Kinasih berjalan menyusuri jalanan setapak untuk mencapai ke fakultasnya. Berkali-kali dia menghela napas panjang karena beban hidupnya yang bisa dibilang lumayan berat. Perempuan itu merapikan kemejanya ketika melewati sebuah pintu kaca besar. Kinasih berhenti di depan pintu itu.
“Nanti praktikum pemrograman nggak sih?” tanyanya pada diri sendiri. Dia membuka ponselnya dan melihat jadwal mata kuliah yang berada di ikon grup kelasnya.
Lagi-lagi dia menghela napas. Kinasih memutuskan untuk melanjutkan perjalanan di pagi harinya itu. Matanya terfokus ke salah satu kucing kampus yang masih tertidur di atas kursi kantin. Kinasih mengelus kucing tersebut dan bergumam sendiri.
“Kamu enak jam segini masih tidur, ya, Pus?”
Mungkin ada sekitar lima menit dia berhenti di sana. Sampai ponselnya berdering dan menampilkan nama teman sebangkunya. Matanya melirik ke arah jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya. Pukul 7! Seharusnya praktikum itu sudah dimulai dan itu artinya Kinasih terlambat masuk kelas.
Perempuan berbaju hitam itu berlari secepat mungkin itu segera sampai di kelas. Namun, nasib tidak bergantung padanya. Lift ramai, tangga ramai, dan kelasnya berada di lantai 4. Kinasih memejamkan matanya sejenak dan berusaha menghubungi asisten praktikumnya bahwa dia masih menunggu lift berjalan.
Setelah mengalami kejadian tidak mengenakkan, Kinasih sampai di kelas dengan wajah yang bercucuran keringat dan napasnya yang tersengal-sengal. Dia berjalan dan segera duduk di bangku yang kosong.
“Kamu ngapain aja dari tadi?” tanya Maura.
“Aku tadi berhenti ngelus kucing di FIB.” Kinasih meringis jika mengingat hal bodohnya tadi.
“Emang orang aneh, udah tau kelasnya jam 7 malah ngelus-ngelus kucing. Toh kucing itu kalau nggak kamu elus nggak bakal mati, Kin,” sosor Maura.
“Iya sih, nggak salah.”
Belum lama Kinasih istirahat, asisten praktikumnya langsung memberikan tugas yang begitu banyak. Dia hanya bisa tersenyum pahit. Dulu, dia berkeinginan memasuki jurusan Sastra Indonesia. Namun, kedua orang tuanya kurang setuju dan lebih mengarahkan Kinasih untuk pergi ke jurusan Teknologi Informasi.
“Mana sempat aku ngerjain ini semua?” tanya Kinasih pasrah dengan dirinya.
“Masih dua minggu kok, Kin, aman lah,” ucap Maura menenangkan.
“Tapi aku ada proker di UKM, Ra,” tambah Kinasih sambil menenggelamkan kepalanya di tumpukan tangannya.
“Bisa kok!”
Ketika pulang dari kelas, Kinasih kembali bertemu dengan kucing yang tadi pagi dia elus dan membuatnya terlambat. Dia lagi-lagi duduk di samping kucing itu dan memangkunya. Terkadang, berbicara dengan makhluk lain adalah pengobatan yang gratis.
Dua kata yang keluar dari mulut Maura tadi pagi masih terngiang-ngiang di telinga Kinasih. Bisa? Kinasih saja tidak yakin dengan dirinya sendiri. Andai saja dia menjadi seekor kucing yang pekerjaannya hanya makan, tidur, dan buang air.
“Kinasih!”
Merasa dipanggil, Kinasih menolehkan kepalanya ke sumber suara. Terdapat dua perempuan yang berjalan ke arahnya. Rupanya mereka adalah teman satu divisinya di UKM. Kinasih melambaikan tangannya dan mereka berdua mendekati Kinasih.
“Media partner yang kemarin udah dihubungi, Kin?” tanya Sanya.
“Udah kok, tapi yang dua belum bales,” jawab Kinasih.
“Katanya yang dari luar emang agak sulit, Kin,” ucap Sanya. “Tapi coba aja sih, siapa tau berhasil?”
Kinasih mengangguk. “Yang dari luar itu tinggal nunggu balesan kok.”
“Sip-sip, kita ke kelas dulu, ya!”
Kucing yang Kinasih pangku tiba-tiba melompat ketika melihat kucing lain lewat. Mungkin itu tandanya Kinasih harus segera kembali ke kosnya. Di perjalanan pulang, Kinasih hanya melamun karena beban pikirannya terlalu banyak.
Bruk! Kinasih menabrak tiang listrik yang berada di pinggir jalan. Lagi-lagi semua dikarenakan kecerobohannya. Kinasih hanya mengeluh dan kembali berjalan pulang. Sesampainya di kamar, dia merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata.
Tak berselang lama, ponselnya berdering dan kontak Ibunya tertera di layar. Kinasih segera mengangkat telepon tersebut dan terdiam.
“Sudah pulang dari kuliah?” tanya Ibunya dari seberang.
“Sudah kok, Bu, ini baru aja sampe kos.”
“Gimana kuliahnya?”
“Baik-baik aja dong,” jawab Kinasih dengan tawa hambarnya.
Mereka sama-sama terdiam. Kinasih menahan air matanya supaya tidak keluar sekarang dan Ibunya entah mengapa tidak kunjung bertanya kembali. Kinasih memang tidak bisa ditanya apakah dia baik-baik saja? karena sudah pasti jawabannya tidak.
“Kalau Kinasih lelah, boleh istirahat dulu.”
“Boleh cuti?” tanya Kinasih dengan cepat.
“Kin, tidak semua masalah itu diselesaikan dengan cara ditinggalkan. Kinasih pasti bisa kok melewati semuanya dengan mengerjakannya satu per satu. Coba deh Kinasih bayangkan, memangnya ada rumah yang langsung jadi dalam satu jam? Semua pasti ada langkah-langkahnya, kan? Mulai dari membuat pondasi, memasang rangka, diisi dengan bata, dan seterusnya. Begitu pula dengan Kinasih, semua tidak ada yang instan,” jelas Ibunya panjang lebar.
Luruh sudah air mata Kinasih. Dia sudah tidak bisa menahannya. Banyak tugas yang menyebabkannya dia menjadi seperti ini dan belum lagi dari organisasinya. Kinasih menangis terisak, dia ingin kembali ke rumah.
“Kalau Kinasih berhasil, nanti bisa segera pulang ke rumah dan buat Ayah Ibu bangga sama Kinasih. Ibu tau kok kalau Kinasih rindu rumah dan banyak masalah, tapi Ibu yakin Kinasih bisa melewatinya,” ucap Ibunya mendukung perempuan rapuh itu. “Nanti liburan Kinasih bisa pulang, kan?”
“Nggak tahu, masih banyak tugas sama proker di UKM,” jawab Kinasih dengan isak tangis.
“Kalau nggak bisa pulang juga nggak papa. Ayah Ibu sehat semua di sini. Yang penting Kinasih semangat kuliah, pasti Ayah Ibu senang,” tambah Ibunya. “Kalau begitu Kinasih istirahat, ya, nanti segera dilanjutkan pekerjaannya.”
Kinasih menutup mukanya dengan bantal dan berteriak. Memang dia tidak baik-baik saja, tetapi Ibunya sangat yakin bahwa dia bisa melakukannya. Kinasih sama sekali tidak mau membuat orang tuanya bersedih.
Kinasih pasti bisa.