Oleh: Rafid Agung Pradana
“Dan kita arak mereka, bandit jadi panglima
Politik terlalu amis, dan kita, teramat necis.”
Bait pertama dari fragmen satu lagu “Merah” dalam album Sinestasia (2015) milik Efek Rumah Kaca (ERK) mengawali saya membuka pernyataan saya. Gerakan politik mahasiswa saat ini, khususnya yang saya lihat dan saksikan sendiri mengalami kemerosotan jauh dari apa yang saya tau dan saya amini. “Politik terlalu amis, dan kita teramat necis” menggebrak saya dengan kesadaran bahwa yang terjadi pada golongan mahasiswa yang disebut-sebut sebagai golongan para ‘revolusioner’ atau golongan para pemuda ini sudah terlampau sangat kotor dan ‘amis’ jika saya mengambil kata-kata Cholil Mahmud, Vokalis ERK.
“Lalu angkat mereka, sampah jadi pemuka
Politik terlalu najis, dan kita teramat klinis”
Menyadarkan saya kembali, bahwa politik yang kita dengar, para milenial awal dan generasi Z sudah sangat ‘najis’. Saya ingat beberapa teman saya yang mengatakan sendiri bahwa politik adalah tempatnya setan. Politik sudah sangat najis dan amis, dan kita –mahasiswa- sungguh sudah rapi dan terlalu suci untuk masuk ke tempat setan tersebut.
Bait-bait selanjutnya dari ilmu politik, fragmen satu dalam lagu “Merah” ERK membuat kesadaran saya khususnya akan kondisi yang sedang saya lihat dan saya amati ini. Mahasiswa dalam hal ini, para pemuda yang terlalu rapi dan manis kemudian ‘ogah’ untuk masuk dalam dunia politik. Tentunya politik di gerakan mahasiswa.
Kesadaran para mahasiswa dan teman-teman dekat saya yang memilih untuk ‘ogah’ dalam dunia politik kampus atau gerakan mahasiswa adalah standar. Mereka merasa bahwa tujuannya berkuliah adalah untuk diajar oleh para dosen-dosen tinggi universitas. Mereka merasa dan mewajibi bahwa kuliahnya adalah tempat dia dicekoki oleh kalimat-kalimat dosen tentang pengetahuan-pengetahuan dengan harapan mereka bisa menjadi orang sukses, yaitu menjadi sebuah karyawan di perusahaan level internasional atau menjadi yang bisa mereka sebut sukses, apapun itu.
Tentu hal tersebut tidaklah salah. Siapa yang bisa melarang anda untuk menginginkan hal tersebut, bahkan negara pun tak berhak apalagi orang tua anda bahkan tidak berhak untuk menentukan apa yang anda capai. Pun dengan hak berpolitik, tidak ada yang salah memang jika anda pun memilih untuk berapolitis ria. Siapa yang berhak selain anda sendiri untuk menentukan apa yang ingin anda lakukan dan tidak lakukan.
“Sampai kapan kau relakan, dia kekeringan
dihisap jiwa raganya, seluruh hidupnya
marah di mana-mana, lara di mana-mana”
Bait berikutnya dari fragmen kedua, lara di mana-mana harusnya menyadarkan anda. Tentu hak anda untuk memilih, tapi apakah anda tidak merasa? Bahwa lara di mana-mana, marah di mana-mana. Di ruang publik, di ruang sosial media, di obrolan kopi tengah malam, atau sekedar obrolan di selingan rokok dan kopi oleh tukang parkir?
Belakangan kondisi politik, terutama dalam kampus dan dalam lingkungan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya, sudah menjadi lara dan temaram. Dua tahun berturut-turut pencalonan presiden mengalami aklamasi. DPM fakultas yang kemudian menyusul pada tahun lalu, aklamasi (dan bahkan salah satu calonnya hampir tidak sah menjadi anggota ke-9 tanpa melalui sidang istimewa telebih dahulu).
Memang apa yang salah atau dapat terjadi yang tidak kita semua inginkan ketika gerakan apolitis atau politik kemudian menjadi mati dan mulai ditinggalkan? Coba anda pikirkan sejenak, ketika kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang yang seharusnya tidak memiliki kekuatan, apa yang akan terjadi. Atau analogi sederhananya adalah, berikan sebuah kekuatan administrator database kepada seorang karyawan gedung. Atau analogi lebih umumnya coba berikan seorang balita yang baru bisa berjalan untuk memimpin keluarganya sendirian. Hal itu mungkin terjadi, tapi kita tidak ingin itu terjadi sebenar-benarnya. Pikirkan lagi, ketika orang yang tidak memihak pada anda, atau menggunakan kekuasaannya untuk hal-hal lain, dan anda tentunya yang akan merasakan nasibnya. Seperti seorang balita, yang memberi kebijakan pada seluruh keluarganya untuk menggunakan popok. Anda yang akan merasakan langsung dari kebijakan si balita tersebut.
“Mukjizat hanya di zaman nabi
tak bisa langsung sehat, dihadapi dikelahi”
Bait selanjutnya dari fragmen ketiga, ada-ada saja. Berbicara bahwa kita tak bisa hanya menunggu. Harus dihadapi dan dikelahi, Cholil Mahmud sang vokalis berkata. Banyak hal yang bisa saya dan anda lakukan. Untuk menjadikan politik di lingkungan mahasiswa tidak mati dan tidak ditinggalkan untuk ‘orang-orang yang tidak berkepentingan’ atau balita. Cara paling sederhana dengan tidak ikut atau masuk ke dalam dunia politik yang ‘iblis’ adalah dengan mencari tahu dan memantau gerakan politik yang terjadi. Segala gerak-gerik, risah-risuh gerakan politik bisa anda ketahui. Lalu anda kritisi, karena itu hak dasar dari setiap manusia demokrasi. Untuk menyatakan aspirasinya. Atau jika memang bisa, ikut dan rubah dari dalam sistem.
Gerakan politik di lingkungan mahasiswa menjadi sangat berarti, karena dunia politik kampus mencerminkan politik di luar kampus. Politik kampus yang sehat akan menciptakan kader-kader politisi untuk dunia politik di luar kampus. Pun dengan politik kampus yang sehat dan baik, maka seluruh anggota dalam politik kampus tersebut, entah pelaksana, pengawas, atau rakyat akan mendapatkan informasi yang utuh dan baik, bagaimana seharusnya politik itu dijalankan. Sehingga ketika anggota di dalam politik kampus tersebut keluar dari lingkungan kampus dan kembali kepada lingkungan masyarakat yang luas, anggota tersebut dapat menciptakan kondisi di luar kampus menjadi ikut sehat. Lagipula bukankah itu tujuan kita berkuliah? Untuk mencetak golongan-golongan yang akan berguna dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara Indonesia. Selain untuk mencetak sebuah ‘robot’ pengetahuan untuk korporasi-korporasi besar milik negara atau milik swasta.