Sumber Gambar: Goodreads.com

Judul Buku : Mangan Ora Mangan Kumpul
Penulis : Umar Kayam
Penerbit : Pustaka Utama Grafiti
Tahun Terbit : 1991
Tebal Buku : 458 halaman

Buku Mangan Ora Mangan Kumpul (makan tidak makan kumpul) merupakan kumpulan sketsa karya Umar Kayam, seorang budayawan yang aktif menulis kolom Kedaulatan Rakyat rentang tahun 1987 sampai 1990. Seri yang ditulis dengan gaya ringan dan santai ini seolah mengajak pembaca untuk berimajinasi membayangkan kehidupan tokoh utama yang sederhana namun penuh pesan transendental.

Bercerita tentang Pak Ageng, seorang Profesor Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada yang pada saat itu konon merupakan Umar Kayam itu sendiri. Pak Ageng tinggal bersama satu keluarga pembantu yang ia sebut sebagai kitchen cabinet, dengan dirjen kitchen cabinet bernama Mister Rigen, Ms. Nansiyem sebagai wakil, dan kedua anaknya sebagai anggota. Mister Rigen inilah yang didapuk sebagai wakil dari wong cilik atau masyarakat kelas rendah yang berbanding terbalik dengan kehidupan Pak Ageng, seorang priayi feodal.

Meskipun begitu, Mr. Rigen tidak segan-segan mengkritik sang majikan seperti pada salah satu sketsa yang berjudul “Mr. Rigen Mengundurkan Diri”. Sketsa yang pada saat itu merupakan sindiran halus terhadap Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) tersebut berakhir dengan mogoknya Mr. Rigen sebagai sopir Pak Ageng. Sebagai masyarakat kelas rendah, Mr. Rigen merasa ketakutan membawa jip butut milik Pak Ageng. Menurutnya jip tersebut sudah tidak layak untuk dikemudikan saat UU LLAJ telah sah diresmikan. UU LLAJ sangat menyeramkan bagi masyarakat kelas rendah sepertinya, tidak hanya karena denda lalu lintas yang berjuta-juta, tetapi Mr. Rigen juga akan sangat keberatan jika harus berurusan dengan polisi jalanan yang semakin awas menilang kemudian mengajak berdamai dengan harga yang naik ratusan ribu.

Fenomena sosial seperti itulah yang sering diangkat oleh Umar Kayam dalam buku yang setidaknya berisi 127 sketsa kehidupan yang dijalaninya di Jogja-Jakarta. Alur cerita yang ringan dengan bahasa khas Jogja yang kental tersebut menyajikan cerita yang unik sekaligus menggelitik, dibumbui dengan filosofi Jawa yang tetap erat berkaitan dengan kehidupan modern. Mangan ora mangan kumpul sendiri merupakan sebuah filosofi dalam kehidupan masyarakat Jawa tentang prinsip gotong royong dan tenggang rasa setiap anggota keluarga yang lebih mengutamakan berkumpul daripada sekadar perut kenyang.

Selain ceritanya yang unik dan mengalir, buku ini juga penuh dengan humor. Cara penyuguhannya sangat pas, seolah-olah karakter pada buku tersebut sangat dekat dengan pembaca. Gaya bahasa yang digunakan unik, apa adanya, namun tetap memberikan pesan yang cukup mengena. Dapat diketahui bahwa buku ini sarat akan falsafah dan budaya Jawa yang kental. Selain itu buku ini juga diselingi sindiran-sindiran terhadap situasi politik dan sistem sosial yang sedang berkembang hangat di masyarakat.

Sayangnya, buku yang ditulis dengan gaya bahasa dan celetukan-celetukan khas Jogja tersebut agaknya akan sedikit susah dipahami oleh pembaca non Jawa. Beberapa kalimat susah dipahami dan perlu diterjemahkan dalam bahasa yang lebih umum. Meskipun begitu, buku ini tetap cocok untuk pembaca yang ingin mengenal lebih dalam falsafah Jawa atau sekadar menemani santai di minggu pagi. (iz)