Oleh: Achmad Okta Maulana

Fakta, adalah hal yang terbukti benar atau telah terjadi. Menyatakan fakta berarti menyatakan sesuatu yang telah terbukti kebenarannya. Para peneliti mengumpulkannya sebanyak mungkin agar dapat beralih menuju tahap analisis dan membuat kesimpulan, fakta memberi bukti nyata yang dapat mendukung argumen seseorang. Fakta begitu kuat dan sangat bisa diandalkan sehingga orang-orang menyukainya. Orang yang berbicara fakta berarti mengatakan pernyataan yang tidak bisa disangkal.

Masalah pada kebanyakan orang yang berbicara fakta adalah; Karena mereka mengatakan fakta, mereka berpikir bahwa mereka benar. Sebenarnya tidak. Satu-satunya hal yang benar adalah fakta itu sendiri, yaitu pernyataannya. Menyatakan hal yang terbukti benar tidak menjamin orang tersebut benar. Katakanlah, “Nilai akhirmu jauh lebih rendah dariku. Aku berencana untuk merayakannya di restoran mewah malam ini”, anggaplah ini fakta. Itu benar bahwa nilai akhirku lebih tinggi daripada nilaimu dan aku telah berencana untuk merayakannya di restoran mewah. Aku punya seluruh data nilai, jadwal reservasi restoran dan segala persiapannya. Apa yang aku katakan itu benar, tapi itu membuatku terdengar seperti orang yang sangat angkuh dan tidak beretika.

Pada kasus yang serupa, karena berbicara fakta, mereka pikir hal tersebut tidaklah salah. Sekali lagi, satu-satunya yang tidak salah adalah pernyataan fakta tersebut. Keputusan untuk membicarakannya belum dapat dipastikan sebagai hal yang benar. Orang-orang yang bergosip mungkin mengatakan hal yang memang telah nyata terjadi. Cerita tentang Bu Jenit yang sudah bersuami, menggoda rekan kerjanya di kantor mungkin benar dan telah terbukti oleh beberapa saksi, anggaplah ini fakta. Ceritanya benar, kronologisnya lengkap, namun apakah menceritakan hal tersebut kepada publik adalah hal yang benar?

Ada pula kasus lain dari kebanyakan orang yang berbicara fakta. Beberapa diantaranya yang dibahas pada filsafat logika–informal fallacy, adalah Conclusion Leap (langsung mengambil kesimpulan dengan terburu-buru) dan Hasty generalization (generalisasi secara induktif tanpa bukti yang cukup). Dikisahkan ada guru yang keras, yang mengatakan muridnya bodoh karena tidak mampu menyelesaikan pertanyaan matematika yang sederhana. Fakta sebenarnya dalam kasus ini adalah, siswanya tidak mampu menjawab pertanyaan matematika. Ini adalah generalisasi yang diambil secara induktif. Ada banyak asumsi yang bisa didapat: siswa tersebut buruk dalam pelajaran matematika, atau soal matematika tersebut diluar kemampuannya saat ini. Menyebut siswa bodoh merupakan pernyataan yang terlalu luas dan buruk bagi keadaan psikologis siswa. Sebagai tambahan, hal ini dianggap sebagai pola asuh yang buruk.

Salah satu masalah lain dalam berbicara fakta adalah menggunakan pengalaman atau testimoni dalam menyimpulkan sebuah topik secara keseluruhan. Saat berdebat, orang tersebut mungkin akan menunjukkan pengalaman seseorang sebagai argumen pengelak. “Siapa bilang pengusaha butuh pendidikan formal yang baik? Paman saya lulusan sekolah dasar tapi Beliau sekarang pengusaha sukses sejak 2009!” atau pernyataan yang konteksnya sama. Ini tidak akan menyimpulkan apapun karena pengalaman tersebut hanyalah contoh kecil dari jutaan pengalaman jika dihitung melalui statistik abstrak. Teori dan metode ilmiah lebih akurat dibanding pengalaman pribadi karena didapat berdasarkan banyak sampel, pengamatan dan eksperimen. Sayangnya manusia cenderung berpegang pada apa yang bersifat nyata dan nampak jelas.

Masih soal fakta, ada masalah lain yang samar-samar terlihat lebih logis dan sulit dikenali sebagai masalah. Sebenarnya masalah ini tidak berdasarkan logika, melainkan emosional. Katakanlah seseorang bernama X memiliki hipotesis bahwa Y adalah orang jahat. Untuk membuktikan itu benar atau tidak, X harus mengumpulkan bukti dalam jumlah yang cukup. Namun karena X memiliki preferensi ketidaksukaan terhadap Y, X cenderung mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung hipotesis “Y adalah orang yang jahat” dan menyangkal bukti-bukti yang mengatakan sebaliknya. Dalam beberapa kasus, ketika X menemukan argumen yang mendukung Y sebagai orang baik, X segera memulai pencarian lain untuk menemukan argumen lain yang menentang argumen tersebut. Sehingga fakta sebelumnya, Y adalah orang baik dapat ditiadakan karena fakta tersebut sekarang dianggap berkurang kejelasannya. Perilaku ini disebut Confirmation bias. Ini buruk karena penelitian bisa dijadikan referensi untuk penelitian lain. Penelitian yang buruk akan menjadi referensi yang buruk dan menghasilkan fakta buruk lainnya.

Selain kasus-kasus di atas, masih ada banyak sekali penyalahgunaan fakta, tidak tepat guna, dan tidak beretika yang tidak dapat dijelaskan semua dalam satu tulisan ini. Penggunaan tersebut berpotensi mengikis kemampuan pengambilan keputusan manusia. Itulah mengapa kadang kala kita menemukan artikel yang bertentangan satu sama lain pada mesin pencarian Google. Kita mungkin melihat “7 hal yang menjadikan kopi sangat manfaat bagi Anda” dan “Inilah sebabnya mengapa kopi tidak baik untuk tubuh Anda”. Tak jarang ditemukan tulisan provokatif dan aktivitas cyber bully di internet. Masih banyak orang yang memancing emosi satu sama lain dan menyangkal, “Saya kan hanya menyatakan fakta, kok kalian marah semua?”.  Di dunia ini banyak orang yang tidak menggunakan fakta yang benar dan tidak menggunakan fakta dengan benar. Fakta adalah sumber kekuatan yang begitu besar. Harap diingat bahwa kekuatan besar membutuhkan tanggung jawab yang besar pula.