Hampir tiga tahun terakhir ini, tepatnya mulai tanggal 20 September 2012 masyarakat Malang mulai disuguhi aksi-aksi sosial dari sebuah komunitas bernama Komite Independen untuk Pendidikan atau yang populer dengan singkatan KOIN. Komunitas ini bercita-cita membentuk Malang sebagai kota yang layak anak dan layak pendidikan. Komunitas peduli pendidikan ini dicetuskan oleh Miftahul Huda, mahasiswa Jurusan Politik FISIP UB angkatan 2007. Hal yang mendasari itu semua adalah keprihatinannya terhadap kota Malang yang kurang memberikan ruang untuk perkembangan anak serta mahalnya pendidikan untuk anak-anak yang kurang mampu. Meskipun sudah banyak usaha bantuan dari pemerintah seperti Bantuan Operasioal Sekolah (BOS), masih saja banyak anak-anak yang tidak mengenyam bangku sekolah. Komunitas ini awalnya hanya mempunyai dua orang volunteer, tapi sekarang ada 55 mahasiswa yang berasal dari hampir seluruh Universitas di Kota Malang yang memberi hati dan tenaga untuk menjadi volunteer.
Setiap tahunnya KOIN mengadakan open recruitment anggota besar-besaran secara cuma-cuma tanpa proses screening. Untuk saat ini KOIN berada dibawah Koordinasi Wawan Darmawan, Mahasiswa Informatika PTIIK UB 2012 dan mempunyai tiga divisi utama yaitu Fund Rising (FR), Edukasi, dan Advokasi. Beberapa minggu terakhir ini divisi FR tengah mengadakan usaha pencarian dana dalam Garage Sale di Pasar Comboran dan CFD, untuk mememenuhi kebutuhan anak didik seperti seragam, alat tulis, dan buku pada saat tahun ajaran baru.
Bertempat di daerah Sukun tepatnya di Tanjung Putra Yuda, para volunteer melakukan pengajaran setiap minggu untuk anak-anak pra-sekolah hingga SMA/SMK. Cara mereka mengajarpun tidak seperti pendidikan formal di sekolah, setiap anak asuh berhak memilih kakak pengajar sesuai dengan yang diinginkan dan dibutuhkan. Hal tersebut bertujuan agar suasana belajarnya nyaman dan antara pengajar dan anak-anak mempunyai kedekatan khusus untuk memudahkan dalam memantau pendidikan anak didiknya.
Yang menjadi kendala bagi mereka adalah masalah mobilisasi, koordinasi dan inventaris seperti alat-alat mengajar yang belum mencukupi. Namun bagi mereka kendala-kendala tersebut bukanlah penghalang “Kurang koordinasi dengan volunteer-volunteer baru yang menyebabkan pada saat itu juga kita ditinggalkan, tapi saya yakin dan percaya sekalipun orang yang mau turun untuk menjadi aktivis sosial tidak banyak, tapi jiwa sosial itu pasti dimiliki semua orang. Ketika ada kita manusia-manusia yang berjiwa sosial, berarti kita adalah manusia-manusia yang terpilih untuk menjadi lebih manusia dibanding manusia-manusia lainnya”, ungkap sang koordinator utama. Komunitas ini berharap bisa semakin exist dan bisa memajukan bangsa dan Negara dalam hal pendidikan.
(Fs, Ed)