Oleh : IRF

Usai mandi kilat beberapa menit lalu aku langsung melompat keluar rumah dan berniat pergi berjalan-jalan sebentar menikmati udara malam di luar. Aku bosan setengah mati karena tidak melakukan apapun sepanjang hari. Hari ini panas dan matahari terik sekali bersinar, rambutku bisa rontok jika tetap nekat keluar rumah.

Berbeda dengan tadi siang, malam ini angin cukup kencang berhembus dan lagi jalan di sekitar kompleks sepi sekali. Eh, kalau tidak salah ingat, hari ini malam Jumat, ‘kan?

“Mati aku.”

Aku menoleh ke kanan dan kiri lalu terjengkang karena terkejut mendengar klakson mobil Mr. Harris di ujung jalan. “Ah, sialan!” aku memaki. Orang waras mana yang hampir tengah malam begini membunyikan klakson berkali-kali? Hah, pasti orang tua itu mabuk lagi.

Aku menghela napas berat membayangkan bagaimana setiap harinya Mrs. Harris harus menyambut suami temperamentalnya yang sedang mabuk berat di rumah. Membayangkannya saja membuat semua buluku merinding. Apa sih sebenarnya yang salah dengan manusia-manusia itu? Kenapa Tuhan terkadang menciptakan manusia yang terlalu baik seperti Mrs. Harris, tetapi di sisi lain tidak menyingkirkan manusia seperti Mr. Harris?

TIN TIN!

Lagi-lagi Mr. Harris membunyikan klakson mobilnya dan aku bisa melihat dari kejauhan mobilnya berjalan sambil oleng ke kanan dan kiri, lalu mulai berjalan mendekat ke arahku.

Heh? Ke arahku?

“Oh, sial.” Aku memasang kuda-kuda dan melompat setinggi-tingginya yang aku bisa.

BRAK!

Ups.

Mobil Mr. Harris berakhir menabrak tiang listrik, kap depan mobilnya terbuka dan ada asap yang mengepul dari sana. Aku menimbang-nimbang apakah aku harus mengecek atau pergi saja dari sini. Toh apa juga hal berguna yang bisa dilakukan olehku?

Aku memutuskan berjalan mendekat hanya untuk mengecek bagaimana keadaan pria itu. Aku meloncat ke atas tong karatan supaya pandanganku bisa menjangkau Mr. Harris. Ah, ada satu berita buruk dan berita baik. Berita buruknya pelipis kiri Mr. Harris sedikit robek dan ada darah keluar dari sana, berita baiknya pria itu masih hidup, kok.

Karena tidak ada yang harus aku khawatirkan—dan lagi pula kenapa aku harus khawatir?—aku meluncur turun dari atas tong karatan ini dan melanjutkan kegiatan jalan-jalanku yang tadi terganggu.

ooo

“Hey, Sugar.”

Aku menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namaku. Ah, jangan tertawa, jangan kira aku suka dengan nama itu. Sejujurnya aku tidak mengerti juga bagaimana bisa nama Sugar bisa diberikan kepadaku. Yah, terdengar menggelikan bagaimana teman-temanku selalu memanggilku ketika teh yang mereka minum kekurangan gula.
Tenang, aku sedang tidak melucu. Ini benar dan ya, Hedric yang selalu melakukan itu padaku.

Aku melihat Lovely keluar dari balik pagar besar berwarna hitam. Dari sekian nama yang aku tahu, nama makhluk yang sedang berdiri di depanku adalah yang paling menggelikan, hahaha. Bagaimana bisa ia diberikan nama Lovely ketika kepribadiannya tidak ada lovelylovely-nya sama sekali. Kerjaannya setiap hari hanya berlari-lari, merusuh, dan mencakar semua hal.

“Ayo masuk,” Lovely berbicara kepadaku. Aku tidak langsung menjawab dan hanya memandanginya dengan heran.

“Ada apa memangnya?”

“Aku punya banyak makanan di dalam rumah.”

Mataku langsung seketika bersinar-sinar mendengar Lovely mengucapkan kata “makanan” barusan. Wah, kebetulan sekali aku sudah mulai lapar.

Lovely sudah berjalan lebih dulu di depanku dan aku mengekor patuh di belakangnya. Kami melewati jalan utama lalu menuju dapur di bagian belakang rumah. Aku menggesek-gesekkan kakiku yang mulai gatal karena beberapa semut hitam hinggap di atasnya. Duh, kenapa juga harus lewat rumput ketika ada jalan setapak, sih?

Tidak lama aku dan Lovely sampai di dapur. Lovely berbelok dan berhenti di balik meja makan lalu menunjuk piring yang masih penuh berisi makanan dengan dagunya, “Bantu aku habiskan ini, ya, Sug.”

