
oleh: Alluragilius Whichisae
“Kamu berjongkok di tengah keramaian tetangga. Terbatuk dan terlihat kesulitan bernafas lalu pingsan. Papa pikir akan kehilanganmu saat itu.”
Aku kembali memperhatikan Papa dan teman lamanya yang sedang duduk di teras rumah dari balik tembok ruang tamu. Yang membuatku takjub adalah Papa menyalakan puntung rokok hingga hampir habis tetapi sama sekali tidak menghisapnya padahal dia bukanlah seorang perokok. Apa ini caranya menghormati tamu?
“Papamu dulu juga merokok,” Mama tiba-tiba mengatakannya sambil mengelus bahuku pelan.
“Serius, Ma?” tanyaku tidak yakin. Mama mengangguk sebelum kemudian mulai bercerita.
Papa dulu seorang perokok, meskipun bukan perokok berat tetapi Ia bisa menghabiskan hampir lima puntung rokok dalam sehari. Setelah menikah dengan Mama pun Papa sama sekali tidak berniat untuk berhenti.
Kata Mama, saat dulu mereka menikah mungkin adalah waktu yang sangat sulit untuk Papa. Di tengah kericuhan keluarga besar Mama yang saat itu menikah di usia 19 tahun Papa berlari pada rokok. Dia bahkan bisa menghabiskan lebih dari setengah bungkus sehari karena selalu mengalami “sakaw” nikotin di setiap rokok terakhirnya. Saat itu Mama juga tidak melarangnya selama dia tidak merokok di dalam rumah.
Mama seringkali bertanya pada Papa apa nikmatnya merokok. Papa bilang Mama tidak akan mengerti. Hal ini kurang lebih sama dengan orang yang tidak hobi memancing, maka pekerjaan memancing akan dianggapnya sebagai pekerjaan orang malas yang hanya membuang-buang waktu untuk sesuatu hal yang tidak berguna. Tetapi lain halnya dengan pemancing sejati, kegiatan memancing mempunyai seni dan kenikmatan sendiri yang sulit dipahami oleh orang yang tidak senang memancing.
Aku tersenyum saat mendengar perumpamaan yang diberikan Papa dulu. Padahal dia pasti tahu dengan jelas bahayanya merokok bagi tubuh. Tetapi kenikmatan yang Papa dapat mungkin melebihi ancaman bahaya rokok itu sendiri. Terutama jika memang pernikahan Mama dan Papa dulu begitu berat.
Setelah aku lahir, Papa mulai mengurangi intensitas merokoknya. Ia sama sekali tidak berani mencium atau bermain denganku jika baru saja merokok. Papa juga hanya merokok di dekat pagar, jauh dari rumah.
“Tapi ternyata itu belum cukup bijak,”
Aku terkejut saat tiba-tiba Papa duduk di sebelahku yang masih asyik bercerita dengan Mama. Teman lamanya ternyata sudah pulang dan tidak sempat pamit.
“Saat itu tahun 2001. Anak papa satu-satunya demam tinggi dan kehilangan nafsu makan,” Lanjut Papa sambil mengelus rambutku. Dia pun mulai bercerita.
Setelah membawaku ke dokter pun keadaanku tidak membaik. Selama 5 hari aku batuk-batuk kecil dan nafasku mulai tersengal, Papa bilang aku divonis menderita bronkitis akut. Aku mulai rutin meminum antibiotik dan melakukan uap penafasan selama 6 bulan. Aku juga harus minum cukup cairan agar terhindar dari dehidrasi dan membilas lendir yang menyebabkan penyumbatan pada saluran nafas. Tetapi tetap saja itu masih belum cukup untuk membuat Papa berhenti merokok.
Hingga suatu malam tahun baru, setelah aku kembali divonis bronkitis kronis, Papa akhirnya memutuskan untuk berhenti merokok.
“Kamu berjongkok di tengah keramaian tetangga. Terbatuk dan terlihat kesulitan bernafas lalu pingsan. Papa pikir akan kehilanganmu saat itu,” Saat mengatakannya aku bisa melihat mata lelah Papa yang mulai berkaca-kaca.
“Papa terus meminta maaf pada Mama sepanjang perjalanan ke rumah sakit,”
Kali ini Mama yang melanjutkan. “Bahkan sampai kamu sudah ditangani, Papa tidak berhenti menggenggam tangan Mama dan mengucapkan maaf. Pertama kali bagi Mama melihatnya seterpukul itu,”
Papa akhirnya benar-benar berhenti merokok. Meskipun pikirannya dilanda keresahan dan tidak nyaman dengan keadaan, Papa bilang dia berhasil melewati proses itu dengan konsisten dan komitmen. Apalagi ada Aku dan Mama di masa depannya.
Mendengarnya aku mulai terisak. Ketakjubanku tadi benar-benar beralasan, Papa bisa saja menghisap rokok itu satu atau dua kali. Tetapi rasa sayangnya pada kami benar-benar dapat mengalahkan egonya.
Meskipun aku tetap tidak suka pada orang yang merokok sembarangan, tapi aku mulai mengerti bahwa pasti ada keterikatan sulit dibalik itu semua. Tidak peduli alasannya adalah gen, stress, ingin keren atau apapun. Orang-orang itu tetap membutuhkan alasan kuat untuk berhenti.
Papa bilang, 20 menit sejak rokok terakhir detak jantung akan menurun dan mulai stabil. Lalu 2 jam kemudian ujung-ujung jari tangannya akan mulai terasa hangat tetapi rentan tekena “sakaw” nikotin seperti yang dia bilang. Meskipun begitu usaha untuk berhenti harus dilanjutkan karena 12 jam kemudian kadar oksigen di tubuhnya terasa meningkat dan Papa tidak lagi mudah mengantuk. Bisa bayangkan berjam-jam setelahnya hal baik apa yang akan terjadi pada tubuh? Lalu kenapa tidak berhenti sekarang juga?
*****