
DISPLAY – Aksi MayDay pada Selasa (1/5) di Balai Kota Malang dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional dihadiri oleh tiga aliansi besar yaitu Aliansi Perjuangan Rakyat (APR), Aliansi Rakyat Malang (ARM), Aliansi Rakyat Malang Bersatu (ARMB), dan Front Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI). Ketiga aliansi tersebut menyuarakan berbagai tuntutan untuk kepentingan buruh, salah satunya yaitu penolakan intervensi Tenaga Kerja Asing (TKA). Tuntutan tersebut berdasarkan Perpres No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang dapat membuka kesempatan besar bagi para TKA memenuhi lapangan kerja di Indonesia. Masuknya TKA tersebut dianggap sebagai ancaman bagi para buruh karena dapat menggantikan tempat para buruh lokal. Luthfi Chafidz, Ketua Umum FPBI (Front Perjuangan Buruh Indonesia) mengatakan bahwa alasan utama mereka menolak TKA adalah keadaan para buruh yang masih terinjak upah minim dan malah harus bersaing lagi dengan para TKA. “Mestinya diatas minim dong. Yang masa kerja lebih tinggi itu lebih bagus, harusnya diatas minim. Kata minim ini kan di bawah sekali. Tapi faktanya, di lapangan hampir 80% di Malang, 90% di bawah minim,” terang Luthfi.
Selain upah yang masih minim, para buruh juga khawatir tentang peningkatan jumlah TKA yang masuk ke Indonesia. Dilansir dari CNN Indonesia, jumlah TKA sendiri hingga saat ini membeludak mencapai 126 ribu orang atau meningkat 69,85% dibandingkan akhir tahun 2016 yaitu sebanyak 74.813 orang. Menurut Luthfi, TKA yang SDMnya dianggap jauh lebih baik dari SDM Indonesia sendiri, dianggap menjadi ancaman terbesar bagi buruh Indonesia. “Kalau memicu sih bagus, bagaimana harus memicu. Itukan tergantung perusahaan, Mas. Dia masuknya dimana. Kalau bersaing sesama produksi ya gak apa-apa, tapi dia masuk menguasai lahan kita. Dia masuk di area kita, jadi kita enggak ada kesempatan,” ungkapnya.
Penyalahgunaan TKA juga menjadi titik kekhawatiran para buruh, dimana para TKA dipaksa untuk memenuhi target yang ada dan dibayar dengan upah yang setara dengan buruh lokal tanpa mempertimbangkan kemampuan dari TKA itu sendiri. “Mereka dipaksa untuk memenuhi target kinerja mereka dengan hak-hak pekerja yang berada di negara penempatan. Ini sebetulnya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun tidak ada pilihan karena mereka memang harus bekerja di tengah situasi negara mereka (yang) tidak memberi ruang-ruang kerja yang layak bagi mereka,” ujar Putut Prabowo selaku perwakilan dari Reformasi Gerakan Agraria Cabang Malang.
Menurut Putut, TKA menjadi korban imperialisme dimana para tenaga kerja merupakan korban dari perpindahan dari tenaga kerja yang tidak hanya terjadi di Indonesia saja. “Sejatinya politik memindahkan tenaga kerja ini adalah politik untuk terus menekan upah politik, dimana terus menekan hak-hak pekerja, dimana tenaga kerja asing tidak dibayar dengan semestinya yang berasal dari negeri asal mereka,” terangnya. Putut juga mengatakan para buruh tidak akan tinggal diam dalam melawan 3 musuh besar rakyat yaitu tuan tanah besar, komprador, dan kapitalis birokrat. Mereka juga mengatakan bahwa buruh akan terus menyuarakan tuntutan mereka sampai akhir hingga keputusan rezim benar-benar berpihak pada rakyat. (dc)