Sejak diberlakukannya GDPR (General Data Protection Regulation) oleh Uni Eropa pada 2018, isu perlindungan data anak di ranah digital mulai mendapat perhatian global. Inggris Raya  merespons dengan Age-Appropriate Design Code (2021) dan Online Safety Act (2023) yang menekan platform untuk melindungi pengguna muda. Australia mengikuti dengan melarang anak di bawah 16 tahun mengakses media sosial tanpa verifikasi identitas melalui amandemen Online Safety Act (2024). Di Amerika Serikat, negara bagian California juga mengesahkan Age-Appropriate Design Code Act (2024) untuk mendorong desain platform yang lebih aman bagi anak. Menanggapi hal ini, perusahaan teknologi seperti Google, TikTok, Discord, dan Instagram (Meta) mulai menguji sistem verifikasi usia berbasis AI.

Platform seperti Google dan TikTok mulai mengadopsi sistem verifikasi usia berbasis interaksi pengguna. Google (khususnya untuk YouTube) menguji model machine learning yang menganalisis riwayat penelusuran, kategori video yang ditonton, dan usia akun untuk memperkirakan apakah pengguna di bawah usia 18 tahun. Jika terdeteksi sebagai anak di bawah umur, maka pengguna akan diminta verifikasi tambahan seperti unggah selfie atau dokumen identitas. TikTok juga berencana menggunakan algoritma serupa, dengan mempelajari pola interaksi seperti durasi penggunaan, jenis konten yang diakses, dan aktivitas akun untuk mengidentifikasi pengguna di bawah usia minimum. Kedua platform menghindari metode invasif seperti pemindaian wajah real-time dan lebih mengandalkan data perilaku untuk mengurangi risiko privasi.

Discord saat ini dalam tahap uji coba sistem verifikasi usia di Inggris dan Australia, yang direncanakan akan mulai diimplementasikan penuh pada tahun 2025. Pengguna di wilayah tersebut diwajibkan memilih antara pemindaian wajah real-time menggunakan kamera perangkat atau mengunggah dokumen identitas (ID) resmi. Data biometrik dan ID tidak disimpan setelah verifikasi, dan akun yang gagal memenuhi kriteria usia dewasa akan diblokir sesuai ketentuan Online Safety Act. Sementara itu, Instagram (Meta) telah menerapkan sistem parsial. Pengguna yang diduga remaja akan diminta merekam video selfie untuk dianalisis oleh AI dari perusahaan Yoti. Jika terbukti di bawah umur, akun tersebut otomatis akan menerima batasan konten dan akan terkirim notifikasi ke orang tua.

Namun, implementasi verifikasi usia berbasis AI tidak lepas dari kritik. Laporan Open Technology Institute (2024) menyoroti risiko privasi, terutama dalam pengumpulan data biometrik yang rentan disalahgunakan. Di Illinois, Undang-Undang Privasi Biometrik (Biometric Information Privacy Act; BIPA) sempat menghambat penggunaan teknologi ini sebelum adanya penyesuaian regulasi. Selain itu, laporan Shufti Analytics (2025) menunjukkan 38% upaya penipuan melibatkan penggunaan dokumen orang dewasa yang dipinjam atau dibeli, sementara 33% memanfaatkan Virtual Private Network untuk menyamarkan lokasi. Kelompok rentan seperti aktivis, kaum minoritas, warga tak terdokumentasi, atau korban kekerasan juga berisiko kehilangan anonimitas mereka jika verifikasi wajib menggunakan identitas resmi.

Saat ini, verifikasi usia berbasis AI masih baru diterapkan di wilayah yang memiliki regulasi hukum yang spesifik. Contohnya, Discord menguji pemindaian wajah dan ID di Australia dan Inggris untuk mematuhi Online Safety Act, sementara platform seperti TikTok dan Snapchat beradaptasi dengan hukum California dan Eropa. Namun, metode ini belum diterapkan secara global karena perbedaan kerangka hukum dan ketersediaan infrastruktur digital.

Pada awal April 2025, Indonesia resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak. Regulasi ini menetapkan batas usia minimum bagi anak untuk mengakses layanan digital, dengan persyaratan persetujuan orang tua atau wali sesuai kategori usia dan tingkat risiko platform. Dalam diskusi implementasi PP ini, hadir pula Antigone Davis selaku Vice President and Global Head of Safety dari Meta, yang menunjukkan dukungan dari sektor industri terhadap upaya perlindungan anak di ruang digital. Dengan implementasi PP ini, Indonesia menunjukkan komitmen kuat dalam melindungi anak-anak di era digital, serta membuka peluang bagi pengembangan teknologi verifikasi usia yang lebih aman dan inklusif di masa depan.

Woro Srihastuti Sulistyaningrum dari Kemenko PMK menyampaikan,

“Anak-anak bukan sekadar pengguna internet masa kini, mereka adalah arsitek masa depan negeri ini. Ruang digital harus menjadi taman tumbuh mereka—bukan ladang ancaman. Dan taman itu, kita yang bertanggung jawab merawatnya.”