
DISPLAY – Senin (14/5) telah berlangsung aksi solidaritas yang berlokasi di depan Gereja Katolik Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel Malang. Aksi yang diikuti oleh massa yang melabeli dirinya sebagai Aliansi Damai Malang serta warga sekitaran Malang ini didasari oleh rasa empati terhadap rentetan aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia. Aksi yang berjalan kurang lebih selama 2 jam ini berisikan orasi-orasi kebangsaan, pembacaan puisi, beserta pembacaan doa dari beberapa pemuka agama serta kepercayaan se-Malang Raya, dan ditutup oleh penandatanganan di atas banner sebagai bentuk kecaman atas aksi teror.
Aji Prasetyo, seniman yang merupakan koordinator dari aksi solidaritas ini, menyampaikan bahwa diadakannya aksi ini merupakan bentuk keresahan akan peristiwa teror bom yang terjadi di Surabaya. Ia juga mengutarakan bahwa datangnya massa dalam aksi ini merupakan murni karena keresahan akan tindak teror yang telah terjadi. “Jadi tidak ada undangan, undangan khusus maksudnya ke komunitas, gak ada. Kita bener-bener cuman sebarkan di sosmed dan yang mau datang silahkan. Faktanya ngumpulnya segini banyak, berarti bener kata temen-temen, ini adalah keresahan bersama yang orang-orang udah nahan,” tuturnya.
Untuk lokasi aksi solidaritas ini sendiri, Aji menyampaikan bahwa pemilihan Gereja Katolik Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel ini merupakan bentuk simbolik akan kejadian teror yang dimana rata-rata korbannya berada dalam lingkungan gereja di Surabaya. “Ada simbol yang mau kita sampaikan, kita berempati pada saudara-saudara kita di Surabaya, yang kebetulan korbannya kan rata-rata adalah gereja,” ucapnya.
Aji juga memaparkan bahwa aksi ini merupakan langkah nyata untuk membasmi ujaran kebencian yang menurutnya merupakan gejala awal dari terorisme yang akhirnya terjadi di Surabaya. “Tidak mungkin ada aksi terorisme kalau tidak ada kebencian sebagai modal, tidak mungkin ada orang ingin membunuh kalau nggak ada rasa benci sebagai modal, membunuh dengan sengaja kayak gini loh. Teror-teror ini kan membunuh dengan sengaja, pasti bekalnya adalah rasa benci,” tuturnya. Ia juga menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini ujaran kebencian semakin marak terjadi di lingkungan masyarakat. “Jadi ujaran kebencian masuk di mimbar agama, masuk di mimbar pendidikan, masuk di ruang publik, akhirnya bomnya ini, meledaknya kayak gini,” terangnya.
Dengan adanya aksi ini, Aji menjelaskan bahwa ini merupakan simbol dimana masyarakat Malang tidak takut akan teror beserta aliran-alirannya, ditambah dengan masyarakat Malang yang sejak lama sudah terekam akan toleransinya. “Dari sisi arsitektur (Lokasi Masjid Jami’ Malang dan Gereja GPIB Immanuel Malang yang bersebelahan, red) saja kita sudah bisa melihat masyarakat Malang itu seperti apa, jangan sampai aliran-aliran baru ini masuk dan mengacaukan kita, kita harus punya defense,” tuturnya.
Aji juga turut mengomentari perihal beberapa pihak yang membela akan aksi teror yang dilakukan serta menganggap bahwa peristiwa ini merupakan settingan maupun hoax. Menurutnya bentuk pembelaan terhadap bentuk terorisme seperti ini merupakan bibit dari terjadinya aksi terorisme itu sendiri. “Teroris musuh masyarakat, yang mendukung teroris berarti musuh masyarakat,” tegasnya. Ia juga menyayangkan perilaku masyarakat yang tidak bisa menyatu disaat peristiwa teror bom ini sudah benar-benar terjadi dan memakan korban. “Jadi membela mereka (teroris, red) berarti musuh masyarakat juga, kalau perlu digitukan. Jangan sampai kampung halaman kita mengalami yang seperti di Surabaya, sebelum itu terjadi maka kita masyarakat harus lebih paham dan siaga,” tutupnya. (alf,rrt)