Melihat Emansipasi Wanita dari Perspektif Laki-laki
Oleh: Nobel Edgar

Ilustrasi: Zen

Kesetaraan gender telah menjadi masalah dari beberapa abad yang lalu, di mana pada satu abad terakhir telah muncul berbagai pergerakan dan perjuangan untuk memperkuat posisi wanita sebagai sosok yang ditekan di tengah banyaknya stereotyping di khalayak umum akan peran wanita sebagai, kasarannya, babu atau pembantu rumah tangga. Salah satu tokoh yang berperan dalam pergerakan emansipasi wanita adalah RA Kartini, sosok simbolis yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan dasar wanita untuk memperoleh pendidikan, serta hak-hak dasar lainnya. Sebagai salah satu bagian dari umat laki-laki, menurut saya perjuangan yang dibawa patut diacungi jempol karena beliau berani menyuarakan keresahannya di balik opresi dan tekanan masyarakat yang masih percaya akan peran wanita yang pada saat itu akan selalu kembali ke dapur dan tidak layak untuk mendapatkan edukasi. Tentunya, pada suatu titik, kita sebagai laki-laki juga perlu mengawal perjuangan emansipasi wanita ini, agar wanita dapat memiliki privilege yang sama dengan laki-laki, agar dapat terjadinya suatu kesetaraan gender yang ideal di masyarakat.

Sayangnya, masyarakat pada saat ini sebenarnya berada di posisi yang aneh. Di beberapa sisi, ada bekas-bekas sistem patriarki yang belum diperbaiki, ditambah masalah stereotyping peran wanita yang masih berbekas bahkan di lingkup universitas kita sendiri oleh beberapa oknum tertentu yang sepertinya tidak bijak untuk disebutkan secara gamblang tanpa membawa bukti konkret. Pelecehan seksual dan stigma yang dibawa dari “kesucian wanita” juga masih menjadi masalah riil yang muncul di masyarakat sekarang. Tapi di sisi lain, juga adanya overcompensation yang muncul dari sosok-sosok yang membawa agenda feminisme, atau mungkin bisa dispesifikkan kepada kaum feminazi. Overcompensation yang dimaksud di sini dalam arti pandangan yang di mana mereka merasa diopresi terlalu lama sehingga mereka merasa perlu adanya semacam retribusi/balas dendam untuk membayar perjuangan mereka. Selain itu juga kerap terjadi double standard dalam memperjuangkan hak wanita, yang muncul pada kasus-kasus seperti pernyataan berbau pelecehan seksual yang diujarkan oleh para netizen wanita kepada atlet badminton Jonatan Christie melalui jejaring media sosial Instagram pada 2018 silam. Tentunya, kasus seperti ini akan “dimaklumi” oleh masyarakat, tapi coba jika kita balikkan pernyataan dan situasi ini kepada wanita, tentu akan muncul serangan-serangan dari kaum feminis. Saya tidak menjustifikasi tindakan ini, namun hal-hal double standard seperti akan menjadi taring yang akan berbalik di kedepannya. Tentu, selain masalah ini juga ada masalah seperti beauty privilege, yang jika dibahas secara mendalam di sini akan melebar kesana kemari bahasannya.

Mengapa perlu ditekankan bagian double standard di sini? Double standard merupakan tindakan yang mana nilai yang kita bawa ke satu golongan tidak sama dengan yang kita bawa ke golongan lainnya. Secara otomatis, hal ini akan melambangkan perjuangan emansipasi wanita ini sebagai perjuangan yang hipokrit. Kemunafikan ini akan menjadi cikal bakal sosok wanita berubah dari sosok korban menjadi sosok pelaku. Kasus nyata dari contoh dampak kemunafikan ini bisa dilihat pada pergerakan sosial Black Lives Matter di Amerika Serikat, di mana pendukung radikal dari aksi Black Lives Matter sangat mendiskreditkan nyawa dari yang bukan bagian dari ras Afrika-Amerika hingga muncul aksi All Lives Matter. Tidak ada bedanya antara aktivis radikal dengan pelakunya sendiri. Pada akhirnya, yang terjadi adalah penggusuran sistem patriarki dan menukarkannya menjadi matriarki. Sama-sama tidak adil, hanya bertukar posisi saja dari yang biasa ditindas menjadi yang menindas. Podo wae bos. Tidak ada bedanya.

Sebagai laki-laki, seperti yang saya sebutkan di atas, peran kita di sini seharusnya adalah mengawal perjuangan emansipasi wanita. Mengawal, bukan mendukung secara buta. Perlu ditekankan bahwa derajat wanita di masyarakat belum mencapai titik ekuilibrium di banyak aspek kehidupan. Hak-hak dasar atau bahkan stigma sehari-hari seperti “wanita yang sering pulang larut malam” atau “wanita itu pasti akan kembali ke dapur” dan semacamnya masih perlu diperjuangkan. Tetapi jangan sampai kita memperjuangkan agenda matriarki, atau agenda-agenda yang overcompensate peran wanita. Dukung hingga mencapai keadilan, baik dari sisi wanita sebagai korban sistem, maupun dari sisi laki-laki yang mempunyai iktikad baik untuk membantu perjuangan dalam menghancurkan sistem bobrok ini. Hingga mencapai titik kesetaraan. Tidak lebih, tidak kurang.

(Tulisan ini tidak memiliki maksud untuk mengkotak-kotakkan jenis kelamin tertentu, namun ingin mengulik peran yang bisa dilakukan laki-laki untuk mendukung perjuangan emansipasi wanita yang sudah berlangsung selama beberapa abad terakhir. Selamat Hari Kartini, salam kesetaraan.)