
Oleh: Nobel Edgar
Saat ini, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (FILKOM UB) seperti sedang membentuk budaya baru, menciptakan tradisi aklamasi dalam “kegiatan sakral” di bulan November ini, yaitu Pemilihan Wakil Mahasiswa (PEMILWA). Hal ini bisa dilihat dari bagaimana PEMILWA FILKOM berjalan selama empat tahun terakhir. Dari tahun 2016 dimana DPM FILKOM aklamasi, dilanjutkan tahun 2017 oleh BEM FILKOM, tahun 2018 dimana terjadi di keduanya, hingga sekarang, tahun 2019 dimana BEM hanya memiliki satu calon dan DPM kekurangan calon. Lalu bagaimana dengan tahun depan? Dua tahun lagi? Tiga tahun lagi? Apakah akan kembali aklamasi? Atau bahkan tidak ada yang mencalonkan diri?
Sebelum mengarah lebih jauh, aklamasi itu sebenarnya apa? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aklamasi didefinisikan sebagai pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara. Dari definisi ini, aklamasi dapat diartikan sebagai kesepakatan forum secara satu suara terhadap suatu keputusan tanpa ada penolakan, atau bisa juga disebut sebagai mufakat. Namun, pada kenyataannya, FILKOM sendiri lebih menganggap aklamasi sebagai momen dimana calon yang muncul berjumlah pas dengan jumlah minimum kursi yang ada. Secara implisit, definisi ini mengimplikasikan warga FILKOM yang merasa bahwa “jika yang mencalonkan diri hanya sejumlah kuota tersebut, mau tidak mau mereka pasti naik”. Mungkin tidak semua menganggap hal tersebut benar, namun mindset ini sudah mulai menyebar perlahan-lahan. Yang lucu, di luar PEMILWA FILKOM pun banyak juga produk-produk aklamasi, seperti pemilihan ketua pelaksana proker-proker besar BEM FILKOM. Ironis? Iya. Tradisi?
Kira-kira apa penyebab kurang tertariknya mahasiswa FILKOM terhadap lembaga-lembaga (khususnya Lembaga Otonom) di FILKOM? Berdasarkan hasil dari kajian terbuka panitia khusus (pansus) Jumat lalu (8/11), beberapa alasan yang dimajukan adalah kurangnya kepedulian terhadap lembaga, kurangnya branding dan kaderisasi tingkat lembaga, kurangnya reward terhadap calon atau “partai” terkait, dan beberapa alasan lainnya. Terkhusus perihal DPM, beberapa poin yang dibawakan adalah tentang kurangnya apresiasi terhadap lembaga DPM, serta stigma DPM sebagai “lembaga gabut”. Menurut saya sendiri, kurang tertariknya mahasiswa terhadap lembaga dikarenakan mahasiswa FILKOM merupakan mahasiswa Millenial-Gen Z yang sangat gadget-sentris dan konsumen-sentris.
Kenapa seperti itu? Ilmu Komputer merupakan rumpun ilmu yang banyak berkutik di teknologi. Teknologi diciptakan oleh insinyur dengan tujuan untuk “mempermalas” manusia dengan kenyamanannya. Secara otomatis, mindset kita lebih diarahkan untuk menciptakan kondisi “asal nyaman”. Apakah aklamasi nyaman? Tentu. Tidak perlu bersaing, yang penting jadi. Yang penting bukan saya yang dipaksa mengemban tanggungjawab berlebih itu. Tapi jika saya membutuhkan mereka, mereka harus ada. Sing penting kerjaku ga ruwet. Ya, sangat nyaman. Ditambah lagi, rumpun ilmu Komputer sendiri juga tidak memerlukan interaksi manusia sebagai komponen penting dalam menghasilkan produk. Tidak seperti rumpun ilmu Sosial Humaniora yang sangat dekat dengan interaksi sosial dan kepentingan akan politik. Ya, mungkin bisa dibilang wajar terjadi? Atau apakah ini penyakit FILKOM?
Tentunya, hal ini bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya kondisi seperti ini. Jika kita lihat satu persatu alasan yang dikaji pansus, bisa dibilang bahwa kurangnya reward terhadap calon atau “partai” terkait juga cukup rasional. Tentu, hampir semua lembaga tidak membawa keuntungan tertentu terhadap individu. Alasan pergerakan politik di fakultas-fakultas lain terkesan lebih aktif. Tak dapat dipungkiri, hal ini turut dipengaruhi oleh kepentingan “bendera” tertentu serta aspirasi golongannya. Sayangnya, di FILKOM sendiri lebih condong anti atau malah tidak ingin tahu akan pergerakan politik. Di antaranya merasa bahwa “bendera” itu buruk, atau bahkan memandang secara general bahwa politik itu busuk. Oleh karena itu, bisa dibilang banyak yang ingin mencuci tangan dari dunia politik, mengingat kurangnya benefit pribadi, bahkan condong lebih banyak negatifnya.
