PRESS RELEASE

HARI KEBEBASAN PERS INTERNASIONAL 2018: PERS INDONESIA BELUM SEPENUHNYA MERDEKA

Tiga Mei ditetapkan sebagai Hari Kebebasan Pers Internasional (World Press Freedom Day) oleh UNESCO pada tahun 1993. Momentum ini merupakan pertanda bahwa pers sudah sepatutnya mendapat jaminan kebebasan untuk melaksanakan kegiatan jurnalistik seperti mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar, maupun dalam bentuk lainnya dengan segala jenis saluran yang tersedia. Pada tanggal ini seluruh komunitas pers, lembaga pers, perusahaan pers, dan masyarakat turut mempromosikan prinsip-prinsip dasar pentingnya kemerdekaan pers dan mendorong pemerintah serta masyarakat untuk menghormati pers yang rentan mengalami kekerasan hingga pembunuhan.

Kebebasan Pers di Indonesia sendiri mutlak mendapatkan jaminannya sejak Indonesia merdeka. Hal ini diatur dalam UUD 1945, lalu diikuti dengan disahkannya Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999. Namun hingga hari ini kenyataannya, pers selalu mengalami tindakan represif dan belum sepenuhnya mendapatkan jaminan oleh negara. Menurut data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 2017 terdapat 66 kasus yang dominan dilakukan oleh warga, polisi dan pejabat pemerintah. Artinya pers masih belum dihormati sebagai salah satu pondasi penting dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis.

Pers mahasiswa juga rentan mengalami tindakan represif yang dilakukan oleh subyek yang seharusnya melindungi pers mahasiswa, yaitu rektorat dan dekanat. Menurut hasil riset Divisi Litbang Perhimpunan Pers Mahasiswa (PPMI) Kota Malang pada 2017, terdapat 47 kasus yang dominan dilakukan oleh birokrat kampus (rektorat, dekanat) dan organisasi mahasiswa (eksekutif, legislatif). Kasus yang sering dilakukan oleh birokrat kampus MELIPUTI intimidasi seperti ancaman pemberian nilai akademik buruk, dipersulit adminstrasi akademik, hingga ancaman drop out.

Sedangkan kasus yang melibatkan organisasi mahasiswa sebagai pelaku, perilaku yang dilakukan adalah dengan cara membuat peraturan yang tidak berlandaskan UU Pers, menghalang-halangi pers dalam proses kerja jurnalistik, melakukan pemberedelan, dan masih banyak lagi. Padahal pers mahasiswa telah mengimplementasikan kode etik jurnalistik dan mematuhi kaidah-kaidah yang terkandung dalam UU pers. Hal itu jelas menunjukkan bagaimana ironi yang memilukan justru terjadi di lingkungan yang akademis.

Selain itu masih banyak kasus lain yang menimpa pers mahasiswa, seperti penyensoran produk jurnalistik oleh birokrat kampus yang dialami oleh LPM Inovasi (UIN Malang), LPM Siar (UM), dan LPM Display (UB). Dan kasus lain yang terbaru adalah kasus peganiayaan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap jurnalis Lembaga Pers mahasiswa (LPM) Suaka Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 12 April 2018. Maka dari itu PPMI Kota Malang menyatakan sikap:
Mengecam tindakan berbagai kampus di Kota Malang yang melakukan tindak penyensoran, ancaman, kekerasan dan intimidasi terhadap Lembaga Pers Mahasiswa,
Menuntut seluruh kampus di Kota Malang untuk mencabut segala peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemerdekaan pers,
Mendesak seluruh kampus di Kota Malang untuk memfasilitasi kebebasan Lembaga Pers Mahasiswa,
Menuntut badan/lembaga publik untuk tidak menutupi informasi sesuai dengan UU Keterbukaan Publik,
Mengutuk keras perbuatan jurnalis yang menulis berita berdasarkan permintaan/intervensi orang/kelompok di luar jajaran redaksi dengan memberi imbalan uang,
Mendesak seluruh jurnalis untuk bersikap independen, kritis, dan mematuhi kode etik jurnalistik dan undang-undang yang berlaku,
Meminta setiap pihak yang dirugikan oleh pemberitaan untuk menggunakan mekanisme yang diatur dalam UU Pers,
Meminta semua pihak untuk meneliti, dan menyaring berita sebelum dibagikan ke media sosial untuk menangkal berita hoaks.

Narahubung:
Koordinator Advokasi PPMI Kota Malang : Ugik Endarto (089676066685)
Sekretaris Jenderal PPMI Kota Malang : Faizal Ad Daraquthny (085330413312)