Menjawab Skeptisme Terhadap Laptop Merah Putih
Di masa pandemi COVID-19 yang semakin tidak jelas ini, Kemendikbudristek membawa produsen laptop lokal dalam program laptop merah putih yang diperuntukkan kepada sekolah di kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Nadiem Makarim melalui KompasTV pada hari Jumat (30/7) lalu, memberikan pernyataan akan adanya alokasi dana Rp2.4 triliun untuk 240 ribu laptop dalam program ini. Hal ini sedikit menuai kontroversi di jejaring sosial karena muncul asumsi bahwa setiap unit laptop menggunakan dana Rp10 juta dengan spesifikasi unit yang jauh dari kelas harganya. Kepala Biro Perencanaan Kemendikbud dan Ristek, M Samsuri, memberikan klarifikasi yang menyatakan bahwa anggaran tersebut merupakan paket teknologi informasi komunikasi (TIK) yang terdiri dari laptop, router, connector, printer, dan scanner (dilansir dari DetikInet). Sayangnya, kontroversi masih tetap menuai di masyarakat, di mana masih banyak yang mengomentari spesifikasi unit terlalu buruk untuk penggunaan siswa. Namun apakah benar seperti itu?
Di dalam kuliah jurusan Teknik Komputer, ada sebuah ilmu yang membahas tentang rekayasa kebutuhan. Ilmu ini membahas bagaimana suatu komponen dipilih berdasarkan kebutuhan dari suatu sistem. Hal ini termasuk rasionalisasi pemilihan komponen satu dibanding komponen lainnya. “Semisal tugas ini bisa dipenuhi hanya dengan Arduino UNO, mengapa harus menggunakan Raspberry Pi yang harganya bisa mencapai 30 kali lipat harga Arduino? Mengapa menggunakan ESP32 ketika sistem anda tidak menggunakan jaringan wifi/bluetooth?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menjadi dasar yang perlu dimiliki mahasiswa ketika mengembangkan perangkat dari sudut pandang tujuan penggunaan, yang menjadi bahasan tersendiri untuk pengerjaan tugas akhir atau skripsi. Selain itu, ilmu ini juga berguna untuk menghindari baik over maupun underspending budget. Yang dimaksud adalah untuk meminimalisir kerugian akibat overspending (mubazir) serta underspending (tidak memenuhi kriteria kebutuhan). Balik lagi ke bahasan, untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, berarti diperlukannya untuk mengetahui apa saja kebutuhan siswa pada umumnya.
Kebutuhan siswa sebagai pelajar umumnya adalah kemampuan untuk mengakses modul pembelajaran, berpartisipasi dan berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, serta kemampuan untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Hiburan bukan bagian dari kebutuhan primer pelajar sehingga tidak menjadi pertimbangan utama dalam rekayasa kebutuhan. Selain 3 hal di atas, pertimbangan yang juga perlu diperhatikan adalah pengalaman pengguna dalam menggunakan perangkat. Hal ini mencakup kecepatan akses dan eksekusi perintah, durabilitas dan keamanan perangkat, serta beberapa hal lainnya. Tentunya, semisal waktu eksekusi perintah bisa memakan waktu 5 hingga 10 menit per perintah, pengguna pun tidak akan merasa nyaman dengan perangkat yang disediakan. Dari semua pertimbangan di atas, baru bisa dimulai dikaji satu per satu pemilihan komponen laptop paket TIK ini.
