oleh : Masagus Hariadi Arief
Aneka gorengan seperti risol mayo, sosis solo, atau makanan ringan lainnya cukup mengisi hari-hari ku sebagai mahasiswa FILKOM UB belakangan ini. Sudah menjadi penampakan umum di fakultas tersebut kotak-kotak putih berisi makanan ringan atau jajanan berjejeran di pojok-pojok gazebo, sekretariat lembaga, bahkan hingga ke kelas-kelas, dan tak jarang di satu tempat seperti kelas terdapat beberapa orang yang berjualan. Namun yang menarik dari fenomena tersebut, ternyata para penjual makanan ringan tersebut bukanlah orang-orang yang bermata pencaharian sebagai penjual gorengan atau makanan ringan lainnya, mereka adalah para mahasiswa yang sedang mencari dana tambahan atau yang biasa disebut danusan guna menyukseskan beberapa program kerja (proker) yang dimiliki oleh lembaga atau organisasi yang sedang mereka ikuti.
Penulis yang sebagai penikmat jajanan kuliner tentunya terbantu dengan kehadiran makanan ringan tersebut. Namun terkadang rasa iba pun muncul tatkala para pegiat danusan harus membeli barang dagangan mereka sendiri demi sebuah target penjualan yang tak mampu mereka capai, ya memang sungguh ironi melihat mereka yang harus membeli sendiri dagangan yang mereka jual. Rasa iba tak berhenti disana, orang-orang yang bermata pencaharian sebagai penjual gorengan pun harus berbagi lapak dan rezeki kepada para pegiat danusan. Walaupun ada danusan guna menunjang proker kegiatan sosial namun tak jarang proker yang mereka jalankan juga bersifat hura-hura semata, dan saya tak membayangkan dalam benak saya bagaimana nasib orang yang menggantungkan hidupnya kepada gorengan yang mereka dagangkan harus berbagi lapak dan rezeki kepada pegiat danusan demi kegiatan yang bersifat hura-hura.
Mungkin di lain sisi kita semua bertanya apakah dana yang digelontorkan untuk kegiatan kemahasiswaan tidak mencukupi untuk operasionalnya. Namun setelah ditelisik lebih dalam, dana yang digelontorkan dari pagu kemahasiswaan sebesar 600 juta. Tentu besar tidaknya total dana tersebut saya rasa terlalu subyektif untuk dinilai. Namun pada dasarnya ketika dana dikelola dengan buruk, anggaran yang besar pun tak akan cukup rasanya untuk kegiatan apapun. Buruknya pengelolaan anggaran tersebut nampak jelas dengan adanya duplikasi program kerja yang ada pada lembaga. Mungkin kita sebagai anak TI dapat memahami betul dampak buruk dari sebuah duplikasi atau redudansi. Sumber daya menjadi dampak buruk yang utama dari sebuah duplikasi atau redudansi. Apabila duplikasi tersebut terjadi pada sebuah aplikasi maka sumber daya yang dimubazirkan tentunya adalah memori. Namun apabila duplikasi tersebut terjadi pada sebuah program kerja dengan naungan yang sama, yaitu sama-sama di naungi oleh FILKOM maka dana lah yang telah dimubazirkan.
Program kerja gabungan antar lembaga sebenarnya mampu menyelesaikan masalah pemborosan anggaran karena adanya duplikasi proker. Namun hal tersebut sangat mudah untuk diucapkan tetapi akan sangat sulit untuk direalisasikan mengingat tiap-tiap lembaga kemahasiswaan di FILKOM menginginkan lembaga mereka masing-masing menjadi lembaga terdepan dan terbaik. Ya, bisa dibilang hanya karena ego dana pagu kemahasiswaan termubazirkan akibat duplikasi proker. Tulisan ini bertujuan untuk mengoreksi semua lembaga tanpa pengecualian, dan tentunya peran masing-masing ketua lembaga akan menjadi sangat vital, khususnya DPM yang memiliki tanggung jawab dalam budgeting dalam memperbaiki pengelolaan keuangan dengan cara menekan duplikasi proker yang ada, dan juga tak lupa ego masing-masing anggota lembaga yang hanya mengedepankan lembaga yang mereka ikuti saja, tanpa memedulikan lingkup yang lebih besar (fakultas) juga harus disadarkan. Toh sudah tertuang dalam jargon kita “Satu Hati Satu Jiwa FILKOM” yang menggambarkan persatuan hati dan jiwa keluarga besar mahasiswa FILKOM. Sungguh menyedihkan apabila jargon tersebut tak mampu terealisasi karena ego masing-masing lembaga dan berdampak kepada para panitia-panitia proker yang juga harus menjadi pegiat danusan, yang tak jarang membeli barang dagangan mereka sendiri dan juga merampas lapak pedagang gorengan yang sebenarnya.
Melalui tulisan ini penulis berharap dapat sedikit banyak memberi pencerahan kepada para calon pemimpin yang akan bertarung di bulan suci PEMILWA, sehingga masing-masing lembaga tidak lagi ternodai dengan ego, dan pengelolaan anggaran pun dapat efektif dan efisien.