Sebenarnya aku mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Lovely, tapi aku tidak berniat menjawab karena tergiur melihat paha ayam yang terlihat lezat di atas piring itu. Dan untuk pertanyaannya, tentu saja! Aku akan dengan senang hati menghabiskan semua makanan ini.

“Habis ada perayaan apa, sih? Kenapa makanannya banyak sekali?” aku menggigit daging paha ayam itu sambil sesekali melirik kepada Lovely.

“Ya, biasa, lah,” jawab Lovely sambil menekan remote TV dengan kakinya. Ah, dia tidak ikut makan karena sudah kekenyangan duluan. Dan katanya ia terbebani untuk makan banyak karena namanya.

Menggelikan bukan makhluk ini?

“Ah, Alice diet lagi?”

“Hm,” Lovely mengiakan. “Katanya cowok yang dia taksir di sekolah tidak suka cewek gendut,” Lovely menjawab sekenanya.

“Kenapa acara TV sekarang tidak ada yang bagus, sih?” umpatnya.

“Hah? Gendut?” aku menganga, urung memasukan daging ayam lagi ke dalam mulut, “Alice sudah kurus kering kerontang seperti itu dan dia masih merasa gendut? Ya Tuhan.”

Lovely hanya mendecih dan tertawa.

“Kau tahu tidak, Luv?”

“Apa?”

“Kemarin aku pergi jalan-jalan sampai ke kampung di belakang kompleks ini.”

Atensi Lovely berganti dari televisi menuju padaku. Tatapannya seolah-olah mengatakan kau sudah gila?!

“Ayolah, di sana seru. Kau bisa main lumpur sesukamu tanpa ada yang memarahi.” Aku tersenyum bangga karena berhasil melakukan sesuatu yang pastinya tidak pernah dilakukan Lovely. Makhluk elit ini juga mana sudi main sampai ke kampung.

“Jangan bilang kau pergi ke rumah Bandit lagi?”

Aku terkekeh pelan, “Tapi bukan itu yang mau kuceritakan padamu.” Aku mulai memasang wajah serius.

“Lantas?”

“Aku sudah cerita soal Ana, ‘kan?”

“Ah, cewek mungil yang tinggal di rumah Bandit itu, ‘kan?”

Aku mengangguk, “Kau tahu kalau orang tua Ana berjualan plastik di pasar?” Lovely menggeleng, “Benarkah?”

Aku mengangguk lagi, “Kemarin ketika aku main ke rumah Bandit, Ana, ayah dan ibunya harus makan satu bungkus nasi bertiga, dan hebatnya mereka masih mau berbagi kepadaku dan Bandit.”

Lovely diam tidak merespon pertanyaanku, “Sedangkan disini mereka membuang-buang makanan hanya karena alasan diet. Padahal makanan sebanyak ini bisa diberikan kepada manusia-manusia yang kelaparan di luar sana. Aku yakin kalau tadi aku tidak lewat di depan rumahmu, makanan ini akan berakhir di tong sampah.”

Aku menghela nafas berat, “Kau tahu kenapa aku suka sekali ada di kampung belakang dari pada di kompleks perumahan mewah ini? Karena mereka hidup dengan berbagi, Luv. Aku bisa melihat rasa memiliki mereka meski hanya tinggal di rumah yang ukurannya hanya sepertiga rumah ini.

Mereka bahagia dengan selalu bersyukur, meski aku pun tahu hidup Bandit, Ana, dan keluarganya serba kekurangan. Aku hanya beberapa hari di sana, tapi coba tebak, aku tidak pernah kesepian sedikit pun. Setiap pulang sekolah Ana akan selalu bermain bersamaku dan Bandit. Tapi Sally tidak, ia malah mengacuhkanku dan seharian bermain dengan ponsel atau laptopnya. Aku bertaruh Alice juga seperti itu, ‘kan?”

Aku berhenti sebentar lalu melirik ke arah TV yang sedang menampilkan iklan. Ah, aku ingat tadi siang ketika aku sedang tidur di samping Sally, gadis itu meminta benda berkilauan seperti yang ada di iklan itu kepada Ayahnya. Sesuatu dengan gambar apel di belakangnya, yah seperti itu, lah, pokoknya.

“Tapi,” mendadak Lovely bersuara. “Bagaimana kalau ternyata Alice memberikan makanan ini padaku agar aku tidak kelaparan? Mungkin dia memang sengaja memberikan ini padaku.”

“Memberikan makanan padamu agar tidak kelaparan? Hey, kau lupa berpuluh-puluh whiskas di lemari makan itu untuk siapa?!”

– End-