Oleh: Ilham Fathur Ilmi

“Jangan rindu, berat. Biar aku saja.”

Ungkapan yang berasal dari film Dilan 1990 (2018) tersebut banyak penulis dengar belakangan ini. Atau mungkin pembaca budiman juga akrab menggunakannya dalam candaan sehari-hari? Hahah. Begitulah. Sepertinya Dilan si panglima geng motor sedang banyak penggemarnya akhir-akhir ini. Terlebih setelah filmnya diangkat ke layar lebar pada 25 Januari lalu. Menurut data yang dipublikasi Falcon Pictures melalui akun Instagramnya, terhitung dalam 30 hari penayangannya film ini telah ditonton sebanyak 6.000.100 orang dengan rating 7,7 pada IMDb (Internet Movie Database). Film ini menyuguhkan latar suasana Bandung zaman old-nya membuat sebegitu banyak orang pensaran untuk menonton film yang bergenre drama tersebut. Kalau pembaca budiman sendiri suka film dengan genre seperti apa?

Seperti yang dapat pembaca budiman lihat pada infografis di atas, beberapa film lokal Indonesia seperti  Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), Turah (2016), Siti (2014) dan Battle of Surabaya (2015) memenangkan begitu banyak nominasi perfilman. Keempat film itu pun masih bisa dikategorikan baru melihat waktu rilisnya yang belum genap mencapai 5 tahun. Namun meski dengan setumpuk prestasi itu, jumlah penonton keempat film tersebut tidak sesukses prestasi-prestasi perfilman yang disabetnya, tidak sebanding dengan Dilan 1990 atau film-film laris lainnya seperti Pengabdi Setan (2017), Warkop DKI reborn: Jangkrik Boss Part 2 (2017) dan lain sebagainya. Dilan 1990 yang baru rilis tiga bulan lalu saja sudah ditonton oleh jutaan penonton, padahal menurut penulis sih Dilan 1990 ini ya ceritanya cukup mainstream saja, dengan catatan nilai plus pada latar tempo dulunya. Sementara keempat film tadi yang memiliki kualitas tak kalah bagus dengan Dilan 1990, harus puas hanya dengan maksimal 150 ribu penonton dalam kurun waktu 1 tahun. Keempatnya pun bahkan juga tidak masuk ke dalam daftar 15 film terlaris di tahun rilisnya masing-masing. Gerangan ada apakah? Mari kita bahas keempat film ini lebih lanjut.

Yang pertama, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak. Film yang bergenre satay western ini memiliki jumlah penonton terbanyak dari ketiga film lainnya. Bercerita mengenai perjuangan Marlina, seorang janda yang tak bisa membiayai ritual pemakaman suaminya dan menyebabkan suaminya berakhir hanya dalam balutan kain kafan di sudut rumahnya. Kemudian pembunuhannya terhadap ketujuh perampok yang mendatangi rumahnya membawa ia bertualang dalam pencariannya akan keadilan baginya sebagai seorang wanita, juga janda yang ditinggal pergi suaminya di daerah yang belum akrab dengan kesetaraan perlakuan hukum adat, yang juga turut berdampak pada penerapan hukum positif. Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang disutradarai Mouly Surya menyuguhkan cerita yang unik. Cerita perjalanan Marlina ini sebagaimana judulnya, disajikan seperti dalam bentuk 4 bait sajak. Film yang berlatar potret keindahan alam Sumba ini pertama kali tayang di Festival Film Cannes, Perancis sebelum akhirnya tayang di bioskop-bioskop utama Indonesia pada 16 November 2017.

Kedua yaitu Turah, film yang menggunakan bahasa Jawa Tegalan ini berlatarkan Kampung Tirang yang terisolasi selama bertahun-tahun. Sebagai dampaknya, hal itu menimbulkan berbagai permasalahan lain di sana. Turah merupakan sebuah film yang membawakan kritik sosial dengan apik, yang menujukkan bahwa keterbatasan akses merupakan salah satu faktor kuat yang memicu timbulnya permasalahan-permasalahan sosial di lingkungan tersebut, sebagaimana yang tergambar dari sulitnya listrik dan tidak adanya air bersih pada film tersebut. Kehadiran orang-orang pintar yang tidak dilandasi jiwa yang tulus untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan hanya memperburuk keadaan. Hal ini tergambar dari sikap Pakel, salah seorang tokoh dalam film yang berlaku sebagai sarjana penjilat yang mengeruk keuntungan dengan terus mengerdilkan mental warga Kampung Tirang. Di tengah kacaunya keadaan dan pesimisme yang menjangkiti Kampung Tirang, Turah dan Jadag memulai usaha mereka untuk melawan keadaan, agar Kampung Tirang tidak berakhir sebagai rumah bagi para “manusia kalah, manusia sisa-sia”.

Selanjutnya yaitu Siti. Siti merupakan film hitam putih yang juga berbahasa Jawa seperti Turah. Sebagaimana penikmat film pada umumnya, penulis menikmati gambaran emosional yang cukup terasa kuat pada film ini. Cerita pada film ini dibawakan dengan alur yang tidak begitu cepat, membawa penonton seolah-olah hadir dalam kehidupan Siti di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Film yang digarap Eddie Cahyono ini menceritakan kisah Siti, seorang penjual peyek Jingking serta pemandu karaoke malam yang terjerat hutang keluarganya. Bersama ibu mertuanya, Siti membanting tulang untuk menghidupi suaminya yang lumpuh akibat kecelakaan serta anaknya yang masih bersekolah. Meski dengan pengambilan gambar yang singkat yaitu 6 hari, penulis menilai latar kehidupan yang tergambar dalam film berhasil terekspos dengan kuat sebagaimana temanya. Selain itu dengan biaya produksi yang tergolong minim yakni sekitar 150 juta, film ini berhasil memenangkan cukup banyak nominasi dalam berbagai ajang festival perfilman. Meski awalnya tidak ditujukan untuk rilis layar lebar, pada 28 Januari 2016 lalu, Ifa Isfansyah sebagai produser Siti berhasil membawakan film ini ke layar lebar untuk menyampaikannya pada masyarakat tanah air.

