Oleh: Richie R. Tokan

Demo atau aksi massa yang biasanya dilakukan oleh mahasiswa, pada dewasa ini seperti hanya dipandang sebelah mata sebagai suatu kegiatan buang-buang waktu dan tenaga tanpa solusi oleh mahasiswa sendiri. Metode demo atau aksi tak ubahnya sebuah relikui yang usang bagi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat di zaman yang serba cepat dan canggih untuk berekspresi seperti saat ini. Tetapi jika dilihat dari segi historis, metode inilah yang pernah digunakan mahasiswa untuk menumbangkan dua rezim paling berkuasa dalam sejarah pemerintahan bangsa ini.

1959 dimana mahasiswa yang bersekongkol dengan kalangan militer untuk menjatuhkan sang proklamator dari tahtanya, dan yang paling heroik dan melelahkan dan memakan banyak korban adalah ketika menumbangkan sang jenderal dari tampuk kekuasaannya yang bertahan selama tiga dekade lebih pada 1998. Kedua peristiwa ini dilakukan dengan jalan aksi massa yang masif serta progresif. Dalam sejarah aksi ini pula tercatat satu nama yang akan selalu dikenang sebagai “Sang Demonstran”. Soe Hok Gie, pemuda keturunan tionghoa yang selalu aktif dalam kegiatan demonstrasi menentang tirani pada masa Orde Lama.

Gie adalah seorang sosok mahasiswa yang tidak akan tenang jika melihat penguasa tenang dalam kekuasaannya. Hobinya adalah mengusik ketentraman para penguasa dengan meyakinkan teman-temannya bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pemerintah. Sasaran kritik dan demo Gie bukan saja para golongan tua yang sedang berkuasa, namun juga teman-teman seperjuangannya yang  terbujuk rayuan manis para penguasa dan kemudian duduk dalam lingkaran politik, suatu hal yang dinilai Gie tak ubahnya barang kotor seperti lumpur. Gie pernah mengirimkan bingkisan berupa bedak, gincu, dan cermin pada sahabat-sahabatnya ini dengan pesan agar mereka tidak lupa bersolek dan tampil cantik di depan para penguasa. Aksi simbolik alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini yang mungkin menginspirasi teman kita, Zaadit Taqwa yang mengacungkan “kartu kuning” pada presiden Joko Widodo ketika perayaan Dies Natalis Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu dan berakhir dengan kontroversi.

Di sisi lain, Gie adalah seorang humanis yang menggunakan ilmunya bukan untuk mengejar kekuasaan dan kejayaan pribadi tapi untuk mengusahakan keadilan bagi kaum miskin yang tertindas dan termarjinalkan. Aksi-aksi yang dilakukan Gie bukanlah aksi bunuh diri. Gie melakukan demonstrasi atau aksi berdasarkan kajian mendalam dari diskusi-diskusi bersama teman-temannya baik yang di lakukan di kampus atau yang dilakukan di alam terbuka seperti pegunungan yang menjadi kegemarannya. Suatu hal yang jarang kita temui pada mahasiswa saat ini.

Namun kemudian jalan takdir seperti mengikuti keinginan Gie sendiri. “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda” Gie pergi bersatu dengan alam pada saat usianya kurang satu hari genap pada angka 27 tahun di tempat favoritnya, gunung.

Kondisi pergerakan mahasiswa seperti kacau dengan kepergian “Sang Demonstran” dan diperparah dengan pemerintahan Soeharto yang represif. Mahasiswa saling berpencar dalam koridor ideologi yang berbeda. Secercah harapan muncul di sekitar masa menuju reformasi ’98. Namun, aktivis-aktivis juga gugur dalam usia muda oleh timah panas aparat dan ada juga yang hilang tanpa kabar hingga hari ini. Sebagian dari massa ini kini duduk dalam parlemen dan gencar mengkritik pemerintah tanpa dasar yang jelas dan hanya hobi membuat kontroversi (Anda pasti tahu siapa yang Saya maksud). Kemudian muncul lagi nama Munir yang aktif memperjuangkan keadilan. Tetapi sekali lagi, dilenyapkan oleh gerakan anti kritik.

Dan sepertinya, sekali lagi mahasiswa Indonesia harus menanti lagi kelahiran “Sang Demonstran” baru. Seseorang yang idealis dan intelektual yang pro terhadap kemanusiaan dan tidak ditunggangi oleh pihak manapun selain pikirannya sendiri. Lalu, kapan waktu itu akan tiba? Ketika mahasiswa Indonesia dapat meninggalkan ego golongannya dan bersatu demi tujuan Indonesia baru tanpa penindasan, gandrung akan keadilan, dan tanpa kebohongan.

 

Penulis adalah mahasiswa S1 Teknik Komputer Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya dan mantan pemimpin umum LPM DISPLAY UB 2017/2018.