Oleh: Alluragilius Whichisae
“Things people with down syndrome tired of hearing,” mengucapkannya terasa amat berat sekalipun aku setiap hari duduk di studio dan menjadi presenter di acara talkshow salah satu stasiun TV di Asia ini.
Bagaimana tidak, jika orang-orang yang katanya kembar seribu wajah ini hadir di dalam studio dan menjadi pembicara di episode kali ini. Kembar seribu wajah? Ya, itu adalah julukan untuk mereka yang terlahir dengan down syndrome. Kembar seribu wajah mungkin artinya kita bisa langsung mengenali seseorang dengan down syndrome lewat wajah mereka yang sangat spesial. Satu hal yang harus diingat, down syndrome bukanlah sebuah penyakit.
Aku kembali menghela nafas sebelum kemudian menyapa mereka, untung saja acara ini tidak disiarkan secara langsung. Aku tidak yakin apa saja yang akan terjadi padaku nanti jika kenangan akan Gwyn, kakak perempuanku, mulai bermunculan.
Gwyn, nama yang cantik bukan? Artinya adalah putih. Orang tua kami memberinya nama Gwyn karena kulitnya yang seputih salju. Begitu cantik, meskipun saat itu ia terlahir dengan down syndrome.
“People with down syndrome can’t learn,” Aku membaca kertas kecil yang diambil oleh Lily, salah satu pembicaraku yang masih berusia 19 tahun. Putra, Star, dan Prisila, pembicaraku yang lain tertawa saat mendengarnya. Aku kemudian melemparkan pertanyaan apakah itu benar pada mereka.
Jawabannya tentu saja tidak. Sosok Gwyn mulai bermunculan di kepalaku. Orang tuaku dulu benar-benar fokus dalam mengajari Gwyn banyak hal. Sangat beruntung, Gwyn terlahir dengan fungsi organ yang sangat kuat meskipun setiap sakit butuh waktu lebih lama untuk pulih. Dia bersekolah di Sekolah Luar Biasa dan hari-harinya dipenuhi dengan berbagai macam terapi serta latihan.
Sebagai seorang anak laki-laki, dulu aku adalah anak yang benar-benar nakal. Aku juga bodoh dalam beberapa mata pelajaran yang membuatku bahkan harus tinggal kelas. Saat aku baru masuk SMP, Gwyn sudah sangat lancar berbahasa inggris. Dia membuat orang-orang terkejut karena bahkan kakakku itu bisa mengikuti kompetisi debat bahasa inggris. Melihatnya menjadi orang yang berbeda saat menyampaikan pemikirannya membuatku yang tadinya menganggap Gwyn sebuah beban menjadi kagum padanya.
“Adults with down syndrome are like children,” tulisan di kertas yang diambil oleh Prisila membuat Putra dan Star menggeleng cepat. Prisila yang memang seorang ibu dari Carmen, bayi perempuan dengan down syndrome menyanggahnya. Tapi jawabanku sendiri adalah ya dan tidak.
Gwyn akan bertingkah seperti anak kecil saat ada hal yang tidak diketahuinya atau saat sedang bermanja-manja dengan kedua orang tua kami. Tetapi dia juga selalu bersikap dewasa pada adik laki-lakinya ini terutama jika mulai menasihatiku mengenai sekolah.
“Those with down syndrome can’t have job and can’t live independently,” bacaku.
“No,” Putra yang mengambil kertas itu langsung menyanggahnya. “I have a life. I can go out influence people and…” meskipun ucapannya patah-patah, dan sama sepertiku dia juga adalah orang Indonesia, Putra membuat orang-orang takjub di usianya yang ke 24 ini.
Aku juga setuju pada jawabannya teringat bagaimana mandirinya Gwyn setiap harinya. Dulu saat aku menginjak semester 4, Gwyn diterima bekerja di salah satu toko swalayan di dekat rumah sebagai seorang kasir. Aku yang bertugas menjemputnya di sore hari selalu merasa takjub saat melihatnya melayani pengunjung toko. Yang membuatku dan orang-orang heran adalah antrian di bilik kasir Gwyn selalu lebih panjang dari dua bilik lainnya.
