Oleh: Indah Zahrotul

If there no words

No way to speak

I would still hear you

Bermula dari ketakutanku untuk bercerita, kau menjadi salah seorang yang tiada habisnya menamparku dengan canda tawa. Berbincang dan bercanda di titik tertua Kota Jakarta. Di kota yang sama sekali asing bagiku dan kau menyebutnya sebagai cita rasa. Kota rantau yang mengenalkanku pada penyakit-penyakit anak muda. Bermalam pada pesta dan menyusuri gedung-gedung tua. Hingga suatu malam kau bertanya,

“Di, sampai kapan kamu enggan bercerita dan terbuka kepadaku?” Sorot matanya tajam melirik, namun wajahnya tetap bulat dan menggemaskan seperti seorang bayi, wajah yang menjadi karya seni terbaik Tuhan yang patut ku syukuri.

“Genta, bukannya aku enggan. Hanya saja, tidak semua perasaan itu dapat dijelaskan.”

“Diandra, sudah berapa kali kamu bilang seperti itu?”

“Iya, maaf Ta. Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa.”

“Di, kamu hanya perlu percaya pada hidup. Yaitu bahwa hidup kamu sangatlah bermakna, berharga, dan karena itu selalu ada harapan jauh di ujung sana.”

Aku terdiam, mengingat kembali kehidupan di tengah reruntuhan dan kehancuran, kehancuran secara sosial. Aku terlalu sering mendengar dunia diperintah dengan paksa, dan aku benci menjadi budak kehidupan yang penuh sandiwara. Bercerita hanya akan semakin membuatku gila, tidak satu pun dari mereka yang benar-benar peduli akan kehidupan kita, tidak satu pun dari mereka yang benar-benar bisa dipercaya. Terlalu banyak orang bermuka dua, mengatakan indah padahal buruk. Terlalu banyak dusta di antara kekatanya.

Seperti terhempas secara tiba-tiba, celetuknya meruntuhkan tekanan pikiran yang tak tertanggungkan.

“Apa yang kamu takutkan lagi Di, kamu hanya perlu bercerita dan aku akan selalu menjadi pendengarmu. Di, jangankan untuk mendengar keluh kesahmu, segala sesuatu pasti akan aku lakukan jika itu bisa membuatmu bahagia. Diandra, jangan pernah takut untuk bercerita lagi, ya…”

Dan sejak saat itu, aku mulai percaya pada hidup.

***

If there no tears

No way to feel inside

I’d still feel for you

“Ta, aku butuh kamu.” Kukirim pesan singkat itu sesaat setelah aku duduk di sebuah kedai kopi dekat tempatku bekerja. Kedai kopi yang cukup luas dengan dua lantai berfondasi kayu, lengkap dengan aroma Arabica Gayo yang rupanya telah menjadi primadona di sini. Jam istirahat, gelas-gelas berdentingan. Tempat yang cukup ramai untuk merayakan kesepian.

“Iya Di?” Ponselku bergetar setelah namanya muncul, segera aku membalasnya, mengungkapkan sedikit kekosonganku hari ini.

“Ta, pernah nggak kamu merasa kosong?”

“Kenapa Di? Kenapa tiba-tiba tanya gitu?”

I don’t know, so crowded here but I just feel empty.”

“Di, tak ada yang benar-benar bisa menebak sepi. Bahkan ia bisa datang tiba-tiba di tengah keramaian.”

“Iya Ta, mungkin aku belum terbiasa saja dengan keramaian.”

Beep, beep.

Ponselku bergetar kembali setelah beberapa menit ia tidak membalasnya, kali ini sebuah video. Kuperhatikan baik-baik sambil memasang headset dan mulai memutar video berlatar hitam tersebut. Tiba-tiba ia muncul sambil membawa sebuah gitar akustik dan mulai memainkannya. Nadanya indah, seindah senyum yang sesekali muncul sambil menyanyikan lagu lawas ciptaan Jim Brickman berjudul Valentine itu.

Cause all I need is you, my Valentine

You’re all I need, my love, my Valentine”

Genta, harus ku akui, kau memang paling pintar mengambil hati.

