Polemik PBESI : Perlukah Esport Diatur?

Beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan oleh perdebatan antara para pemain dan pengamat esports dengan Pengurus Besar Esports Seluruh Indonesia (PBESI). Peraturan ekosistem esports di Indonesia yang dikeluarkan oleh PBESI menuai banyak kecaman dari para pelaku esports di Indonesia. Beberapa pasal yang tercantum dianggap mempersulit bahkan bisa mematikan industri esports di Indonesia. Banyak juga yang beranggapan bahwa peraturan tersebut hanya bertujuan untuk mencari keuntungan secara materi saja tanpa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh ekosistem esports di Indonesia untuk berkembang. Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan, apakah memang diperlukan sebuah peraturan untuk ranah esports dan apakah PBESI memang berkompeten untuk mengurus hal tersebut?

Walaupun sejatinya esports sendiri masuk di Indonesia mulai pertengahan 2000-an lewat tim NXL yang berhasil masuk turnamen dunia dan mulai naik di periode pertengahan 2010-an lewat gim-gim seperti DOTA 2 dan Counter Strike, tak bisa dipungkiri bahwa 2-3 tahun terakhir ranah esports menjadi buah bibir yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari hadirnya berbagai macam game mobile seperti Mobile Legend, Free Fire, dan Arena of Valor. Gim-gim tersebut memberikan kemudahan akses bagi para pemainnya untuk masuk ke dalam ranah profesional yang mana hal tersebut tidak dapat dirasakan sebelumnya karena keterbatasan perangkat dan jaringan. Jika sebelumnya pemain harus memiliki perangkat komputer yang mumpuni dan jaringan internet yang lancar dan stabil untuk dapat bermain secara kompetitif tanpa adanya gangguan, kini pemain hanya membutuhkan perangkat hp dan paket kuota dari provider seluler saja untuk bermain gim. 

Dilansir dari esportnesia, peluang besar tersebut yang akhirnya menjadi dasar dibentuknya PBESI. Para pengurus PBESI beranggapan bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk dapat mengenalkan esports ke seluruh Indonesia dan juga membina ekosistem yang ada sehingga dapat menghasilkan atlet-atlet yang kompetitif hingga tingkat Asia. Namun, apakah hal itu diperlukan? Jika kita melihat jajaran pengurus dari PBESI, maka para pecinta gim akan heran karena pengurus tersebut diisi oleh orang-orang yang bahkan tidak pernah berkecimpung di dunia esports. Lantas, apakah kita yakin bahwa mereka berkompeten dalam mengurus ranah yang bahkan mereka sendiri belum tau seluk beluk di dalamnya?

Jika dilihat dari sejarah gim hingga turnamen yang telah terkenal seperti The International milik gim Dota 2 yang telah ada sejak tahun 2011 dan turnamen-turnamen lain maka bisa dilihat satu kesamaan yaitu penyelenggara turnamen tersebut adalah publisher gim dan event organizer seperti Valve dan ESL. Selain itu, masih banyak turnamen berskala kecil maupun besar yang diselenggarakan atas inisiatif dari komunitas sebuah gim sebagai sarana untuk bertemu dan saling mengasah kemampuan masing-masing dalam bermain gim tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tanpa ada campur tangan dari sebuah induk organisasi tertentu, ekosistem esports ini akan berjalan dengan sendirinya. Sejatinya esports ini layaknya sistem demokrasi negara kita, “Dari komunitas, oleh komunitas, dan untuk komunitas”. Banyak contoh turnamen dari gim yang diselenggarakan oleh komunitas tanpa melibatkan publisher yang umumnya masih berskala kecil dan regional seperti GP Bikes Indonesia. Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya tanpa perlu campur tangan dari satu induk organisasi, komunitas sudah tau apa yang mereka perlukan dalam menyelenggarakan esports mereka sendiri. Hal ini tentu bertentangan dengan peraturan PBESI Bab VIII yang jelas mengatur tentang penyelenggaraan turnamen dan liga esports di Indonesia. Dalam bab tersebut dijelaskan bahwa turnamen dengan bentuk liga dan turnamen yang memiliki total hadiah di atas lima belas juta rupiah wajib memiliki izin dari PBESI jika tidak ingin dianggap ilegal dan bisa dihentikan oleh aparat. Penggunaan kata aparat dan ilegal disini pun terasa berlebihan. Jika kita hanya berkumpul untuk senang-senang dan menikmati gim kesayangan kita dalam sebuah turnamen, untuk apa aparat perlu membubarkan acara tersebut? Apakah ada tindak kriminal dari kegiatan tersebut? Apakah ilegal untuk berkompetisi dalam sebuah gim? Apakah ilegal untuk memainkan gim? Apakah memang perlu melibatkan aparat dalam hal sepele ini? Jika memang ada tindak kriminal dalam penyelenggaraan turnamen seperti penipuan maka yang perlu ditindak adalah pelaku penipuan tersebut bukan esports-nya. Sama halnya ketika ada tindak kekerasan akibat bermain gim maka yang perlu ditindak adalah pelaku kekerasannya bukan memblokir gimnya.

