Hari Kesehatan Mental Sedunia adalah hari yang diperingati untuk mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan mental. Sebagian masyarakat awam masih banyak yang menganggap remeh atau bahkan mengabaikan hal ini, padahal kasus gangguan mental setiap tahun terus meningkat. Dilansir dari CNN Indonesia, World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia yang diakibatkan oleh depresi. Bahkan WHO melaporkan setiap detik terdapat satu orang yang melakukan bunuh diri di seluruh dunia dan setiap tahunnya terdapat 800 ribu orang yang tercatat melakukan bunuh diri. Itu berarti, setiap 40 detik akan terdapat 1 orang yang tewas bunuh diri. 

Menurut catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018), prevalensi gangguan emosional terjadi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas. Kemudian pada hasil survei Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebanyak 5,14 persen siswa pernah memikirkan untuk bunuh diri dan sekitar 2,39 persen mengaku pernah melakukan percobaan bunuh diri (Kemenkes, 2015). Angka ini mengkonfirmasi tingginya angka bunuh diri di Indonesia pada usia remaja dan dewasa muda (15-29 tahun). 

Usia remaja merupakan usia yang sangat rentan dengan gangguan mental karena pemikiran yang belum matang dan banyaknya tekanan dari lingkungan sekitar baik dari keluarga, pendidikan, ,maupun lingkungan sosial. Selain itu, munculnya stigma-stigma negatif yang berkembang di tengah masyarakat menambah hambatan bagi penderita untuk segera mendapat bantuan. Seperti contoh, apabila penderita meminta bantuan kepada psikiater maka ia akan dianggap gila, selain itu ada juga stigma yang mengatakan bahwa orang yang mengalami gangguan mental itu dikarenakan kurang iman. Padahal, stigma tersebut hanya akan menambah tekanan bagi mereka dan membuat penderita terus-terusan berdiam diri. 

Menjaga kesehatan mental bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan motivasi yang tinggi serta dukungan dari keluarga, teman-teman, dan lingkungan. Gangguan mental dapat diderita oleh siapa saja, oleh sebab itu kita juga harus lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Tidak menutup kemungkinan terdapat orang yang berada di  sekitar kita sedang membutuhkan kita, tetapi mereka tidak tahu harus berbuat apa. 

Sementara itu, adanya Covid-19 yang menyerang Indonesia sejak bulan Maret lalu mengakibatkan adanya berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Seperti anjuran untuk menjaga jarak atau social distancing dengan menghindari tatap muka secara langsung dengan orang lain. Menurut studi yang berjudul Nationwide Survey of Psychological Distress among Chinese People in the COVID-19 Epidemic: Implications and Policy Recommendations yang diterbitkan di jurnal General Psychiatry, ditemukan bahwa ada 35 persen dari 52.730 orang di Tiongkok yang mengalami tekanan psikologis. Sehingga hal ini mendorong terjadinya peningkatan jumlah penderita gangguan mental dan turut menghambat penyembuhan penderita.

Pertahanan diri yang bisa dilakukan sebagai tindakan preventif dari mental illness selama Covid-19 dapat dimulai dari diri sendiri. Karena sebelum membantu membahagiakan orang lain, tolong dan bahagiakanlah diri kita sendiri dahulu. Bagaimana kita dapat membantu orang lain sedangkan kita masih berada dalam kesulitan. Apabila memiliki beban atau tekanan, jangan hanya dipendam sendiri,  dan sebisa mungkin berceritalah kepada seseorang yang kita percaya. Jika anda merasa kesulitan, katakanlah sulit, jika sedih, katakanlah bahwa anda sedih. Seperti dalam sebuah kalimat “It’s okay not to be okay” yang berarti, tidak apa-apa bila anda tidak merasa baik-baik saja.

Penulis : Diana