***

And even if the sun refused to shine

Even if romance ran out of rhyme

You would still have my heart until the end of time

Aku tak pernah merasa terlambat mengenalmu, juga tak merasa terlalu cepat untuk mengetahui siapa dirimu. Dan bahkan jika matahari menolak untuk bersinar, kesalahanku untuk terlalu mencintaimu tidak akan pernah kupedulikan. Jutaan cerita tentang dirimu, hanya sekadar cerita yang berintisarikan aku sayang padamu.

***

February, 11

I’ve dreamed of this a thousand times before

In my dreams I couldn’t love you more

“Bagaimana sebaiknya kita selesaikan?”

“Apa maksudmu Di?”

“Genta, kita tidak bisa berlama-lama seperti ini, mau sampai kapan?”

“Di, aku bukanlah pria yang cukup tegar untuk dapat mengambil keputusan dan hidup dalam penyesalan,” sambil kulihat wajah manisnya tampak letih dipenuhi gurat kesedihan.

“Jika memang tidak bisa berlanjut, aku harap penawaranmu adalah sebaik-baiknya pemikiran yang akan aku iyakan.”

“Tapi aku belum siap Di.”

“Genta, tidak ada seorang pun yang benar-benar siap akan kehilangan.”

“Aku tau Di, mungkin ini memang kegagalanku, aku gagal menjadi rumah bagimu, aku gagal menjawab semua pertanyaan-pertanyaanmu. Di, aku masih ragu untuk melepasmu. Namun jika memang itu yang kamu mau, aku harap berpisah denganmu adalah sebaik-baiknya jalan agar kamu bisa pergi dan kembali membangun rumah impianmu sendiri.”

“Akan selalu ada yang hilang dari setiap perpisahan, Ta. Aku tidak bisa berlama-lama memaksakan perasaanku, kita sudah terlalu jauh berbeda. And you deserve someone better than me.” Kulihat pandangannya kabur, sejenak ia menunduk, lalu menghela napas panjang. Desir angin cukup dingin malam ini, setidaknya aku ingin memeluknya dan meredamkan air matanya untuk terakhir kali. Dan aku menyesal, aku tidak bisa melakukannya malam itu.

February, 14

Seperti kereta dengan jalur yang beriringan, dialah yang mempertemukan kita dengan ribuan angin yang melayang berhamburan, mengantarkan kita untuk kembali pada malaikat kesepian. Roda kereta terus berputar. Bayanganku tiba-tiba sepi. Aku menjelma kehampaan, dan pohon-pohon akasia yang sepi turut gugur menyusuri kesunyian petang. Kulihat warna langit menjengukku dengan amat sedih. Lembaran jingganya mengingatkanku pada wajah yang tertinggal. Genta yang manis. Tidakkah aku terlalu sering menamparmu, berbicara dan berdebat perihal mana yang lebih baik antara berpisah atau bertahan dalam kesedihan. Seandainya aku dapat memiliki waktu lebih bersamamu.

Satu persatu, memori mulai berlompatan, menyusuri kembali ingatan-ingatan yang pernah bersinggungan. Terbesit  pemikiran, mungkin aku tidak akan bisa, kembali mencintai seseorang melebihi seuntai gerimis yang jatuh berlesatan, menuju arah ke selatan.

Rasanya, tiap kata adalah cerita, tiap cerita adalah kisah, tiap kisah adalah dirimu. Kenangan akan kota ini, yang bercerita tentang kisah yang telah usai. Kota yang akan kutinggalkan selama seribu tahun dan kucium dengan doa yang sunyi. Kita akan singgah bersama, kelak bila kita memang bertemu. Pertemuan berakhir, kau hadir membawa cerita, aku yang pergi membawa duka. Embun membasahi kaca kereta, menetes bersama linangan air mata, berharap angin membawa kabur ke ujung dunia, dunia yang masih sangat kejam mempermasalahkan perbedaan untuk menjadi penghambatku bersua denganmu. Kepercayaanku kembali hilang, teringat kembali kehidupan di tengah kehancuran dan reruntuhan. Tidak satu pun dari mereka yang benar-benar peduli akan hubungan kita, tidak satu pun dari mereka yang benar-benar bisa dipercaya.

Kali ini, aku memilih untuk pergi, pergi untuk kembali pada rumah yang akan kutinggali sendiri. Tidak di kota ini, tidak pada kekecewaan yang berulang kembali. Mungkin, tempatku memang bukan di sini, dan kisah kita memang harus berakhir seperti ini.

“Ta, I’m sorry, I can’t be your valentine.”