Oleh :  Rafid A Pradana

Ruangan tiba-tiba terasa dingin. Sudah dari jam 2 siang tadi aku keluar-masuk, naik-turun gedung ini. Gedung besar nan megah ini adalah tempatku bekerja sejak 2 tahun lalu. Gedung yang selalu bersih dan beraroma obat kimia ini merupakan tempat dimana mereka taruh dan rawat saudara-saudaraku yang kurang beruntung. Ya, orang-orang menyebut tempatku bekerja adalah rumah sakit, dan tidak, Aku bukanlah seorang dokter. Biar ku beritahu kamu apa pekerjaanku.

Aku bukan dokter, walaupun pernah sekali Aku berpikiran untuk menjadi dokter sewaktu SMA dulu. Bohong deh, aku selalu ingin menjadi dokter sejak aku kecil. Menggunakan jubah putih bersih yang hebat itu, dengan selalu tersenyum dan bermurah hati, adalah impianku sejak kecil. Tapi apadaya, setelah lulus SMA dan ingin melanjutkan pendidikan mengenai kedokteran di universitas dengan jaket kuningnya itu, Aku ditinggalkan oleh teman-teman yang lebih unggul dariku, baik secara materi maupun ilmunya. Kenapa materi? Soalnya dulu Aku tahu, dan bahkan Aku ditawari oleh “teman Ayah” untuk memenuhi uang sekian juta untuk dapat booking tempatku di sekolah itu. Aku tak tahu itu benar atau tidak, yang penting aku tidak berpikir untuk 2 kali menolak tawaran itu langsung.

“Kalau kau mau, Ayah bisa nak, menjual aset kita untuk kamu sekolah,” kata ayah sewaktu itu.

“Tidak Ayah, aku tak mau jadi dokter,” kataku bohong supaya Ayah tak khawatir.

Singkat kata, Aku melamar sekolah tinggi di kota kelahiranku untuk menjadi seorang perawat. Ku enyam pendidikan yang cukup menguras tenaga ini dengan sungguh-sungguh, walau tak menjadi dokter nantinya tak apa pikirku, yang pasti Aku akan membantu saudara-saudaraku sebisa dan semampuku. Luluslah Aku dan tibalah aku di tempat kerjaku sekarang, dan cerita hari ini adalah alasan mengapa Aku bersyukur dapat menjadi perawat.

==oo==

Hari ini Aku berangkat kerja seperti biasa, hari-hariku bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit ternama di pusat kota ini berawal dari pagi hari -karena Aku mengambil shift pagi hingga siang- dan berlanjut hingga siang hari. Tetapi hari ini sangat padat, rumah sakit mengalami rush hour-nya hari ini. Ada wabah epidemi yang melahap hampir 4 kecamatan, dan rumah sakit kami menjadi salah satu rumah sakit yang memiliki alat karantina yang lengkap serta sumber daya dokter di sini dapat diacungi 4 jempol.

“Syifa, kamu jangan pulang dulu ya nanti, kita dipanggil Bu Dian untuk menghadap,” Siti mengingatkanku ketika aku sedang melahap makanan istirahatku.

Aku siap menghadapi hari-hari seperti ini, sejujurnya kita sudah dilatih dan diberi edukasi mengenai hal-hal seperti ini, seperti ada kejadian bencana alam maupun epidemi seperti ini. Dan kita, sebagai perawat harus siap dan tetap tekun dalam merawat dan melayani setiap pasien.

“Sus, kaki saya mati rasa,”

“Suster, infus saya sudah mau habis,”

“Sus, Saya tidak mau disuntik, tolong,”

Beberapa contoh dan keluhan pasien yang harus kita hadapi dengan selalu senyum dan sabar, contoh tadi adalah contoh yang dapat Aku beritahu kamu, tidak sedikit juga keluhan yang keluar dari mulut pasien yang membuat kita para perawat harus extra menahan sabar. Tetapi apapun yang terjadi, aku yakin bahwa hal-hal seperti itu sudah sewajarnya terdapat pada setiap pekerjaan.

Selain harus sabar, tentunya fisik juga harus dipersiapkan jika hari-hari seperti ini datang. Ini adalah tips dariku jika kamu ingin menjadi tenaga perawat sepertiku, sering-seringlah olahraga saat masih muda -saat masih sempat- percayalah hal itu sangat berpengaruh, seperti saat ini, Aku kehabisan tenaga dan kehabisan nafas saat harus turun-naik keluar-masuk gedung.

“Syifa, di lobby sudah ada 3 pasien lagi yang harus masuk ruang dan diperiksa, sekarang juga,” perintah Mulan kepadaku.

Sudah lima kali total Aku, Siti, Mulan, dan kawan-kawan lainnya turun ke lobby di lantai 1 dan kemudian mengurusi 3 sampai 4 pasien sekaligus lalu naik lagi menuju lantai 6 untuk lapor dan menyiapkan ruangan serta menyiapkan peralatan untuk pasien yang dibawa dari lantai 1 tadi.

“Sus, Saya takut dengan suntik, jangan pake suntik ya sus,” iba anak ini yang kemudian kutahu bernama Dika, anak kecil yang harus memasuki ruangan karantina sendiri karena ibu dan bapaknya yang sudah memasuki ruang karantina terlebih dulu.

“Iya dek, nggak pake suntik-suntikan kok, adek tenang aja, istirahat yang banyak,” kataku menyemangati.

Lagi, lagi, dan lagi pasien terus berdatangan dan tidak terasa sudah 12 jam lewat Aku sudah berada di gedung ini. Belum sempat untuk mengabari Ayah dan Ibu di rumah mengapa aku tidak pulang.

