Rani menghela napasnya begitu sampai di depan sebuah lapas. Rutinitas ini sudah dia jalani tiga bulan lamanya dan mungkin akan berlanjut sampai tiga tahun lagi. Dengan satu tas berisi makanan kesukaan seseorang, dia melangkah masuk ke dalamnya.
Di sinilah Rani merasakan sesak. Tak hanya pikirannya, perasaannya juga berkecamuk melihat ayahnya sendiri duduk di depannya dengan seragam tahanan. Rani hanya menatap ayahnya datar sebagai balasan senyuman sang ayah.
“Ini dari Ibu. Tolong dihabiskan,” ucap Rani sambil mendorong satu tas yang dibawanya ke depan ayahnya.
“Terima kasih. Aku rindu masakan ibumu,” jawab ayahnya dengan penuh rasa senang.
“Aku pamit pulang dulu,” pamit Rani memecah hening sesaat setelah agenda penyerahan titipan sang ibu.
“Bagaimana sekolahmu? Apakah semua lancar?” tanya ayahnya saat Rani hendak berdiri dari kursinya.
“Lancar,” balas Rani singkat.
“Baiklah, jika ada yang mencelakai dirimu di sekolah bilang saja pada Ayah. Lalu, bagaimana keadaan di rumah? Apakah ibumu baik-baik saja?” tanya ayahnya lagi berusaha menciptakan obrolan yang lebih panjang dengan anak tunggalnya.
“Ibu.. Tidak pernah terlihat sebaik ini sebelumnya.”
—
Rani termenung di atas kasurnya. Pikirannya kembali ke kejadian tadi pagi, sebelum dirinya benar-benar pergi meninggalkan lapas. Iya, dirinya sempat berbincang sebentar dengan petugas lapas di sana.
“Selamat pagi. Habis jenguk orang, ya, nak?” tanya petugas tersebut begitu berpapasan dengan Rani tepat setelah Rani meninggalkan ruang kunjungan.
Rani hanya mengangguk sebelum menjelaskan, “Iya, jenguk ayah saya.”
“Ayah kamu itu Pak Galih, bukan?” tanya petugas itu seolah mengetahui sesuatu.
Sepersekian detik, Rani mengerutkan dahinya sebagai respon refleksnya. Menurut dia, mukanya tidak mirip dengan muka ayahnya. Rani lagi-lagi mengangguk sebagai tanggapan yang lebih sopan sambil tersenyum yang pada detik berikutnya berhasil memunculkan senyum bangga di wajah sang petugas.
“Wah, benar juga tebakan saya. Ternyata, ingatan saya masih bagus setelah menua,” jelas petugas tersebut diiringi tawa jenaka pencair suasana.
Rani hanya diam, ingin mendengarkan lebih jelas penuturan petugas yang memiliki badge Dani di atas saku kanan bajunya.
“Iya, ayahmu selalu bercerita tentang betapa bahagianya dia punya anak tunggal perempuan yang bisa diandalkan. Dia bilang kamu memang agak bebal, tapi kamu hebat bisa bertahan sejauh ini. Ayahmu juga menyimpan fotomu di sakunya, sampai kelihatan lusuh. Saya sempat bercanda dengan dia agar melaminating saja fotomu supaya lebih awet.”
Meskipun Rani terbiasa mendengarkan penjelasan orang lain mengenai ayahnya yang begitu mengelu-elukannya, dia akan tetap diam mendengarkan, seolah-olah kalimat semacam itu baru dia dengar untuk pertama kali. Satu lagi, dia tak berpikir bahwa ingatan Pak Dani sebaik itu. Beliau lupa jika alasan ayahnya ada di lapas ini adalah ketidakmampuan ayahnya menunjukkan kebanggaan kepadanya dengan cara yang benar.
—
Tiga tahun berlalu sejak hari itu. Rumah yang tadinya cukup damai, berubah. Kembali seperti semula sebelum Ayah pergi dari rumah dan ditahan di lapas. Teriakan penuh makian kerap kali dilontarkan Ayah ketika melihat rumah berantakan. Suara bantingan benda kaca ikut menambah kebisingan rumah yang hanya diisi tiga orang itu.
Tamparan keras saat melihat nilai Rani yang turun beberapa poin sudah hilang, tetapi hinaan yang biasa mengiringinya tetap ada. Cacian tentang anak yang tidak tahu diri, tak tahu diuntung memenuhi telinga Rani malam itu. Perkataannya yang menyumpahi Rani dengan sebutan perempuan yang hina di mata masyarakat pun ikut diucapkan sang ayah. Rani yang sudah bertahun-tahun menerima itu hanya bisa diam. Dia sudah terbiasa.
