Sosok Kartini yang selama ini kita dengar hanya sebatas sebagai sosok emansipasi wanita di Indonesia. Namun, sebuah sudut pandang baru dihadirkan oleh Pramoedya Ananta Toer melalui buku ini, kekaguman Pram pada sosok Kartini membuat kita ikut bercengkrama dengan sosok perempuan kuat itu.

Panggil Aku Kartini Saja adalah salah satu karya klasik Pramoedya Ananta Toer yang paling terkenal setelah Tetralogi Pulau Buru yang mendunia, pertama kali diterbitkan pada tahun 1925. Sesuai dengan judul yang dipilih oleh Pram, Panggil Aku Kartini Saja merupakan ucapan yang memang berasal dari Kartini. Dalam suratnya ia menegaskan “Panggil saja aku Kartini, itulah namaku!”. Dengan penelitiannya yang mendalam dan gaya menulis yang khas dan kompleks, Pram menggambarkan Kartini bukan hanya sebagai pejuang emansipasi, tetapi juga sebagai sosok progresif yang menentang feodalisme dan ketidakadilan sosial yang terjadi diantara masyarakat Jawa pada masa itu. Seperti yang diungkapkan Pram dalam berbagai wawancara, termasuk yang dimuat di majalah Playboy Indonesia edisi April 2006, buku ini seharusnya terdiri dari empat jilid, tetapi hanya dua yang berhasil diterbitkan, sementara dua jilid lainnya dirampas oleh rezim Orde Baru.

Buku ini menyoroti perjuangan Kartini melawan penindasan yang ia hadapi di balik dinding-dinding penjara Kabupaten, yang terbukti dalam surat yang dikirimkan untuk sahabatnya Estella Zeehandelaar pada 6 November 1899, Kartini menuliskan “Kau tanyakan kepadaku, bagaimana keadaanku di antara empat dinding tebal itu. Kau tentu pikir tentang sebuah sel atau semacamnya. Tidak, Stella, penjaraku adalah sebuah rumah besar, dengan pekarangan luas, tapi sebuah tembok tinggi mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku”. Tidak hanya terkurung oleh feodalisme, Kartini juga berjuang melawan penindasan oleh kekuasaan kolonial Belanda pada saat itu. Terlepas dari keterbatasan yang ia alami, Kartini menggunakan tulisan sebagai alat perjuangannya. Surat-suratnya tidak hanya membawanya terkenal, tetapi juga menjadi suara yang didengar hingga ke Eropa.

Tema utama buku ini adalah keteguhan dan keprihatinan Kartini terhadap kondisi wanita dan masyarakat pada masa itu. Ia adalah pionir dalam memperjuangkan emansipasi wanita dan kritikus tajam terhadap budaya feodalisme. Dalam surat-suratnya, Kartini berulang kali menekankan betapa pentingnya pendidikan bagi perempuan, bukan hanya sebagai cara untuk mencapai kebebasan individu, tetapi juga sebagai langkah penting untuk memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi bangsa. Pram menunjukkan bagaimana Kartini melawan nilai-nilai feodal yang menempatkan wanita di posisi rendah dalam masyarakat, dan ia berusaha untuk meruntuhkan tembok-tembok patriarki yang menindas. Ia menolak sistem kasta yang menempatkan perempuan dan masyarakat miskin dalam posisi yang tidak berdaya, serta mengecam budaya yang memberikan prioritas kepada kaum bangsawan di atas segalanya.

Panggil Aku Kartini Saja adalah buku yang memberikan sudut pandang baru tentang sejarah perjuangan Kartini. Pram berhasil menghidupkan kembali sosok Kartini sebagai pejuang, bukan hanya sebagai simbol emansipasi, tetapi juga sebagai kritikus sosial dan pelopor dalam sejarah perjuangan wanita di Indonesia. Meskipun gaya bahasa dalam buku ini terkesan berat, namun bagi pembaca yang ingin mencoba mengenal Pram dari karya-karyanya serta mendalami sejarah terutama mengenai perjuangan wanita Indonesia, buku ini adalah bacaan yang tepat.