“Sekarang sudah jam 12 lewat lan, kayaknya udah nggak ada lagi pasien yang akan masuk, Aku mau merem sebentar,” kataku kepada Mulan.

“iya Syif, Aku juga mau rebahan sedikit,” Mulan menjawab.

Benar saja, ketika telepon genggam yang kutinggal kuperiksa sudah ada panggilan tidak terjawab dari Ayah dan Ibu.

“Yah, maaf aku tidak segera mengabari, tapi ada epidemi di RS, dan Aku harus berada disini, mungkin sampai besok siang untuk RS sudah memiliki pengganti staff untuk kami,” pesan yang kukirim kepada Ayah.

Belum sempat Aku melihat jawaban Ayah, Bu Dian sudah memanggil Aku dan Mulan kembali kebawah karena sudah ada pasien lagi yang menunggu di lobby. Sambil menyembunyikan pegal yang tak bisa dihilangkan ini, Aku kembali lagi kebawah bersama mulan.

“Tak ada waktu lan, ayo kita kembali kebawah,” ajakku ketika Mulan sudah hampir terlelap.

Ternyata masih banyak yang harus dipersiapkan malam itu, tak sempat lagi Aku memeriksa apa jawaban Ayah, tak sempat lagi Aku, Mulan, Siti, dan kawan-kawan lain sekedar diam di tempat pada waktu lebih dari 10 menit. Karena rupanya, wabah epidemi ini sudah mulai menyebar ke hampir seluruh kecamatan yang ada. Oh Tuhan, sungguh kasian sekali saudara-saudaraku ini.

Bermalam kami dengan berdiri dan bertugas, hingga pagi tiba dan Aku melihat matahari lagi menyapaku.

“Sudah pagi lagi sit,” Mulan angkat suara.

“Iyaaaaa, aku juga tau lannn,” balas Siti dengan nada meledek.

“Haaaahh, aku ingin merem sedikit sajaa sit,” kembali Mulan berbicara.

“Aku jugaaaaa hey,” kataku tiba-tiba masuk ke percakapan mereka.

Akhirnya kami bertiga mencoba untuk menutup mata kami dengan menaruh kepala di tangan yang kami tempelkan pada meja resepsionist dekat ruangan para pasien di lantai 6 ini. Ah, sungguh nyaman sekali mataku ini, mulai memasuki duniaku sendiri, di dunia mimpi. Rasa pegal pada kaki dan perih pada mata yang sedari tadi sudah ku tahan-tahan sudah mulai terasa memudar sedikit, demi sedikit. Hingga tiba-tiba Aku dicolek oleh seseorang yang berpenampilan rapih, klimis dan wangi itu.

“Hey mbak, jangan tidur, ayo kerja!,” bentak Ia dengan nada tinggi yang sontak membuat kami semua kaget bukan main.

“Eh iya, iya pak,” gelagap Mulan saat masih setengah sadar.

“Sempat-sempatnya kalian tidur! Lihat itu masih banyak pasien diluar sana,” kembali bentaknya, lalu Ia tiba-tiba memutar ke sekerumunan orang yang aku yakini adalah para wartawan -mereka membawa microphone dan kamera- dan mengatakan bahwa kami adalah pekerja yang buruk, membiarkan pasien ditinggalkan

“Sudah ada aduan dari beberapa pasien, bahwasanya para perawat dan pekerja disini sangat tidak bisa diandalkan,” kata pria itu kepada para wartawan yang ada.

Pria necis yang kemudian aku tahu adalah seorang pejabat penting di kotaku itu tampak tak senang, Ia menangkap basah kami sedang tertidur dan tidak melihat kami sedang bekerja. Jadi Ia marah-marah dan memberitahukannya kepada wartawan untuk mengambil foto kami dan kami disuruhnya untuk berdiri tegak dan menunduk sambil memikirkan perbuatan yang telah kami perbuat.

Kami semua menuruti perkataanya, dan tak ada satupun dari kami yang berbicara bahwa kami bekerja dari kemarin paginya. Bukan karena kami takut atau apa, tapi kami memang sudah sangat penat dan cape untuk sekedar beradu argumen dengan orang-orang seperti ini, biarlah kataku, toh pertanggung jawabanku ada pada bu dian, ada pada para pasien, ada pada Tuhan. Biarlah orang ini berkata apapun semau dia, toh dia sepertinya senang berbicara yang buruk mengenai kami dan selalu berbicara bagaimana seharusnya kita bekerja.

“Kita itu adalah pelayan rakyat, kita harus melayani mereka,” pria itu berbicara dengan nada yang sangat meyakinkan kepada para wartawan.

“Sudah pulang kalian sana,” perintahnya kepada kami dan memang kami berencana pulang karena memang sudah menuju siang dan staff pengganti yang disiapkan oleh rumah sakit sudah tiba. Hingga sampai rumah, dan melihat berita-berita yang beredar, Aku tahu dan mengerti bahwa yang pria itu lakukan adalah untuk pencitraan yang dilakukannya atas motif pencalonan kembali dirinya pada pilkada ini, semoga Aku salah mengenai hal itu.

==oo==

Aku sedang santai menunggu di tempat resepsionis, saat berita terkini muncul pada layar televisi yang ditonton oleh kawan-kawanku. Berita yang berisikan bahwa pria yang pernah menegurku dan teman-teman saat dirumah sakit 1 tahun yang lalu itu tertangkap oleh lembaga anti korupsi negara ini. Diberitakan juga bahwa Ia menerima suap untuk pengembangan anggaran kota kami ini. Tak habis pikir kataku, sudah berkata yang baik-baik pada wartawan dan mengatakan kami yang tidak melayani rakyat katanya. Apanya yang melayani rakyat?