Hal pertama yang harus dilihat di sini adalah pemilihan sistem operasi perangkat. Pemerintah di sini memutuskan untuk menggunakan Chrome OS, pilihan yang normal jika bercermin pada paket perangkat yang disajikan untuk sarana prasarana pelajar tingkat dasar-menengah awal di luar negeri. Ekosistem yang ditawarkan Chrome OS akan membuat penggunanya akan sangat terikat dengan browser Chrome itu sendiri, yang mana hampir semua kegiatan atau program akan perlu melalui perantara browser. Hal ini membuat fungsionalitas menjadi cukup terbatas dibandingkan menggunakan sistem operasi Windows. Di sisi lain, kebutuhan akan office suites yang diperlukan untuk kebutuhan kegiatan belajar mengajar sudah dipenuhi oleh paket G-Suite sendiri, yang memberikan jasa aplikasi word processing (Gdocs), Spreadsheet (Gsheet), Powerpoint (GPresentation), dan berbagai jasa lainnya yang bisa menggantikan Microsoft Office meskipun dengan beberapa keterbatasan sehingga tetap memenuhi kebutuhan dasar pelajar yang mengikuti kurikulum umum. Basis kernel yang digunakan oleh Chrome OS, Linux, membuat sistem secara resource consumption tidak seboros Windows dan memberikan keamanan yang lebih kuat sehingga pengalaman pengguna secara keseluruhan menjadi lebih ringan dan juga membuat sistem tidak mudah terkena virus, malware, dan semacamnya yang umumnya sangat mudah menyerang sistem operasi Windows. Juga, Chromebook memiliki kemampuan untuk menjalankan aplikasi android secara native tanpa memerlukan emulator third party seperti Nox dan semacamnya. Salah satu overclocker profesional serta reviewer teknologi dari JagatReview, Alva Jonathan, pada salah satu post di akun pribadi Instagram-nya (@lucky_noob.oc) bahkan berhasil menjalankan aplikasi Genshin Impact (versi Android) di Chromebook dengan spesifikasi yang serupa dengan yang ditawarkan laptop merah putih untuk pelajar ini, meskipun dengan frame rate yang tergolong unplayable. Jika menggunakan sistem operasi Windows, mungkin aplikasi ini tidak bisa jalan sama sekali.
Namun, ada beberapa concern yang perlu diperhatikan dalam memilih Chrome OS sebagai sistem operasi. Keterbatasan fungsionalitas berarti kemungkinan untuk tugas-tugas berbasis multimedia akan semakin terbatas opsinya sehingga sangat sulit atau bahkan hampir tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan pelajar tingkat kejuruan, termasuk keminatan Rekayasa Perangkat Lunak, Teknik Komputer dan Jaringan, Multimedia, dan semacamnya. Jurusan-jurusan di atas umumnya akan menggunakan perangkat lunak yang hanya tersedia sistem operasi Windows atau setidaknya Linux secara rutin seperti Adobe Suite, Cisco Packet Tracer, Android Studio, dan semacamnya. Hal ini membuat penggunaan sistem ini tidak sesuai dalam use case ini, namun sudah cukup bagi pelajar berbasis kurikulum umum. Poin penting lainnya yang juga sempat dibahas di salah satu video di kanal YouTube David Gadgetin adalah seberapa bergantungnya sistem kepada internet karena basis sistem operasi yang sangat tergantung kepada web browser ini. Hal ini bukan berarti tidak ada workaround-nya seperti contohnya memberikan modul pembelajaran yang disimpan secara offline, namun masuk ke dalam pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh Kemendikbud dalam implementasi di masyarakat nanti, mengingat penyebaran jaringan internet masih belum merata di Indonesia.
Selanjutnya, dari sisi spesifikasi perangkat. Dual core, 32GB storage, 4GB DDR4 RAM, 11 inch LED display. Bisa diasumsikan sistem ini menggunakan processor Intel N4020, media penyimpanan tipe eMMC, dengan ram tipe solder tanpa upgradability sebagai baseline atau minimum spesifikasi yang akan disediakan untuk pengguna nanti. Sekilas terlihat sangat lemah, “32 Giga mana cukup penyimpanannya? Dual core (dengan dua thread) di era 2021 bisa apa? RAM 4 GB memangnya nyaman?” Mungkin beberapa akan mempertanyakan akan hal ini, dan hal ini wajar saja. Tapi perlu diperhatikan, kebutuhan sistem untuk ekosistem Windows dengan ekosistem Chromebook itu berbeda. Dengan OS Windows, sistem ini hampir tidak bisa digunakan. Media penyimpanan memberikan benar-benar sedikit ruang untuk dokumen pribadi pengguna, penggunaan RAM hampir 80 bahkan 90 persen dalam kondisi idle, waktu akses dan eksekusi program yang bisa dibilang sangat lambat di era 2021. Pengalaman penggunanya sama sekali tidak nyaman, jika menggunakan kacamata pengguna OS Windows.
