
oleh: Alluragilius Whichisae
Aku kembali melirik meja di depan kelas sambil mengontrol wajahku agar tetap tenang. Dosen nyentrik itu masih asyik dengan dokumen di tabletnya. Ini kesempatan untuk kembali melancarkan aksiku.
“Display,” ucapku pelan disusul kedutan di sekitar telingaku yang disebabkan kacamata yang kugunakan. Kacamata ini kemudian menayangkan apa yang sedang dilihat oleh Arya di seberang ruangan. Rupanya anak itu sudah menyelesaikan seperempat soal ujian.
Hari ini hari pertama ujian tengah semester di kampusku. Mata kuliah yang kami hadapi tidak main-main yaitu Numerik dan Geometri Analitis. Jangan tanya mata kuliah macam apa ini. Yang kutahu, mata kuliah ini adalah gabungan dari kalkulus dan metode numerik sepuluh tahun lalu.
Tiba-tiba terasa kedutan lagi di sekitar telingaku dan apa yang tadi ditayangkan kacamata ini menghilang. Pasti si Arya menyalakan mode displaynya. Aku dengan cepat menulis beberapa kata di kertas ujian “Gue belom beres nyonteknya, oi -_-,”
Tulisku lengkap dengan emoji di belakang. Arya, dia dengan bodohnya terkikik sendiri dan suara kikikannya itu bahkan terdengar sampai ke mejaku. Anak itu memang ganteng dan pintar, tapi sayang dia benar-benar tidak bisa diandalkan dalam hal serius.
Oke, lupakan dengan tidak bisa diandalkan tadi. Arya selagi membuat ulah barusan ternyata tidak lupa mengubah mode kacamatanya ke record. Saat ini aku kembali bisa melihat kertas ujiannya yang sudah mulai terisi setengahnya.
Dengan penuh semangat aku mulai mengisi lembar jawabanku. Ya, lembar jawaban dalam bentuk kertas. Meskipun jaman sudah berubah dan segala sesuatu telah bertranformasi ke arah digital, tetap saja kampus biru tercintaku ini menggunakan kertas dalam setiap ujian. Katanya sih agar menjadi ciri khas dan tidak melepaskan budaya lama. Duh, padahal kampus ini juga yang paling gencar melancarkan aksi ‘Selamatkan Pohon untuk Anak dan Cucu Kami’.
“Rese banget, lu ga belajar? Ini mah namanya bukan kerjasama dodol :(,” tulis Arya pada lembar jawabannya. Sekarang aku yang berusaha untuk tidak tertawa ataupun merubah ekspresi wajahku karena tulisan Arya. Dia seharusnya sudah tahu aku tidak mungkin belajar untuk mata kuliah yang tidak bisa dipelajari ini. Iya, tidak bisa dipelajari. Tidak manusiawi. Aku ingin menangis rasanya.
“Record,” aku mengubah mode kacamataku “Maap yak, ntar gue jajanin ucapan terimakasih deh janji :*,” kemudian mulai menulis balasan untuk Arya. Emot terakhir memang agak menjijikan, tapi aku sudah biasa menggunakannya, apalagi ke sesama jenis. Bukan kelainan, tapi kalau aku memberikan emot itu ke cewek, justru akan dibilang pervert. Atau mungkin hanya aku yang belum pernah pacaran ini yang berpikiran seperti itu. Entahlah.
“Gajah, Arya,”
Aku membeku. Si dosen nyentrik memanggil namaku dan Arya secara tiba-tiba. Kenapa? Ada apa? Aduh, aku benar-benar panik.
“Kalian membeli kacamata couple itu di mana?” lanjut di dosen nyentrik bernama Pak Jovi yang kemudian disusul gumaman bingung dan geli dari seisi kelas. Kenapa dia harus menggunakan kata ‘couple’ sih.
Aku yang mendengarnya hanya bisa menelan ludah sebelum kemudian melirik ke arah Arya yang tengah menggaruk-garuk lehernya. Apa pertanyaan dosen nyentrik itu perlu kujawab?
“Beli di mana, Arya?” Pak Jovi mulai berjalan mendekati Arya. “Saya suka sekali modelnya. Bahkan bautnya saja bisa berupa lensa,” tambahnya.
Dengan bodohnya, Arya refleks menyentuh kacamata miliknya. Ya ampun, manusia itu benar-benar tidak bisa diharapkan. Sudah sangat jelas kami ketahuan, dan gerakannya itu menegaskan bahwa yang dikatakan Pak jovi memang benar.
“Gajah,” panggil Pak Jovi.
Kenapa dia harus memanggil aku? “Bisa kamu jelaskan kenapa dua buah kacamata yang bautnya berupa lensa sampai memerlukan koneksi wifi?”
Selesai sudah. Dia benar-benar sudah tahu. Tentu saja. Ini kesalahanku. Aku lupa memperhitungkan kemungkinan dosen pengawas menggunakan Connection Tracker. Smartphone kami memang sudah diamankan satu persatu, jadi kupikir kemungkinan pengawas melacak koneksi kecil.
“Kenapa tidak dijawab?” tanyanya kemudian. Aku menghela nafas sebelum kemudian melihat ke arah Pak Jovi sambil memasang ekspresi sedih. Yang dilihat malah tertawa sebelum kemudian mengarahkan remote di tangannya ke arah pintu sampai terbuka.
“Silahkan menghadap Pak Eddy untuk temuan baru kalian ini,” ucapnya riang. Berkebalikan dengan apa yang akan aku dan Arya hadapi. Selesai sudah, nilai UTS kami dapat dipastikan adalah nol. Lebih kecil dari satu.