Aksi demonstrasi massa mengenai penolakan RUU TNI yang dilaksanakan di depan Gedung DPRD Kota Malang pada Minggu sore (23/03/2025) awalnya berjalan dengan lancar tanpa bentrokan. Namun, ketika malam semakin larut, situasi semakin tidak terkendali. Aksi demonstrasi massa yang digelar di Malang menjadi sorotan media maya khususnya di X. Hal tersebut menjadi sorotan karena adanya dugaan tindak kekerasan terhadap massa yang mengikuti aksi demonstrasi. 

Menurut kronologi yang diunggah oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di media sosial X disinggung mengenai waktu demonstrasi, rangkaian acara hingga titik balik yang memicu tindak kekerasan di lokasi. Aksi dimulai sekitar pukul 15.45 yang dibuka oleh agenda orasi oleh sejumlah massa aksi. Orasi dilakukan hingga pukul 17.45 yang mana bertepatan dengan azan magrib dan berbuka puasa. Massa yang terlibat di lokasi beralih ke aktivitas berbuka puasa hingga pukul 18.00. Lalu dilanjutkan dengan aksi teatrikal yaitu mencorat-coret jalan dan menuliskan berbagai kalimat serta membawa spanduk yang bertuliskan penolakan terhadap UU TNI.

Situasi mulai memanas ketika massa mulai mencoba menerobos masuk ke Gedung DPRD Kota Malang melalui pintu utara sekitar pukul 18.20. Beberapa saat kemudian, Aparat yang berpakaian lengkap serta dipersenjatai dengan alat pemukul mulai melakukan tindakan kekerasan terhadap massa aksi yang di antaranya menangkap, memukul, dan mengancam massa aksi. Dari berbagai dokumentasi lapangan yang tersebar, diduga terdapat ancaman terhadap relawan medis serta pengejaran terhadap pihak pers yang berada di lokasi demonstrasi. Pihak Perhimpunan Pers Mahasiswa Malang telah memberikan keterangan kepada BBC News Indonesia bahwa adanya pemukulan terhadap delapan anggota Pers Mahasiswa Malang meskipun mereka sudah menunjukkan kartu pers.

Tindak kekerasan yang terjadi pada massa aksi, pihak medis dan pers dalam agenda demonstrasi di Malang membunyikan alarm massa di berbagai daerah. Dukungan terhadap massa aksi di Malang disalurkan melalui berbagai cara diantaranya, bantuan aksi demonstrasi di berbagai kota lainnya, donasi, bantuan relawan medis dan hukum, serta desakan dari berbagai pengguna media sosial yang angkat suara mengenai kekerasan yang tidak seharusnya dilakukan kepada pihak yang disebutkan menjadi korban. Hingga saat ini, belum ditemukan publikasi yang berisi keterangan dari pihak petugas keamanan yang bertanggung jawab menjaga aksi demonstrasi di Kota Malang. 

Tindak kekerasan ini hanyalah awal dari berbagai tindakan yang ditakutkan setelah pengesahan UU TNI. Aspek-aspek yang mulanya hanya diperuntukkan untuk masyarakat sipil perlahan akan dicampuri oleh pihak yang secara khusus memiliki kewenangan dalam penggunaan senjata. Tentu saja ini bukan awalan yang baik, berkaca dari negara yang telah melonggarkan militernya ke akses sipil seperti Myanmar. Hal yang sangat ditunggu ialah respons dari masyarakat secara umum dan akademisi secara khusus. Apakah kita hanya akan diam, membiarkan ketidakadilan ini terus berlanjut, hingga kemungkinan terburuk benar-benar terjadi?