Dengan Chrome OS, kita bisa asumsikan sistem ini masih memberikan ruang nafas dalam penggunaan sumber daya. Tentu, dual core masih akan menjadi bottleneck dalam kenyamanan pengguna, namun setidaknya masih dalam kondisi yang bisa ditoleransi. Storage terbatas juga bisa diatasi dengan memanfaatkan cloud service seperti GDrive, yang diasumsikan akan di-bundle bersama dengan email yayasan untuk memberikan unlimited storage seperti yang diterapkan pada Universitas Brawijaya saat ini. Penggunaan storage tipe eMMC berarti sistem tidak memiliki kepingan berputar, yang berarti meminimalisir kemungkinan terjadi kehilangan data akibat keteledoran pengguna (jatuh), dan semacamnya yang umumnya terjadi pada storage tipe Hard Disk Drive (HDD). Tentu, dari sudut pandang tech enthusiast, akan lebih baik jika sistem menggunakan storage berbasis Solid State Drive (SSD) agar memberikan pengalaman pengguna yang lebih baik dengan kecepatan akses data yang lebih kencang, namun untuk penggunaan sehari-hari, eMMC sudah cukup untuk melakukan tugasnya, meskipun bukan pilihan terbaik.
Secara rekayasa kebutuhan, bisa disimpulkan bahwa sistem ini cukup memenuhi kebutuhan minim siswa berbasis kurikulum umum, meskipun ada beberapa titik yang perlu diperhatikan akibat “ongkos memilih sebuah opsi”. Dari sisi lain, ada beberapa hal yang juga menjadi bahasan, seperti opsi memilih produsen lokal yang meskipun mendukung pergerakan ekonomi dalam negeri, namun umumnya memasang harga jual di atas kompetitor dari produsen luar negeri. Tentunya, akan lebih baik jika produsen lokal mampu berkembang dan mengejar kualitas produsen luar negeri, namun langkah ini akan memunculkan skeptisme di masyarakat umum dan kita tidak bisa menyalahkan mereka juga. Anggaran paket TIK juga tak luput dari topik perdebatan di masyarakat. Rincian mengenai isi serta penggunaan dana untuk paket yang ditawarkan oleh program ini sendiri masih simpang siur yang pada akhirnya hanya menimbulkan asumsi-asumsi berkonotasi negatif tanpa dasar yang kuat di masyarakat. Akan lebih bijak bila hal ini dibahas setelah munculnya informasi lebih lanjut mengenai rincian anggaran ini.
Analisa rekayasa kebutuhan ini tentunya bukan berasal dari Kemendikbudristek sendiri, melainkan dari asumsi penulis saja. Bisa saja pertimbangan-pertimbangan yang dianalisa oleh penulis sama sekali tidak menjadi pikiran Kemendikbud dan mungkin Kemendikbud hanya melihat berdasarkan spesifikasi unit baru paling murah di pasar. Di luar itu, langkah ini bisa jadi akan menjadi pionir pasar Chromebook yang hampir mati di Indonesia. Dari penulis pribadi, harapan kedepannya mungkin akan lebih baik jika produsen mulai melirik arsitektur ARM yang memiliki prospek lebih baik kedepannya dibanding arsitektur x86 yang kaku. Dengan chip yang bisa diatur lebih fleksibel agar sesuai kebutuhan, ARM dirasa bisa lebih menjawab kebutuhan Chromebook sebagai laptop untuk pelajar dan pasar laptop merah putih itu sendiri. Bahkan, akan lebih baik jika Indonesia bisa melahirkan chip berbasis ARM tersendiri, menjadikan Indonesia satu langkah di depan di bidang perkembangan teknologi.
Penulis: Nobel Edgar
Editor: Annisa Alifia