Oleh: Richie Richardus Tokan
Era Orde Baru (1966 – 1998) merupakan masa gelap dalam hal kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berserikat. Pada era ini, segala hal yang berkaitan dengan kebebasan seorang individu diawasi dengan ketat oleh rezim yang berkuasa saat itu. Pembungkaman kritik dan kebebasan pers yang sangat terbatas, sangat dirasakan pada zaman orde baru. Pembredelan dan sensor terhadap informasi publik oleh pemerintah saat itu marak terjadi dengan alasan keamanan dan ketertiban masyarakat yang sebenarnya hanya merupakan kedok untuk menutupi kebusukan pemerintah saat itu. Kasus penganiayaan dan pembunuhan wartawan Harian Bernas, Muhammad Syarifudin di Yogjakarta pada 16 Agustus 1996 menjadi bukti nyata dan utama pembungkaman terhadap kebebasan seseorang di era gelap bangsa ini.
Angin segar datang ketika Orde Baru digulingkan pada 1998. Hak seseorang atas kebebasan dirinya mulai di akui oleh pemerintahan yang baru. Pencabutan Surat Ijin Untuk Penerbitan Pers (SIUPP) yang membelenggu media masa pada era sebelumnya dicabut. Pers kemudian juga dijamin kebebasannya dalam mengabarkan suatu informasi dengan di sahkannya UU No. 40 Tahun 1999. Namun, angin tidak selamanya segar. Informasi yang harusnya bersifat untuk publik, sengaja ditutup-tutupi demi kebaikan segelintir kelompok. Hal ini jelas bertentangan dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dimana setiap orang berhak atas informasi yang bersifat publik.
Kebutuhan seseorang akan informasi sejatinya diatur dalam pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,”. Inilah yang menjadi dasar informasi publik.
Menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, yang dimaksudkan dengan informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Informasi publik yang dimiliki oleh badan publik yang terkait dengan penyelenggaraan negara dan sumber dananya berasal dari APBN ini wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan kepada pemohon informasi. Informasi yang diberikan pun harus akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
Ada kaitan penting antara pers dan keterbukaan informasi. Pers berperan penting dalam penyaluran informasi publik. Informasi publik menjadi nyawa bagi awak pers dalam penulisan beritanya sehingga berita yang dibuatnya mempunyai dasar yang kuat. Pers dalam menjalankan tugasnya, dituntut untuk cepat dalam menyajikan berita, sehingga permohonan informasi publik juga harus cepat di berikan kepada pemohon, dalam hal ini jurnalis yang membutuhkannya. Dalam pelaksanaannya, pers terkendala dalam mengakses informasi yang pada dasarnya bersifat publik. Mulai dari penundaan pemberian informasi yang di minta hingga informasi yang sengaja ditutup-tutupi. Hal ini tentu akan menghambat kinerja pers yang akibatnya dapat mencederai hak masyarakat dalam hal kebutuhan informasi.
Pers saat ini seakan-akan masih berada dalam bayang-bayang orde baru dimana kebebasan pers masih dibatasi meskipun caranya agak sedikit diperhalus dengan mempersulit kebutuhan informasi. Musuh pers dari masa lalu ini seakan-akan berevolusi untuk melindungi kepentingan-kepentingan segelintir kelompok dari aib-aib mereka. Tak jarang awak pers mendapat perlakuan tidak menyenangkan seperti teror dan tindak kekerasan dari beberapa pihak ketika ingin membuka suatu informasi kepada publik.
Sebuah ironi yang terjadi di negara yang menganut prinsip demokrasi namun kebebasan seseorang masih dapat diciderai dengan kepentingan-kepentingan pribadi segelintir kelompok. Pada akhirnya kita hanya dapat bertanya, benarkah kita sudah hidup di era demokrasi atau kita hanya sekedar mengenakan baju bertuliskan “DEMOKRASI” namun dibalik baju tersebut terdapat jiwa dan raga yang terbelenggu?