Selain itu, gim yang dipertandingkan harus sudah terdaftar di PBESI melalui publisher gim tersebut. Hal ini tentu sangat memberatkan para komunitas karena mereka tidak bisa mengenalkan gim mereka ke ranah yang lebih luas akibat batasan-batasan tersebut. Jika ditanya “Mengapa tidak mendaftarkan gim tersebut?” maka jawabannya “Tidak semudah itu, Ferguso”. Penerbit gim sejatinya hanya memiliki tujuan memasarkan gimnya tanpa ada tujuan ke ranah esports. Apabila gim mereka meledak karena esports, barulah mereka terkadang mulai berkontribusi di dalam industri tersebut entah sebagai penyelenggara ataupun sponsor. Namun itu hanya untuk skala besar dimana esports ini telah diminati oleh jutaan bahkan puluhan juta pemain dari seluruh dunia. Jika gim mereka hanya dikenal oleh beberapa komunitas di satu negara, untuk apa mereka repot-repot mengurus administrasi demi esports. Akhirnya yang jadi korban adalah komunitas yang bisa mati. 

Jika dilihat dari halaman resmi PBESI dan beberapa artikel lain, gim yang terdaftar di PBESI hingga saat ini hanya berkutat pada game mobile saja tanpa menyertakan game PC seperti DOTA 2 dan Valorant yang sudah jelas lebih populer daripada game mobile tadi secara global. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya gim-gim yang menjadi sasaran PBESI ini hanyalah gim yang terkenal di Indonesia dan dapat memberikan keuntungan yang besar dari banyaknya turnamen-turnamen regional dan nasional yang diadakan. Mereka seakan menutup mata bahwa banyak gim-gim yang lebih dikenal dan populer di kalangan gamers Indonesia. Pasal 39 yang menjadi pemicu utama dari kontroversi di masyarakat mengatur tentang hal ini. Dalam pasal tersebut, selain menjelaskan bahwa gim yang akan dipertandingkan harus terdaftar, terdapat ayat yang dapat ditafsirkan bahwa PBESI mengatur peredaran gim di Indonesia. Kesalahan tafsir tersebut telah diklarifikasi oleh sekjen PBESI. Dilansir dari grid.id, ia berdalih jika peraturan tersebut hanya berlaku untuk lingkup PBESI saja dan tidak berpengaruh terhadap gim-gim yang akan dan telah beredar di Indonesia. Pernyataan tersebut justru menimbulkan pertanyaan baru, sebenarnya tolak ukur apa yang dipakai PBESI untuk mengkategorikan sebuah gim harus terdaftar? Apakah hanya melalui turnamen? Atau tim profesional? Apakah jika memiliki mode kompetitif multiplayer bisa dijadikan patokan mengingat dalam ayat 7b menyatakan bahwa gim yang ingin mendaftarkan diri harus memiliki mode kompetitif tersebut.

