Oleh: Rafid Agung Pradana

Terhitung beberapa minggu menuju pesta demokrasi yang kita rayakan lima tahun sekali. Pemilu 2019 yang tengah memasuki masa kampanye bagi para calon anggota DPR, DPD, DPRD, juga pasangan calon presiden dan wakilnya, sedang memasuki masa-masa kritis intelek. Berbagai serangan langsung dan tidak langsung diluncurkan oleh para calon terpilih. Terlebih lagi yang paling kita soroti, pertempuran dari pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 dan nomor urut 02. Berbagai program seperti anti black campaign dan anti hoax digencarkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai badan penyelenggara pemilu. Program anti golput adalah salah satu yang paling menonjol di antaranya.

Istilah golput atau golongan putih muncul menjelang pemilu 1971, lebih tepatnya pada masa orde baru. Pada saat itu, orang-orang merespons Pemilu dengan mencoblos surat suara di luar kotak pasangan calon, atau bagian berwarna putih. Dari hal itulah yang menjadikan namanya menjadi golongan putih.

Diambil dari kompas.com, jenis golput terbagi menjadi dua, yaitu golput yang dikarenakan teknis, dan golput yang dikarenakan kesadaran pemilihnya atau Kompas menyebutnya sebagai golput ideologis. Golput karena teknis merupakan golput yang didasari karena pemilih tidak bisa datang, atau memang memiliki sifat apatisme dan memilih untuk berlibur. Sedangkan golput ideologis adalah pengambilan sikap politik karena protes terhadap pemilihan kontestan.

Lalu bagaimana dengan angka golput dalam Pemilu 2019 ini? Dilansir dari Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, potensi jumlah pemilih yang memilih untuk golput mencapai 20 persen dari keseluruhan total calon pemilih. Potensi ini berdasarkan dari survei yang dilakukan oleh indikator dari jumlah orang yang telah memutuskan untuk golput dan yang belum menentukan pilihan. Dalam survei tersebut juga disebutkan bahwa hingga Januari 2019, jumlah pemilih yang memutuskan untuk golput mencapai 1,1 persen. Sedangkan pemilih yang berpotensi menjadi golput yaitu undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) mencapai sebesar 9,2 persen dan swing voters (pemilih yang masih bisa berubah pilihan) sebesar 14 persen.

Pertanyaan mendasar dari hal tersebut adalah, mengapa jumlah golput pada pemilu tahun ini kemudian berpotensi untuk bertambah? Banyak sekali media yang mengambil kesimpulan dan memberitakan bahwa pengambilan keputusan calon presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menetapkan Maaruf Amin sebagai wakilnya, menjadi penyebab golput paling tinggi. Walaupun begitu, penyebab golput bukan hanya berasal dari rasa kekecewaan keputusan calon presiden Jokowi, tetapi banyak hal lainnya. Seperti dilansir pada tirto.id pada artikelnya, disebutkan bahwa visi, misi, dan kinerja Jokowi juga mempengaruhi sikap golput pada pemilu kali ini.

Kemudian ada apa dengan golput? Apakah diizinkan oleh negara? Mengapa KPU sangat mencegah golput? Untung menjawab pertanyaan pertama, mari kita teliti diri kita sendiri terlebih dulu. Mengapa terjadi golput pada awalnya dan mengapa sampai saat ini masih saja dan bahkan berpotensi meningkat dari tahun-tahun sebelumnya? Jika memang yang terjadi adalah lebih banyak golput karena pemilih yang tidak dapat memilih, tentu hal tersebut perlu diatasi dan diselesaikan. Namun lain hal jika golput terjadi karena pendapat seseorang dalam memilih. Lalu untuk menjawab pertanyaan yang kedua, apakah diizinkan oleh negara? Pemerintah sendiri tidak melarang untuk memilih atau bahkan tidak memilih, dasarnya seperti itu. Tidak ada larangan untuk golput. Namun lain hal ketika seseorang menghilangkan hak orang lain untuk memilih, atau dengan sengaja mengajak seseorang untuk kemudian tidak memilih atau memilih pasangan lain dengan imbalan tertentu. Hal ini tertera dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada pasal 292 dan pasal 301 ayat 3.

Pasal 292

Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 301 ayat 3

(3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Lalu mengapa jika golput diperbolehkan, KPU sangat mencegah adanya golput? Hal ini tentu untuk menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berdemokrasi. KPU juga mencegah terjadinya kecurangan karena surat suara kosong yang seharusnya digunakan oleh pemilih golput, terindikasi dapat digunakan untuk kepentingan yang lain. 

Jadi jangan salah kaprah mengenai golput. Golput tidak dilarang dan sebenarnya tidak dianjurkan. Tetapi jika Saudara memang menginginkan protes dengan golput, jadilah golput yang baik dengan datang ke TPS lalu membiarkan kertas suara menjadi tidak sah. Dengan cara itu, hal yang ditakutkan KPU bisa terminimalisir. Atau lebih baik lagi, bagi Saudara yang belum bisa menentukan pilihan, cari sesuatu yang kalian inginkan dalam figur presiden atau wakil anda. Misalnya visi misi atau program kerja wakil rakyat tersebut, kemudian menentukan pilihan. Ingat bahwa hal ini hanya terjadi lima tahun sekali. Apapun keputusan ada pada diri anda sendiri, bukan karena orang tua, teman, atau kerabat.