
Publik dikejutkan oleh konflik antara Rektor ITB dengan Forum Dosen SBM ITB. Rektor ITB, Prof. Reini Wirahadikusumah, yang resmi dilantik pada Januari 2020 lalu melakukan pencabutan hak swakelola dan swadana Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB tanpa pemberitahuan dan kesepakatan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Pasalnya, status swakelola dan swadana sudah melekat pada diri SBM ITB sejak pertama kali pendirian pada tahun 2003. Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa dilakukan pencabutan hak yang sudah melekat pada diri SBM ITB sejak “lahir”?
Mulanya, Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB –pemilihan nomenklatur “Sekolah” ketimbang “Fakultas” untuk menandakan otonominya– mengalami perkembangan yang pesat dan tentunya berdampak juga pada pendapatan SBM ITB. ITB sebagai “induk” dari SBM pun merasa kecolongan, “Bagaimana bisa ‘anakku’ punya pendapatan lebih besar dari ‘aku’?” Dari analogi ini, SBM ITB yang awalnya memiliki kewenangan penuh mengelola 80% pemasukan dari mahasiswa SBM dan 20% dipegang oleh ITB, mulai bergeser menjadi 70% dikelola sendiri dan 30% lainnya ada di tangan ITB. Kini, Rektor ITB mencanangkan sistem integrasi yang seragam untuk seluruh fakultas dan sekolah di ITB. Sistem integrasi tersebut cenderung diartikan terpusat, bukan terintegrasi. Apa yang menjadi perbedaan? Ketika dilakukan pemusatan, maka anggaran pengeluaran fakultas akan disetujui bukan lagi sesuai dengan pengajuan dari fakultas tersebut, tapi rektorat lah yang menjadi penentu berapa anggaran yang digelontorkan. Tentunya dengan pengaturan sumber daya keuangan ini, tidak memunginkan SBM ITB untuk menjalankan visi, misi, dan strategi, dengan didukung oleh desain kurikulum dan metode pengajaran yang khas.
Fakta yang tidak dapat dipungkiri, Jumlah UKT yang dibayarkan mahasiswa SBM jauh lebih besar ketimbang mahasiswa dari fakultas lain. Akan tetapi, hal itu tentunya berbanding lurus dengan fasilitas, sarana, dan pelayanan yang didapatkan. SBM ITB dengan label yang melekat kuat dalam dirinya sebagai sekolah bisnis manajemen yang semua program studinya terakreditasi ABEST21 –lembaga akreditasi untuk program studi bisnis di kawasan Asia-Pasifik– merupakan suatu kebanggaan sekaligus tanggung jawab yang besar. Kewenangannya untuk mengelola sumber daya keuangannya sendiri telah memungkinkan SBM ITB untuk terus mempertahankan kualitas pelayanannya yang tinggi dan menjalankan campaign “Rethink, Redesign, Reborn” sebagai respon terhadap era yang cepat berubah dan bagaimana cara menghadapinya.
Buntut dari konflik antara dua pihak tersebut adalah berkibarnya spanduk ‘Maaf, SBM ITB Tidak Terima Mahasiswa Baru Lagi’ yang disebarkan oleh forum dosen SBM ITB. Per Selasa (8/3) lalu, FD SBM ITB menghentikan kegiatan belajar-mengajar baik luring maupun daring untuk sementara waktu. Kini, mahasiswa menjadi korban. “Seharusnya, kepentingan mahasiswa terkait asupan ilmu tidak boleh diganggu oleh persoalan institusi seperti ini,” tegas Ridwan Kamil, salah seorang Majelis Wali Amanah (MWA) ITB. (zh)