Ternyata Gwyn setiap harinya selalu menyelipkan “to think about today” bersama struk dari setiap pelanggan. Membuat mereka kemudian menyebutnya “Gwyn’s Quotes” dan menjadikan kehadiran kakakku itu terasa amat menggembirakan. Belakangan aku baru tahu bahwa itu dilakukan Gwyn setelah dia sering membaca buku biografi dan mulai berpikir hal kecil apa yang bisa dilakukannya untuk orang-orang. Hatiku mulai menghangat saat kembali membayangkan ekspresi Gwyn setiap kujemput.
“People with down syndrome can’t have relationships,” Aku menekankan tiga kata terakhir dari kertas yang diambil oleh Star. Gadis itu menggeleng cepat sambil tertawa.
“Are you kidding? Kissing is my favourite pastime,” lanjutnya membuat seisi studio mulai tertawa. Entah kenapa aku masih tidak yakin dengan pernyataan tentang relationship ini.
Anak laki-laki dari salah satu teman orang tua kami pernah berkunjung ke rumah dan bilang ingin berkenalan dengan Gwyn karena mendiang ibunya bilang ingin sekali berbesanan dengan orang tua kami. Saat itu aku yakin laki-laki itu tidak tahu keadaan Gwyn yang sebenarnya karena dia bahkan langsung berubah pucat dan bilang tidak siap kalau harus berhubungan serius dengan orang cacat. Cacat. Satu kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang sombong dan membuatku muak.
Sekalipun Gwyn tidak masalah dengan hal itu, aku tahu kakakku sedikit banyak mulai berpikir mengenai masa depannya sebagai seorang perempuan. Dia jadi mulai sering menonton film-film drama dan membaca buku tentang hubungan. Dia juga mulai merawat tubuhnya dengan baik dan mencoba memoles make up di wajahnya.
Aku kemudian masih ingat dengan sangat jelas saat suatu malam kakakku masuk ke kamarku dengan mata sembab. Dia bertanya dengan suara parau, “Gi, apakah aku bisa menikah?” sebelum kemudian mulai menangis.
Waktu itu aku bertanya apakah Gwyn sedang menyukai seseorang atau dia baru saja membaca sesuatu tentang pernikahan. Kakakku hanya menggelengkan kepalanya dan kembali menanyakan hal yang sama. Dan si bodoh ini tidak bisa menjawabnya sama sekali. Mood Gwyn setelah malam itu berubah drastis bahkan hingga ia jatuh sakit.
“Guys,” aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menyampaikan pertanyaan terakhir. “Do you wish you didn’t have down syndrome?”
“I don’t wish that,” Star langsung menjawabnya dengan singkat setelah menggelengkan kepala dengan cepat.
“No. Why?” Kali ini Lily menjawab. “It’s just me, it’s part of me,”
“I may have down syndrome. But without it, I dont think I’d really be me,” Putra menjawabnya dengan lancar sambil tersenyum.
“I wish people would see down syndrome in a positive light,” Prisila mengusap lembut kepala Carmen saat mengucapkannya.
Itu adalah pertanyaan yang sedari dulu selalu ingin kutanyakan pada Gwyn. Apakah dia menyesal terlahir dengan down syndrom? Apakah dia pernah iri pada orang lain yang tidak terlahir istimewa sepertinya? Apakah dia bahagia memiliki adik sepertiku?
Aku selalu merasa bersalah. Kakakku seharusnya tidak akan menyerah begitu saja setelah malam itu. Dia yang sebelumnya selalu bersemangat untuk sembuh saat sakit kenapa menjadi begitu lemah? Seandainya saja malam itu aku bisa menjawab pertanyaan Gwyn mengenai pernikahan, apakah mungkin sekarang Gwyn masih ada bersama kami?
Orang tuaku bilang, salju mereka itu telah menemukan tempat yang cocok untuk mulai turun. Tuhan mungkin begitu menyayangi Gwyn hingga ia ingin Gwyn berada di sisi-Nya. Entah apapun alasannya, aku tahu kakakku yang merupakan sumber kebahagian keluarga kami pasti tidak akan pernah menyesal dilahirkan istimewa. Sama seperti si kembar seribu wajah lainnya. Lalu kenapa terus mengatakan hal-hal yang melelahkan untuk mereka dengar?
*****