DISPLAY – Laporan Pertanggung Jawaban Tengah Periode (LPJ-TP) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2019/2020 dilakukan hari ini, 25 September 2019. Acara tersebut bertempat di Gedung G lantai 2 Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (FILKOM UB). LPJ-TP ini ditujukan kepada lembaga yang mengawasinya yaitu Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), serta seluruh mahasiswa FILKOM UB.

Terpantau hingga akhir, acara tahunan ini terlihat sepi peserta dari non BEM dan DPM. Handita Anya Prameswari, Koordinator DPM periode 2019/2020 mengaku merasa kecewa karena tidak ada mahasiswa yang datang walaupun DPM merasa sudah memberikan informasi kepada mahasiswa FILKOM. “Aku kecewa karena ketika kita udah gembor-gemborin, ternyata antusiasmenya sedikit. Kurang lah, kalau bisa aku bilang,” ujar Anya ketika ditanya mengenai tanggapannya. Anya sendiri juga menyayangkan mengenai acara LPJ-TP yang seharusnya didengarkan oleh mahasiswa FILKOM. “Yang aku kecewa adalah, ini kan terbuka untuk MKBM (Musyawarah Keluarga Besar Mahasiswa, red) ya, tapi MKBM-nya malah enggak datang. Yang datang malah lembaga, dan itu juga sedikit,” tambahnya.

Presiden dan Wakil Presiden BEM FILKOM periode 2019/2020, Syaukani Audady dan Mohammad Fachreyza Purwanto juga turut mengungkapkan kekecewaannya mengenainya jumlah peserta yang hadir dalam acara tersebut. “Mungkin dari informasi ke masing-masing lembaga juga kurang, ke publik pun juga kurang. Harapannya ini kami (BEM, red) ketika memberikan LPJ-TP ditampilkan ke publik, bukan hanya dari BEM doang yang datang,” ujar Eja, panggilan akrab Fachreyza. “Tadi juga terkesan sepi lah, kayak LPJ-TP-nya dari kami dan untuk kami sendiri, seperti rabes (rapat besar, red),” guraunya.

Salah satu peserta acara, Farid Adi Wijaya menyebutkan bahwa selain lebih sepi dari tahun sebelumnya, undangan yang diberikan pada tahun ini terkesan mendadak. “Kalau tahun kemarin lebih ramai, undangannya enggak mendadak,” ujar Ketua Umum Poros periode 2019/2020 tersebut.

Ketika ditanya alasan mengenai hal ini, Syaukani dan Eja menyindir bahwa DPM itu adalah Dewan Perwakilan Mepet. Hal ini diklarifikasi bahwasanya sebelumnya acara ini rencana dilaksanakan pada tanggal 13 September, namun diundur karena pengajuan proposal serta persiapan yang mepet. “Memang dari peminjaman mepet, undangan mepet,” ujar Eja. Syaukani menambahkan bahwa proposal yang seharusnya dua minggu sebelum hari H diajukan, malah diajukan seminggu sebelum hari H. “Untuk masalah proposal mereka H-seminggu baru mengajukan, padahal alur sudah jelas H-2 minggu. Lalu ketika sudah diundur tanggal 25 juga peminjaman tempat baru diurus dua hari lalu (23 September, red),” tambah syaukani.

Berbeda dengan Farid, Syaukani, dan Eja, Anya mengungkapkan bahwa informasi mengenai undangan acara LPJ-TP tidak mendadak sama sekali, dikarenakan kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan. “Seharusnya kan teman-teman ini sudah pada tahu, ini kan acara tiap tahun, pastinya akan ada LPJ-TP di setiap tahunnya,” ungkap Anya. Ketua Pelaksana LPJ-TP, Yanuar Octavianus mengatakan bahwa acaranya bukan mendadak, melainkan tempat yang belum pasti mengakibatkan informasi belum bisa dikeluarkan secara resmi. “Dari H1.6 terus dipindah ke Gedung G lantai 2. Lalu atasan ngomong Gedung G lantai 2 mau dipakai buat seminar Indosat. Dari atasan sendiri enggak kasih kejelasan tempat sampai dekat-dekat pelaksanaan,” ujar pria yang disapa Yanuar itu.

Menambahi keluh kesahnya, Eja mengatakan bahwa acara yang rencananya dimulai sejak pukul 9 pagi dan berakhir pukul 7 malam, malah dimulai sejak pukul 11 hingga pukul 3 sore. Ia menganggap hal ini merupakan bentuk ketidakjelasan acara LPJ-TP pada tahun ini. “Mereka (DPM, red) merencanakannya sampai malam, tapi jam segini sudah selesai. Ya karena sepi itu, enggak ada yang nanya lebih lanjut, bahkan DPM-nya enggak ada yang nanya,” ucapnya.

EVALUASI YANG TIDAK RELEVAN

Syaukani kemudian turut mengatakan bahwa evaluasi yang dilakukan DPM terhadap BEM terasa tidak tepat sasaran. Menjelaskan lebih jauh, menurutnya saran-saran yang diberikan oleh DPM dirasa kurang relevan. “Contohnya ya BLOOM (program kerja BEM, red) itu. Sarannya DPM registrasinya di lantai satu dan donornya di lantai dua. Sedangkan kita di lantai satu itu permintaan PMI (Palang Merah Indonesia, red) langsung, karena PMI bilang lebih ribet dan bahaya bagi pendonor,” terangnya.

Eja mengatakan bahwa BEM sejatinya berharap evaluasi yang dilakukan oleh DPM adalah evaluasi yang berdasar pada grand design, bukan dari segi teknis. “Seperti GBHK (Garis Besar Haluan Kerja, red), tujuannya, lalu parameter-parameter yang tercantum dalam grand design,” ungkapnya. Eja kemudian menambahkan menurutnya evaluasi teknis yang dilakukan oleh DPM pun terkesan ngawur. “Intinya mereka juga tidak menelaah lebih lanjut apa yang terjadi dalam proker-proker kami,” ungkapnya. (rfd)