Oleh: Ilham Fathur Ilmi

Hampir setiap orang kini merasa wajib untuk mengikuti formalitas pendidikan yang ada di lingkungan, yakni bersekolah. Bahkan sebagian ada yang mulai dari PAUD, kemudian dilanjut TK, SD, SMP, SMA dan seterusnya. Apa sebenarnya yang dikejar oleh orang tua yang menyekolahkan anaknya ke lembaga bernama sekolah? Untuk apa seorang anak perlu disekolahkan? Tentu saja agar sang anak bisa mengenal banyak hal yang kemudian diarahkan, dijuruskan ke bidang tertentu untuk menguasai bidang keilmuan tersebut. Harapan dengan bersekolahnya seorang anak, kelak ia bisa meraih cita-citanya dan bisa dipercayakan untuk meneruskan estafet kehidupan yang diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya, untuk meningkatkan kualitas hidup (baik pribadi, keluarga, maupun masyarakat) ke arah yang lebih baik lagi.

Itu harapan. Baik memang kalau kita memiliki sebuah bayangan yang hendak dicapai, hendaknya kita melihat dari bayangan tersebut kemudian dirunut secara perlahan cara-cara yang perlu dilakukan agar bayangan itu dapat terwujudkan. Sekarang izinkan saya untuk kembali “menyentil” batin kita mengenai tujuan kita yang masih bersekolah, untuk apa kita bersekolah?

Menengok pengalaman bersekolah di lembaga pendidikan formal selama ini, saya dapati semenjak SD (bahkan mungkin dari sebelum SD) sekolah selalu mengajarkan pelajar untuk terpaut dengan angka. Seakan indeks nilai pada hasil belajar adalah segalanya, pelajar dipatok dengan nilai minimal tertentu, dipacu untuk mendapatkan nilai setinggi-tingginya dan didorong untuk memiliki daya saing, kompetisi yang tinggi. Sebagian orang mungkin melihat itu sebagai sesuatu yang baik. Tak ada kawan abadi di kehidupan orang dewasa. Semenjak kecil anak diajarkan untuk menguasai semua agar “bisa” dalam segala hal serta tidak bergantung pada orang lain. Namun saya melihat ini sebagai suatu paradigma pendidikan yang destruktif. Pola pengajaran semacam ini dapat kita temui dengan mudah dengan pola persaingan di kelas, perlombaan dan sebagainya. Yang demikian akan menciptakan pribadi-pribadi di masa depan kelak yang gemar menghalalkan segala cara, menyikut sana sini untuk menjadi orang yang “paling” di antara lainnya. Tidakkah itu pola pengajaran yang cukup bermasalah? Jika ada pola pendidikan berbasis persaingan, tertarik dengan pola pendidikan berbasis gotong royong dan saling melengkapi?

Sebenarnya tidak sedikit orang yang kontra dengan model pendidikan semacam ini. Namun faktanya, dengan adanya orang-orang kontra tersebut tidak lantas mengubah sistem pendidikan yang “sudah terlanjur” seperti sekarang ini. Hampir di setiap tempat kita dapati pendidikan mengajarkan paradigma pendidikan yang semacam ini. Dengan tulisan ini, izinkan saya untuk menyegarkan kembali semangat para pelajar untuk mendalami sebuah bidang keilmuan.

Manusia dilahirkan dengan beragam karakteristik, dengan beragam potensi kecerdasan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Maksud saya bukan ada yang pintar ada yang bodoh, tapi semua orang lahir dengan karakteristik kecerdasan yang terdistribusi di berbagai bidang yang antara orang yang satu dengan orang lainnya berbeda-beda. Howard Gardner, menyebutnya dengan istilah Multiple Intelligences atau Kecerdasan Majemuk. Seperti yang kita sering dengar bersama, tidak ada orang yang bodoh, karena Tuhan Sang Maha Adil menganugerahkan kita potensi yang sama sebagai sebaik-baiknya makhluk. Tidak berarti kecerdasan setiap orang sama rata, tapi lebih ke arah ekuivalen dan bersifat komplementer antara satu dengan lainnya.

