Oleh : Ilmi (IF 2015)

“Manusia adalah tempatnya salah dan lupa”

Itu kata-kata yang cukup sering saya dengar bahkan semenjak pertama kali saya duduk di bangku sekolah. Kata-kata itu juga masyhur digunakan sebagai senjata pamungkas, ketika seseorang yang dengan ceroboh berada dalam situasi terpojok karena melakukan kesalahan. Acapkali kita temukan kejanggalan-kejanggalan di sekitar kita, baik yang pengaruhnya signifikan maupun tidak begitu signifikan kepada kita, namun kita memilih untuk diam dan sekadar “menerima keadaan”. Sebagian didasari oleh rasa malas untuk melakukan sesuatu yang dirasa bukan tanggung jawab kita, namun pada tingkatan tertentu kita bahkan memilih untuk “memaklumi” kejanggalan tersebut dengan dalih tidak ada manusia yang sempurna.

Saya akui, memang tidak ada manusia yang sempurna. Sebaik-baik apa pun seseorang di pada satu sisi, pasti dia memiliki kekurangan di sisi lain. Kalau mengutip peribahasa, “Tak ada gading yang tak retak”. Namun menurut saya, bahkan seorang Droogstoppel sekalipun bisa berpikir bahwa ketidaksempurnaan kita sebagai manusia tidak lantas memaksa kita untuk harus selalu bermaklum pada setiap kesalahan dan kealpaan. Sang makelar kopi yang seringkali tak acuh kepada rakyat pun bisa membangun kerajaan bisnisnya karena ia menerapkan ketelitian dan evaluasi di setiap tindakannya yang berkenaan dengan bisnis tentunya. Bagaimana mungkin seorang yang benar-benar tak acuh bisa ujug-ujug berdiri di atas podium kekayaan tanpa melakukan serangkaian evaluasi diri?

Bertepatan dengan momentum 10 November ini, saya pikir adalah saat yang tepat bagi kita kembali menengok sejenak pertempuran dahsyat yang berlangsung selama berminggu-minggu 72 tahun silam. Refleksi semangat perjuangan kala itu mungkin bisa “menampar” kita yang tengah “mengantuk di siang bolong”.

Singkat kata, meskipun sejak awal dari segi persenjataan rakyat Surabaya sudah kalah telak dari pihak Sekutu, namun hal itu tidak menumpulkan semangat mereka untuk terus melakukan perlawanan. Akhirnya setelah tiga minggu yang begitu panas, kota Surabaya jatuh ke tangan Sekutu.

Hasan Nasrallah mengatakan, kemenangan itu ada dua: level kemenangan militer dan level kemenangan maknawi. Ya, dalam perang itu rakyat Surabaya kalah dari segi militer. Setidaknya 6000-16000 pejuang dari pihak Indonesia tewas kala itu. Namun tidak dari segi fatih, yakni tujuan, ideologi, prinsip, dan norma-norma. Perlawanan rakyat Surabaya di tengah gempuran Sekutu itu mengobarkan semangat rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Bahwa meskipun rakyat di tengah kondisi gempuran oleh pihak yang memiliki persenjataan yang jauh lebih lengkap, kemerdekaan harus tetap diperjuangkan. Ungkapan yang cukup terkenal kala itu, “Kemerdekaan harga mati,”. Hasan Nasrallah melanjutkan, bagi setiap pemenang dari segi persenjataan tidak selalu meniscayakan ia juga menang dalam segi fatih. Dan rakyat Surabaya telah mencapai kemenangan tersebut yang jauh lebih luhur dari level kemenangan dalam segi militer semata.

Dari nostalgia singkat itu, saya menyimpulkan bahwa rakyat Surabaya mengajarkan kepada kita semua, “Hasil takkan mengkhianati usaha,”. Sedikit mengingat perjuangan kemerdekaan, bahkan Jendral Soedirman di tengah sakit parahnya pun sampai ia harus ditandu di medan gerilya kala itu mengajarkan kita akan kegigihan. Bahwa jika kita menginginkan perubahan, maka satu-satunya cara adalah bergerak. Cermati situasi dan keadaan, identifikasi secara pasti apa-apa yang harus dibenahi, brainstorm, cari solusi-solusi terbaik dari permasalahan tersebut, dan bergeraklah. Saya tegaskan lagi kepada kita semua, khususnya saya sendiri, bahwa jika kita dihadapkan kepada sebuah permasalahan, maka satu-satunya cara untuk merubah nasib adalah dengan bergerak, berdoa, dan berusaha.

 

“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar terimalah dan hadapilah,” (Gie, 1966).