Alasan kurang branding dan kaderisasi tingkat lembaga sendiri juga cukup rasional jika dilihat dari jumlah pendaftar yang berasal dari masing-masing lembaga. Hanya satu pasangan dari jajaran Menteri BEM periode 2019/2020, dan dua dari staf ahli DPM periode 2019/2020. BEM sendiri memiliki perkembangan, dimana hampir tidak terjadi aklamasi. Masalah di sisi BEM lebih berfokus pada komitmen serta kesiapan bakal calon. Di sisi lain, DPM terlihat sangat bermasalah, karena kuota pun baru terpenuhi setelah melalui sidang istimewa. Dibilang “menuai yang disemai”, mungkin? Biarkan masing-masing lembaga yang menjawab.
Meskipun itu, tak bisa dipungkiri bahwa kondisi ‘aklamasi’ selama beberapa tahun terakhir ini juga memunculkan ancaman tersendiri. Salah satunya adalah keterbatasan pergerakan demokrasi dengan terbatasnya pilihan. Hak untuk memilih pun semakin dibatasi, orang kurang berkompeten susah dibuang dari bursa. Ditambah lagi, hal ini membentuk mindset sendiri, yang “kalau dia gagal, nanti prosesnya akan semakin rumit” atau mungkin “nanti dia bisa maju lagi di sidang istimewa, kan memang tidak ada calon lain yang bisa mengisi kekosongan itu”. Otomatis, ‘aklamasi’ yang dimaksud akan menjadi kesepakatan secara terpaksa atau atas dasar kompromi, bukan dari hati. Bahaya? Jelas.
Dari kajian pansus pun, muncul beberapa solusi dari forum yang patut di kaji. Salah satunya, pemberian reward dengan menerapkan sistem “partai” program studi (prodi), dengan keuntungan pembagian dana pagu berlebih bagi yang menduduki kursi lebih banyak. Sistem partai bisa dibilang menarik, karena bisa dibilang ini akan meningkatkan pergerakan politik di FILKOM sendiri. Setiap prodi akan secara otomatis bersaing mengisi kursi sebanyak-banyaknya, sehingga tidak akan terjadi kekurangan calon. Bagi yang cinta akan prodinya, maka akan tergerak hatinya untuk membantu himpunannya.
Namun, dampak negatif yang muncul dari sistem ini juga ada. Dampak tersebut pun tidaklah kecil. Salah satunya, hal ini bisa melunturkan kekeluargaan FILKOM sendiri. Persaingan antar prodi membuat relasi antar prodi semakin buruk. Selain itu, aspek yang tidak bisa dilupakan adalah tidak meratanya kuota masing-masing prodi. Dalam proses pencalonan pun sangat mungkin untuk didominasi oleh prodi dengan jumlah terbanyak. Ditambah lagi, dari sisi calon, sangat mungkin muncul kandidat yang dipaksa, entah melalui musyawarah program studi, atau metode yang lain. Juga, pengisi kursi pun akan lebih banyak diisi oleh orang yang berkepentingan atas partainya masing-masing, daripada orang yang kompeten.
Selain itu, solusi perbaikan branding DPM dari lingkungan juga disinggung di dalam kajian. Yang ironis adalah ketika dari DPM sendiri meminta tidak di-bully lagi agar dapat meningkatkan peminat DPM. Lucu, karena DPM terkesan ingin menjadi lembaga antikritik dengan menyebut tindakan tersebut sebagai bullying. Simpelnya, kalau tidak ingin di-bully, jangan bertingkah. Branding memang penting, namun hal itu harus kembali dari diri sendiri, bukan karena omongan orang semata.
Bila dilihat-lihat, sebenarnya solusinya pun tidak sulit. Menumbuhkan cinta untuk FILKOM, menumbuhkan cinta untuk prodi masing-masing, bisa dibilang merupakan solusi jangka panjang terbaik untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan menumbuhkan rasa cinta dan bangga pada tempat kita berdiri, secara otomatis akan muncul rasa “FILKOM butuh bantuan saya”, atau “saya ingin mewakilkan suara dari prodi saya”. Tidak hanya di DPM, melainkan BEM juga. Dengan membawa rasa cinta, bangga, dan kepedulian akan FILKOM, bisa dibilang cukup untuk melawan jiwa konsumen masing-masing individu yang membawa nama FILKOM ini.
Pada akhirnya, hanya ada sembilan calon anggota DPM FILKOM dan satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden BEM FILKOM. Sekarang sudah terlalu terlambat untuk merubah. Palu sudah diketok, pemilihan sudah berlalu, penghitungan suara sudah di depan mata. Hanya bisa berdoa untuk yang terbaik bagi FILKOM kedepannya, serta hilangnya penyakit ini.