Sedikit yang saya sesalkan dari model pendidikan lazim saat ini, pendidikan dengan model seperti ini hampir-hampir hanya mengukur kemampuan seseorang dari segi Intelligences Quotient (IQ) saja. Pola pengajaran yang lazim kita temui ini mengajarkan para pelajar untuk duduk di bangku kelas, mendengar dan memperhatikan pengajar menerangkan pelajaran, mengerjakan tugas, tak lupa dilengkapi dengan pamungkasnya yakni rentetan ujian, ulangan, tes, examination, dan hal serupa. Untuk seorang anak yang driven model belajarnya cocok dengan model pendidikan yang seperti itu memang tidak masalah, tapi bagaimana dengan anak-anak dengan driven model belajarnya tidak cocok dengan model pendidikan yang seperti itu? Tentu saja mereka akan sulit menerima pengajaran, merasa kurang kompeten dibanding teman-temannya dan akhirnya merasa terasingkan karena merasa kesulitan menyerap pelajaran. Munif Chatib, menyebut bahwa pendidikan seharusnya memanusiakan manusia. Setiap manusia berhak “menjadi manusia”. Bukan hanya orang-orang dengan driven model otak yang sesuai dengan model pembelajaran di sekolah-sekolah formal, bahkan setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama.

Selain itu disadari atau tidak, lembaga pendidikan formal umumnya mendoktrin para pelajar untuk menguasai semua bidang keilmuan. Mereka dikejar dengan bayangan nilai minimum (Kriteria Ketuntasan Minimal, KKM) yang apabila ia tidak dapat sampai pada kriteria nilai minimum tersebut, sekolah akan membuatnya tidak naik kelas. Tentu saja tidak naik kelas merupakan momok yang cukup menakutkan untuk seorang anak, karena dengan tidak naik kelas, stigma “bodoh” akan menempel padanya. Ia merasa rendah dan tak sepadan dengan teman-temannya yang lain yang umumnya naik kelas. Bayangkan saja ada seorang anak yang punya kecerdasan hampir di semua pelajaran di kelas, namun hanya karena ia mentok tidak bisa di dua atau tiga pelajaran nilai di rapornya merah untuk pelajaran tersebut, ia harus tidak naik kelas. Jika asumsinya anak tersebut tidak mendapat stimulus yang benar-benar membuatnya bangkit, apa yang terjadi kemudian? Tentu anak itu akan merasa tertekan, ia merasa mendapat stigma “bodoh” yang akan sangat mengganggu mentalnya. Akibatnya ia akan tersendat dan kemajuannya akan terhambat dibanding teman-teman sebayanya. Padahal kalau kita melihat fakta sebelumnya, anak ini cerdas bahkan hampir di semua bidang. Sebuah kesalahan fatal dalam dunia pendidikan menurut saya jika sistem pendidikan umum masih memainkan peran dalam menyebabkan hal yang demikian. Andai saja kita bisa mengulang waktu dan merubah sistem pendidikan ketika anak itu belum merasa jatuh, tidakkah anak itu berpeluang untuk menjadi orang yang memiliki peran sentral dalam kemajuan sebuah bahkan beberapa bidang keilmuan sekaligus? Saya kira analogi tersebut cukup untuk menampar kita semua bahwa kita adalah manusia sederajat yang sama-sama cerdas dan saling melengkapi peran satu sama lain, baik sekarang maupun di masa depan kelak.

Tidakkah pendidikan seharusnya mengajarkan seseorang untuk menjadi manusia? Jika hanya semangat berkompetisi yang ditumbuhkan di dunia pendidikan, akan kemana arah budi pekerti dan kearifan lokal? Di sini saya mengajak seluruh teman-teman saya sekalian untuk melawan arus sistem pendidikan yang “sudah terlanjur” seperti ini. Kita manusia, bung. Kita bukan robot yang diprogram bisa mengerjakan ini-itu sesuai kata pemrogramnya. Kita dianugerahi kecerdasan majemuk yang melengkapi satu sama lainnya sehingga ketika kita berjalan bersama, kita bisa mewujudkan taraf kehidupan yang lebih dan jauh lebih baik dari masa sebelum kita. Berpeganglah kepada nilai-nilai luhur budi pekerti dan ingat kembali bidang-bidang keilmuan yang kita sukai. Bidik sebuah cita-cita, tentukan cara untuk mencapai cita-cita itu dan kejarlah!

Jangan pedulikan kata orang, kata guru, kata dosen, kata teman, kata siapa pun yang merendahkan diri kita. Karena kalau kita mengangguk pada kata-kata mereka dan akhirnya kita jatuh, kita sendirilah yang menanggung rasa sakit jatuh itu, bukan mereka. Kita berhak mengejar dan meraih cita-cita kita. Semangat!

 

Salam hangat,

“Lawan sastra ngesti mulya, dengan ilmu kita menuju kemuliaan.” (Ki Hajar Dewantara)