
DISPLAY – Bersamaan dengan peringatan Hari Pendidikan (02/05), mahasiswa yang melabeli dirinya sebagai Aliansi Brawijaya Menggugat Jilid II menggelar aksi dengan membawa berbagai macam tuntutan ke depan Gedung Rektorat. Sebelum pelaksanaan aksi ini, massa aliansi telah berdiskusi dan berkoordinasi dengan pihak PSLD (Pusat Studi Layanan Disabilitas). Diskusi yang dilakukan oleh kedua pihak tersebut merupakan dasar dari salah satu tuntutan untuk meningkatkan infrastruktur pelayanan dan pendidikan yang lebih inklusif bagi para penyandang disabilitas.
Abimanyu Kurnia Ramadhan, mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UB 2017 turut serta menyuarakan keresahan dan keinginan dirinya dan teman-temannya selaku penyandang disabilitas. Abi, sapaan Abimanyu mengatakan fasilitas adalah permasalahan yang tak kunjung diselesaikan. “Kurangnya fasilitas untuk menunjang kegiatan akademik, contohnya, nggak ada trotoar bidang miring untuk pengguna kursi roda. Nggak ada guiding block (Jalur pemandu di trotoar, red) untuk tuna netra menjalankan aktivitas secara mandiri,” ungkap Abi.
Kurangnya fasilitas untuk menunjang para penyandang disabilitas ini membuat mereka sulit untuk mengikuti kegiatan-kegiatan berorganisasi. “Kurang terwadahinya kami sebagai kaum disabilitas untuk bergerak. Contohnya untuk berorganisasi, tidak ada fasilitas mumpuni untuk teman tuna rungu ingin berorganisasi,” ucap Abi. Selain itu, Ia juga mengungkapkan keinginan terbesar penyandang disabilitas seperti dirinya, yaitu dengan adanya juru bahasa isyarat di setiap LSO, LKM, dan UKM di UB. “Setidaknya ada SOP bahwa di setiap organisasi anggotanya minimal wajib ada satu yang bisa berbahasa isyarat”, tambahnya.
BEM FILKOM pun turut andil dalam kegiatan ini. BEM FILKOM juga sudah melakukan perbincangan dengan teman-teman penyandang disabilitas serta PSLD beberapa waktu lalu. “Beberapa masalah kebanyakan fasilitas sama akademik. Kalau dari fasilitas paling banyak masalahnya di kamar mandi. Kalau akademik, dosen belum bisa menguasai cara komunikasi mereka,” tutur Menteri Kebijakan Publik BEM FILKOM, Anggit Chalilur Rahman. Selain itu, jumlah pendamping yang lebih sedikit dari jumlah penyandang disabilitas juga menjadi keluh kesah mereka. “Mereka butuh penambahan pendamping atau volunteer dari FILKOM, bukan dari fakultas lain. Karena, ketika pendamping di kelas untuk menjelaskan materi, pendamping kurang dapat menjelaskan karena kurang mengerti dengan mata kuliah di FILKOM,” tambahnya.
Aksi ini ditutup dengan disepakatinya enam tuntutan dengan pertimbangan, kajian mendalam, serta tanpa ada paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun oleh beberapa pimpinan rektorat dan ketua senat. “Mengenai inklusif, kami sudah sepakat atas masukan para massa. Akan kami tindak lanjuti masukkan dari mahasiswa,” tutur Ketua Senat UB, Prof. Dr. Ir. Arifin MS. Ia juga berharap agar seluruh mahasiswa mengawasi dan tetap mengingatkan sampai seluruh tuntutan berbuah keberhasilan. “Kita akan laksanakan bersama-sama, tetapi tadi saya minta untuk mahasiswa dan yang lain-lainnya untuk mengawal dan ikut terlibat didalamnya. Supaya yang dijanjikan ini tidak hanya sekedar janji, tetapi dilaksanakan bersama-sama. Supaya ini bisa segera selesai,” tutupnya. (ll)