Tuan, Apa Takut pada Suara?

 

Di meja-meja panjang di ruangan yang dingin,

ada yang menulis hukum dengan tinta yang mudah larut,

menjilidnya dengan benang yang kendur,

mengira bahwa sunyi bisa dibeli, 

bahwa takut bisa diwariskan

 

Di luar, jalanan bergetar oleh langkah-langkah, 

dada lapang, nyali sekeras batu,

menggenggam udara, tapi suaranya mengguncang

 

Sayang langit sore itu merah sebelum waktunya

bukan oleh burit, tapi oleh tubuh yang ditarik ke pinggir jalan,

bukan oleh matahari, tapi oleh luka yang menganga

 

Kemudian yang tinggi bilang ini bukan tragedi, 

maka edaran hanya mencatat angka,

tak menyebut yang tersungkur di tikungan,

tak menulis siapa yang pulang terpincang-pincang,

tak bertanya mengapa seragam masih berlumur debu manusia

 

Tapi lihatlah, Tuan, lihatlah baik-baik,

di balik mata yang lebam, di bawah perban yang mulai menguning,

di antara gigi yang gemeretak menahan sakit,

masih ada bara, Tuan, masih ada nyala

 

Karena tak pernah ada yang meminta tanah ini roboh, Tuan,

sungguh tak pernah ada,

kami hanya menagihnya lebih tegak berdiri,

dan Tuan, jika hari ini suara kami masih bisa Tuan redam,

kami pastikan esok ia akan makin menggaung tak sudi padam

 

–KJ