Kekerasan seksual dalam dunia pendidikan menjadi salah satu masalah yang serius hingga saat ini. Lembaga pendidikan yang diharapkan dapat membantu memperbaiki masa depan bangsa, justru menjadi tempat yang tidak aman. Tidak dapat dielak, Universitas Brawijaya (UB) termasuk salah satunya. Berbagai kasus kekerasan seksual yang telah terjadi di lingkungan UB menimbulkan rasa was-was pada diri mahasiswa. Tak terkecuali juga Fakultas Ilmu Komputer (FILKOM) yang baru-baru ini ramai terkait permasalahan kekerasan seksual
Beberapa laporan kekerasan seksual sudah terjadi di lingkungan FILKOM. Tidak hanya kekerasan secara fisik, namun kejahatan seksual dalam bentuk verbal juga tidak kalah banyaknya. Pelakunya pun bukan hanya orang asing, bahkan teman dekat juga bisa melakukan tindak kekerasan seksual.
Dandy Ramadhany, Presiden BEM FILKOM 2022 menjelaskan bahwa perilaku seperti memegang pundak atau yang lain mungkin sudah dianggap kebiasaan normal oleh sebagian orang. Tapi, apabila korban merasa tidak nyaman dan yang dipegang adalah bagian sensitif maka hal tersebut termasuk kekerasan seksual.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan FILKOM. Hal ini terlihat dari adanya Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) yang juga bekerja sama dengan BEM FILKOM untuk membentuk program Saling Jaga Warga FILKOM (SJW FILKOM). Program ini memiliki fungsi untuk memberikan sosialisasi terkait tindak KSP di lingkungan FILKOM serta melakukan pendampingan kepada korban KSP.
Adanya pakta integritas yang ditandatangani oleh seluruh perwakilan lembaga dan komunitas di FILKOM juga menunjukkan bentuk penolakan tindak kekerasan seksual di lingkungan FILKOM. “Pakta integritas itu sudah seperti janji sendiri yang mana salah satu poinnya berbunyi ‘apabila ditemukan pelaku merupakan fungsionaris dari salah satu organisasi mahasiswa, maka akan diberhentikan dengan tidak terhormat’, jadi memang harus dilakukan,” terang Dandy
Selain itu, sebenarnya sudah banyak peraturan mengenai norma akademik, termasuk perihal kekerasan seksual dan perundungan. Edy Santoso, Ketua ULTKSP FILKOM menyebutkan bahwa di Peraturan Dekan, Peraturan Rektor, bahkan Undang-Undang sudah mengatur bagaimana berperilaku yang baik di lingkungan Universitas. Hanya saja memang banyak yang belum mengetahui dan memahami peraturan tersebut.
Peraturan-peraturan tersebut tidak hanya mengatur norma akademik atau kode etik mahasiswa, tetapi juga terdapat kode etik dosen dan tenaga pendidik. Jadi, siapapun yang melanggar kode etik tersebut tentunya berhak mendapatkan tindakan yang seharusnya. Termasuk jika pelanggarannya dalam bentuk kekerasan seksual.
Edy juga menambahkan bahwa FILKOM hendak membentuk komisi etik yang berasal dari Senat Akademik Fakultas (SAF). “Saat ini pengajuan Peraturan Dekan terkait pembentukan komisi etik sudah sampai tahap pengecekan pada Hukum dan Tata Laksana Rektorat. Semoga secepatnya komisi etik ini dapat terbentuk sehingga apabila terjadi kasus dapat dilihat dari dua sisi.”
Meskipun belum ada komisi etik, saat ini ULTKSP juga bisa menjadi penghubung dengan pihak dekanat apabila terjadi kasus KSP. Karena bagaimanapun yang berhak memberikan sanksi adalah Dekan. Sanksi yang ada tingkatannya berbeda-beda. Mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, skorsing mata kuliah tertentu, skorsing satu semester, hingga dikeluarkan dari universitas.
Dengan adanya berbagai penunjang, peraturan, hingga sanksi ini diharapkan lingkungan FILKOM dapat benar-benar bersih dari kasus kekerasan seksual dan perundungan. Tentunya hal ini juga perlu dukungan dari stakeholder terkait. Hindari perilaku yang mengarah pada kekerasan seksual dan jangan takut untuk melaporkan tindak kejahatan seksual yang terjadi.(rz)