Polemik lainnya tentu mengenai legalitas tim dan pemain. Dalam Bab V hingga VII dijelaskan mengenai regulasi legalitas tim dan pemain dimana untuk dapat bertanding di turnamen dengan dukungan PBESI, maka tim dan pemain harus sudah terdaftar dan memiliki lisensi keanggotaan dari PBESI terlebih dahulu. Khusus untuk tim, selain terdaftar di PBESI tim juga harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT) untuk dapat dianggap sebagai tim profesional. Hal ini cukup mengherankan karena selama ini baik di Indonesia maupun internasional, para penyelenggara membebaskan tim manapun untuk ikut turnamen yang mereka adakan jika membuka open qualifier. Untuk menentukan keabsahan/legalitas tim dan pemain, para penyelenggara ini bekerjasama dengan pihak ketiga seperti Faceit di Counter Strike dan VAC untuk gim-gim keluaran Valve. Hal tersebut tentunya membuka peluang besar bagi tim-tim yang baru berdiri untuk dapat akses terhadap turnamen-turnamen yang diselenggarakan. Tak jarang juga tim-tim ini hanya dibentuk untuk mengikuti salah satu turnamen saja dan akan bubar setelah turnamen selesai. Jika tim-tim tersebut diharuskan berbentuk PT, bukan tidak mungkin tim-tim yang akan masuk ke ranah esports akan mengurungkan niat mereka. 

Selain masalah bentuk tim sebagai badan usaha, peraturan yang dibuat juga menyebut dengan jelas bahwa pemain dan tim yang terdaftar wajib membayar iuran tahunan kepada PBESI. Dengan adanya iuran tahunan ini, terlihat bahwa PBESI berusaha untuk meraup pundi-pundi dari para stakeholder karena belum jelas berapa besar uang iuran yang akan dibayarkan dan kemana uang tersebut akan dialokasikan. Selain itu, berdasarkan pengalaman pembiayaan dari beberapa federasi olahraga lain, pemungutan iuran ini dapat menjadi celah bagi pengurus melakukan korupsi. Pemain dan tim juga belum tentu merasakan langsung manfaat atau timbal balik dari adanya iuran ini karena bisa saja ada “anak emas” dari beberapa pengurus yang mendapatkan keuntungan yang lebih daripada anggota lain. Iuran ini juga dapat memberatkan bagi pemain/tim yang sedang merintis karirnya. Bisa jadi perkembangan mereka terhambat karena tidak ada keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran yang mereka dapatkan dari berkarir di dunia esports, belum lagi jika ada tim-tim yang hanya berjalan untuk satu turnamen saja seperti yang disebutkan sebelumnya. Selain legalitas dan iuran, terdapat satu bab yang juga terasa aneh yaitu mengenai transfer pemain. Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa transfer pemain dalam lingkup PBESI ditentukan oleh PBESI dan diberi batas waktu tertentu. Mungkin untuk beberapa gim, hal itu merupakan hal yang wajar. Namun, apakah peraturan tersebut dapat diterapkan pada gim lain? Atau PBESI hanya membuat peraturan untuk gim-gim tertentu saja? Jika dilihat pada gim-gim populer maka bukan hal yang aneh jika seorang pemain bisa berpindah-pindah tim hanya dalam kurun waktu beberapa bulan saja. Hal itu belum dihitung jika suatu tim memutus kontrak para pemainnya dan menutup tim pada divisi gim tersebut. Ketika hal tersebut terjadi di luar jadwal bursa transfer, apakah pemain-pemain ini tidak bisa bertanding dengan tim yang baru? Apa mereka harus menganggur hingga jadwal bursa transfer dibuka? Bukankah hal tersebut sama saja seperti membunuh karir pemain secara halus?

Pada akhirnya, peraturan yang dibuat oleh PBESI ini terkesan hanya untuk gim-gim tertentu yang memang terlihat memberikan keuntungan yang besar bagi mereka. PBESI juga terkesan membuat peraturan ini dengan dasar peraturan milik olahraga konvensional yang tentu saja tidak bisa disamakan dengan esports. Esports ini sejatinya dunia yang dinamis dan fleksibel karena banyaknya gim yang dipertandingkan dan setiap gim tentu memiliki aturannya masing-masing. Seharusnya, para pengurus PBESI ini mengibaratkan esports sebagai suatu ajang seperti olimpiade dan gim-gim di dalamnya sebagai cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan, bukan esports sebagai satu cabang olahraga sendiri karena setiap gim memiliki aturan dan komunitasnya masing-masing. PBESI perlu melakukan banyak perubahan baik dari segi pengurus maupun peraturan jika memang benar-benar ingin mengenalkan dan membina olahraga baru ini. PBESI juga perlu melakukan riset yang mendalam mengenai jalannya esports ini sehingga kedepannya tidak membuat blunder-blunder serupa.

Penulis: Uddin
Editor: Lif