“Aku sudah bilang. Kalau aku pulang nongkrong, jangan sampai ada sampah di lantai atau piring kotor di meja. Kalau aku banting piring ini, yang repot dan ketakutan juga kalian. Kalian itu bisanya apa, sih?” ucap Ayah dengan nada lebih tinggi dari biasanya.
“Apalagi kamu. Kerja gaji sedikit, ngurus rumah malah berantakan, ngurus anakmu biar pintar pun nggak becus!” jari telunjuk Ayah dan mata tajamnya selalu mampu menghakimi Ibu.
Rani dan ibunya hanya diam. Mereka pikir diam lebih baik daripada melawan. Lagipula, sosok yang sekarang di hadapan mereka juga tidak seburuk sosok yang beberapa tahun lalu akan langsung main tangan memberi luka di badan mereka. Seperti malam-malam sebelumnya, Ayah akan pergi dari rumah. Entah ke mana meninggalkan Rani dan Ibu yang sibuk menenangkan pikiran mereka sembari membereskan kekacauan yang dibuat sang Ayah.
—
Rani sebenarnya muak berada di sini. Di rumahnya, mempersiapkan kepergian ayahnya sendiri. Ayahnya pergi dua tahun setelah bebas dari penjara karena pola hidupnya yang tidak sehat. Merokok dan minum minuman keras hanya memperparah penyakit ginjal yang dideritanya.
“Beliau masih ayahmu, Ran,” ucap Ibu sambil membujuk Rani yang sekarang duduk di tepian kasur dan masih enggan mengantar ayahnya ke tempat peristirahatan terakhirnya.
“Dia jahat, Bu. Dia ambil kesenangan Ibu, masa muda Ibu, bahkan badan Ibu yang dipukul paling keras waktu aku gagal jadi juara kelas saat SMP,” jelas Rani menatap mata ibunya yang tidak kalah basah dari miliknya.
“Kamu tahu, Ran,” ucap ibunya sebentar sambil berlutut sebelum lanjut berbicara, “Ayah selalu simpan foto kamu di dompetnya. Bahkan saat di penjara pun Ayah masih membawa foto kamu, padahal dompetnya dia tinggal di rumah. Waktu kamu kecil, Ayah juga sering ajak kamu ke taman bermain. Ayah selalu bilang ke Ibu kalau dia bangga sama kamu setiap kamu ada pencapaian baru.”
“Iya. Tapi, sekali Rani salah, Rani bakal langsung dipukul. Dicaci habis-habisan. Ibu juga kena imbasnya,” Rani mengambil jeda sebentar, suaranya mulai tercekat.
“Ibu. Rani dari kecil nggak pernah mempermasalahkan kalau Ibu mau cerai sama Ayah, selama Ibu aman dan nggak terluka,” Ibu langsung memeluk Rani saat anaknya mulai sesenggukan.
“Kamu tahu juga, Ran. Kejadian-kejadian itu baru berhenti kalau Ayah atau Ibu yang meninggal. Kamu tahu seberapa bebal Ayah yang enggan mendengarkan dokter atau berobat ke psikiater. Maaf karena bawa kamu ke kehidupan yang jauh dari kata nyaman dan aman. Ibu minta maaf,” ucapan sang ibu hanya membuat tangisan Rani semakin keras.
“Ibu mohon sekali ini saja. Tolong antar Ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya.”
—
Pada akhirnya, Rani mengabulkan permintaan sang ibu untuk mengantarkan sang ayah. Tidak hanya itu, dia dan ibunya rutin berziarah ke makam Ayah setidaknya sebulan sekali. Di awal-awal kepergian Ayah, Ibu memang tampak tak bersemangat. Akan tetapi, pada bulan ketiga, ibunya mulai menjalankan rutinitasnya seperti biasa dan mencoba hobi baru lewat kelas-kelas yang kadang dipromosikan di pertemuan ibu-ibu perumahan.
Jika ditanya apakah Rani masih menginginkan Ayah untuk menjadi ayahnya di kehidupan maupun semesta yang lain, Rani akan dengan cepat mengucapkan terima kasih dan berkata tidak. Dia bahkan rela tidak hadir di dunia agar Ibu dan Ayah tidak perlu bertemu. Sebesar apapun cinta ayahnya dan sikapnya yang membanggakan Rani di depan orang lain, ternyata tidak mampu mengubah perilakunya kepada Rani dan Ibu.