangga cerewet menyapaku, begitu juga dengan rombongan kawan arisan yang biasa ‘ngerumpi’ di beranda membicarakan para pejantannya. Setengah jalan sudah ku lalui, Aku bertemu dengan makhluk licin bersama gerombolannya. Ukuran tubuhku 20 kali lipat lebih besar dibandingkan mereka. Tak butuh waktu lama, Aku berhasil membelah rombongan dan berujung dengan tujuan dalam lumatan.

Suasana yang semula terang benderang mendadak kelabu, ada bayangan hitam besar tepat di atas kepalaku. Arghhh, ada yang menusukku dari atas permukaan. Kemudiku lemah, keseimbanganku berubah arah. Aku berontak, seketika itu aku berhasil membuat alat bergoyang namun semakin aku melakukannya, kendaliku semakin tak beraturan. Akhirnya Aku takluk olehnya. Ragaku terus menerus naik tanpa kehendakku. Aku merasakan bagaimana melayang tanpa sayap sekarang.

Kukira Aku saja yang bernasib sial bukan kepalang, ternyata tidak. Setelah tubuhku diangkat ke permukaan, Aku dimasukkan dalam sebuah kontainer super besar. Di sanalah Aku bertemu sosok-sosok yang kucari tadi. Semakin berpikir, semakin tak habis pikir. Apa yang ada di dalam kepala mereka hingga tega mengeruk populasi kami. Jika hal ini terus saja dilakukan maka harapan para calon induk untuk mengantarkan telur-telurnya ke pantai pupus sudah. Cita-cita bangsa kami untuk terus membawa gelar “purba” pun tidak mungkin dilanjutkan. Bagaimana mau merengkuh angan kalau sebagian komponen pendukungnya saja melakukan pengkhianatan.

Setelah lama kami terombang-ambing dan berdesakan, kami diturunkan. Timbul secercah harapan karena kurasakan hangat sinar matahari di peraduan.

“Hei hei, badanku berat, jangan dibalik! Wooyy jangan dibalik!”

Sayang sekali secercah harapan berubah jadi pertaruhan. Kalau sudah terbalik begini apa daya, kaki pun tak sampai.

Kami diangkut dan dipindahkan lagi. Kali ini sedikit tidak berperikepenyuan karena posisi tubuh kami terbalik. Bagaimana bisa kami menatap masa depan kami kalau dunia saja terasa dijungkir dan dibalik seperti ini. ‘Brakk’. Samar-samar ku dengar suara, namun karena Aku tak pernah dibekali mengenal suara benda-benda di daratan maka ku abaikan saja. Aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana jika nanti jagoan-jagoan ku telah menetas dan kembali ke laut namun tak menemukanku sebagai induknya.

Pikiranku terlalu penuh hingga tak sadar Aku kini berada di tepian. Tubuhku diputar balikkan, Aku merasa menjadi penyu sejati kalau begini. Beberapa dari kami pun telah diantarkan kembali ke laut. Mereka sepertinya makhluk sejenis, tapi mengapa berbeda perlakuannya? Makhluk berakal atau apapun kau, ku ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.

Lantas, dimana kawan-kawanku? Di mana para tetangga cerewet yang selalu menyapaku? Dimana rombongan kawan arisan yang biasa kulihat di berandaku?

Ini pantai. Benar, di tempat ini Aku berhasil keluar dari cangkang telur dan menyapa hangatnya air laut. Di tempat ini lah Aku mengantarkan calon-calon jagoanku untuk menetas dan menjadi penyu sepertiku. di tempat ini juga Aku harus melihat kawan-kawanku terkapar tak berdaya. Banyak diantara populasi kami berada di tepi sana, mereka mati. Ya, mereka mati. Aku tak bisa lagi sekedar bertemu dan berbincang sedikit dengan para tetangga atau mendengar ocehan penyu-penyu betina tentang pejantannya. Ketahuilah hai makhluk berakal, populasi kami menipis. Kalau kami hilang siapa yang menyesal? Yang jelas bukan Aku, karena jika populasi penyu punah Aku pun ikut musnah.

sumber gambar: WWF