Dalam beberapa waktu terakhir, aksi mahasiswa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di berbagai kota menjadi perhatian banyak pihak. Tuntutan mereka jelas yaitu keadilan sosial, penolakan kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, dan kritik terhadap pemerintah yang dianggap semakin melenceng dari tugas utamanya. Mahasiswa hadir dengan satu prinsip mendasar yang mendorong mereka untuk terus bersuara, akal sehat.

Kutipan Abraham Lincoln, “Government of the people, by the people, for the people,” terasa bertolak belakang dengan realitas negara saat ini.  Pemerintah yang seharusnya menjadi representasi dari kepentingan rakyat justru kerap terlihat lebih mementingkan kekuasaan daripada kesejahteraan masyarakat. Ketika kebijakan yang diambil cenderung menguntungkan elite dan meninggalkan rakyat dalam ketidakadilan, mahasiswa hadir untuk mengambil perannya sebagai pengawal demokrasi yang sejati.

Akal sehat ini menjadi dorongan moral yang kuat, yang membuat mahasiswa tak bisa tinggal diam. Mereka mengerti bahwa tugas pemerintah bukan hanya menciptakan kebijakan, tetapi memastikan kebijakan tersebut bekerja untuk semua orang, bukan hanya segelintir yang berkuasa. Ketika realitas berbicara sebaliknya, ketika ketimpangan ekonomi semakin nyata, kebebasan sipil mulai terancam, dan rakyat semakin terpinggirkan oleh kebijakan yang diskriminatif. Maka mahasiswa hadir sebagai pengingat bahwa suara rakyat adalah pilar demokrasi yang tak bisa dibungkam.

Dalam konteks ini, kritik mahasiswa bukan sekadar bentuk perlawanan, melainkan sebuah kewajiban moral. Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan sosial. Dari gerakan Reformasi 1998 hingga protes-protes kontemporer, mahasiswa terus menjadi aktor penting dalam melawan otoritarianisme, ketidakadilan, dan korupsi yang merajalela. Mereka tidak datang dengan tangan kosong, tetapi membawa keresahan masyarakat yang tak terdengar oleh mereka yang berkuasa.

Namun, apa yang kita lihat belakangan ini adalah pemerintah yang seolah kebal terhadap kritik. Kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada rakyat, entah dalam bidang ekonomi, pendidikan, atau kebebasan berekspresi, menunjukkan betapa jauhnya pemerintah dari cita-cita demokrasi yang diusung. Dalam situasi seperti ini, suara mahasiswa adalah suara hati nurani bangsa yang menuntut perubahan.

Mereka memahami bahwa kritik bukanlah penghancuran, tetapi bentuk dari cinta yang mendalam terhadap negara. Ketika pemerintah mulai menyimpang dari tugas utamanya sebagai pelayan rakyat, mahasiswa hadir untuk mengingatkan kembali bahwa kekuasaan seharusnya tunduk pada akal sehat dan kepentingan rakyat. Jika pemerintah abai dan suara kritis terus-menerus dibungkam, maka demokrasi akan berubah menjadi kediktatoran yang halus, di mana kebijakan diambil tanpa dialog, dan kepentingan publik dikorbankan atas nama kekuasaan.Pada akhirnya, aksi mahasiswa adalah bentuk nyata dari akal sehat yang terus hidup di tengah ketidakadilan. Mereka hadir untuk menegaskan kembali bahwa pemerintahan yang benar adalah “government of the people, by the people, for the people.” Bukan hanya untuk segelintir penguasa, tetapi untuk seluruh rakyat. Selama pemerintah melenceng dari jalur itu, selama kepentingan rakyat dikesampingkan, mahasiswa akan terus bersuara karena akal sehat tidak bisa dibungkam.