Yang terakhir, Battle of Surabaya. Film animasi yang disutradarai Aryanto Yuniawan ini menceritakan perjuangan Musa, seorang penyemir sepatu sekaligus kurir surat di tengah medan perang Agresi Militer Sekutu 1948 di Surabaya. Film yang bertemakan anti perang ini digarap selama 3 tahun dan rilis pada tanggal 20 Agustus 2015 di layar lebar. Selain memenangkan berbagai nominasi perfilman, Disney juga turut mendukung dalam proses produksi filmnya. Mengambil sorot kesentralan tokoh Musa, film ini berusaha menampilkan pesan bahwa perang tidak menghasilkan apa-apa selain duka dan kerusakan. Sebagai film animasi, film fiktif berlatarkan sejarah ini juga menyajikan komposisi pewarnaan dan animasi yang bagus serta dilatari dengan musik latar yang cukup menyenangkan untuk didengar.

Kualitas keempat film di atas tidaklah berbeda jauh dengan film-film yang terdapat pada daftar film terlaris. Namun mengapa dengan kualitas dan prestasi-prestasinya yang telah diraih, keempatnya tidak mencapai kesuksesan pada segi jumlah penonton? Maksud saya sebut saja yang tertinggi di sana, lagi-lagi Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak, 150 ribu penonton mungkin sekilas terdengar banyak. Namun untuk ukuran film layar lebar, angka itu bukanlah angka yang dapat dikategorikan banyak. Bahkan setelah lewat beberapa tahun dari waktu rilisnya, jangankan mencapai jutaan penonton, mencapai 3/4 dari sejuta saja tidak sampai. Yang jadi pertanyaannya adalah, mengapa demikian?

Untuk Siti, Ifa sang produser sendiri memang menyampaikan bahwa Siti tidak ditujukan sebagai film layar lebar, tapi sebagai film yang ditampilkan pada festival-festival perfilman. Berbeda segmentasi pasar, istilahnya. Namun untuk ukuran film yang menyampaikan pesan dengan begitu kuat serta penyajian yang cukup bagus, penulis menilai pengambilan gambar, alur penceritaan serta pendukung lain seperti musik dan lainnya cukup apik layaknya peran sebuah film pada umumnya, yaitu sebagai media hiburan masyarakat. Hal ini juga dapat dilihat dari cukup tingginya rating keempat film di atas pada IMDb.

Lantas menurut pembaca budiman apakah gerangan yang menyebabkan ketidaksuksesan keempatnya dari segi jumlah penonton? Besaran biaya yang digelontorkan rumah produksi dalam distribusi film juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh, namun selain itu kembali kepada masyarakat sendiri selaku penikmat film. Tentu rendahnya peminat keempat film penuh prestasi di atas tidak bisa dikaitkan dengan dugaan bahwa masyarakat lebih menyukai film luar negeri daripada film-film lokal, sebab tidak sedikit juga film lokal yang mendapat jumlah penonton banyak seperti Dilan 1990 dengan 6 juta penontonnya ataupun Pengabdi Setan dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 dengan 4 juta penontonnya.

Mempertanyakan demikian, timbul beberapa spekulasi yang menyebabkan minimnya jumlah penonton keempat film di atas. Apakah dari segi kegencaran media dan strategi promosinya? Battle of Surabaya misalnya. Dengan waktu rilis yang berdekatan dengan film Inside Out (2015) garapan Pixar Animation Studios, Battle of Surabaya mempromosikan filmnya dengan penggencaran isu apresiasi karya anak bangsa. Promosi yang dilakukan melalui post fanpage Facebook ini membawa isu soal pertaruhan harga diri bangsa antar negara. Tak pelak hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan penikmat film. Beberapa warganet berpendapat bahwa “cara berjualan” tidak semestinya dilakukan sebegitunya hingga menjual harga diri bangsa, sebagaimana komentar-komentar mereka yang kurang lebih menyatakan bahwa kualitas film lah yang akan berbicara, gak usah bawa-bawa harga diri bangsa segala. Atau mungkin dari segi keviralannya kah? Apakah hal ini disebabkan masyarakat kita cenderung lebih curious dengan hal-hal yang viral saja? Termasuk soal film yang ditonton tentunya. Atau mungkin kembali pada pertanyaan sebelumnya, bahwa genre yang diangkat tidak seberapa “membumi” di kalangan masyarakat? Kalau pembaca budiman sendiri menyukai film dengan genre seperti apa? Tidakkah pembaca budiman tertarik untuk menemukan apa yang melatari demikian? Penulis mempersilakan pembaca menilai sendiri dengan menonton keempat film yang telah mengharumkan nama bangsa tersebut di atas. Bagaimana pun terkaan-terkaan yang ada di benak pembaca budiman, selamat menonton dan selamat menikmati hari-hari Anda.

Rujukan:

  • https://filmindonesia.or.id
  • https://imdb.com
  • https://instagram.com/falconpictures_
  • https://facebook.com/BattleOfSurabayaTheMovie