oleh : Danti
Kalau dunia bisa ku bolak-balik akan Aku mainkan semauku. Kalau saja bumi hanya dipimpin satu orang dan itu Aku, akan Aku pimpin seidealku. Kalau Aku bisa melakukan semua yang ku mau, pasti akan ku lakukan. Sayang kesempatan ini sudah lewat. Itu semua akan Aku lakukan kalau kesempatan hidupku yang sekali ini tidak terbuang sia-sia. Ketika nanti badanku tergeletak di tengah jalan dengan darah segar mengalir dari dadaku, pasti akan ada yang berteriak-teriak minta bantuan untuk menyingkirkan badanku. Bukan takut terinjak, hanya menghalangi. Tinggal selangkah sampai kawan-kawanku yang ku temui tadi pagi untuk bisa masuk ke parlemen.
Pagi tadi Aku masih memegang karton dengan tulisan seadanya, tulisannya merah dengan kalimat menuntut. Kalau temanku menuliskan kalimat umpatan, tapi Aku tidak akan melakukannya. Ibuku mengajarkan jangan berkata kasar dan sampai Aku memakai almamater pun tidak terbiasa berkata kasar, Aku masih ada nurani. Kasihan mereka yang kita maki juga memiliki keluarga dan pasti akan sakit sekali melihat keluarga kita dimaki. Aku sebisa mungkin memperlakukan mereka secara manusiawi. Karena prinsipku adalah kalau Aku berbuat baik pada orang maka dia akan berbuat baik padaku. Tapi, sepertinya itu tidak berlaku untuk objek dari kartonku ini.
Ketika matahari mulai beranjak naik, Aku akan berjalan kaki ke titik kumpul. Banyak yang berseragam, banyak yang memakai merah putih, banyak asongan juga. Temanku akrab menyapa orang-orang yang ada di kanan kirinya. Aku hanya akan tersenyum dan mengangguk ketika mereka berucap. Kalian tahu kan maksud dari tersenyum dan mengangguk itu? Aku ingin semua cepat selesai, cepat pergi dari sini. Di sana pasti panas. Panas matahari ditambah panas emosi jadi panas darah. Mereka yang panas darah menggebu-gebu melontarkan tuntutan, tangan di atas kepala sambil mengepal. Aku lama-lama jadi anak bebek, mengikuti semua yang akan mereka lakukan.
Sampai akhirnya kami ke tempat tujuan terakhir. Aku pasti akan gemetaran melihat pasukan tentara bersenjata lengkap sedangkan aku jadi bonek dadakan. Segala sesuatu yang biasanya aku tonton atau baca sekarang ada di depan mataku. Peluh yang turun memerihkan mataku kalah dengan rasa takut yang menguasai badanku. Temanku berteriak sampai ujung tenggorokannya, Aku menirunya dan berteriak sampai kupikir besok pasti butuh jeruk nipis dan kecap asin.
Sesekali Aku meresapi makna apa yang akan terjadi hari ini. Aku sampai berpikir, apa kami yang dari berbagai golongan bisa ajaib memiliki pemikiran yang sama? Kami punya sesuatu yang dituntut pada parlemen. Kami memilih memberontak bersama menuju kesejahteraan. Kami berjuang atas nama rakyat bangsa. Kami merasa jadi pembela kebenaran yang melawan kebajikan. Aku tersenyum kecil membayangkan harusnya tadi pagi pakai kostum satria baja hitam saja.
Baru saja Aku mengangkat kepalaku saat rombongan kami mulai merusuh. Kami mendorong, berteriak, semuanya tersulut api kemarahan, dan saat baru saja Aku hendak lari ada tembakan gas air mata ke arah kami. Sekali, dua kali, tiga kali. Sampai yang ketiga ketika Aku hendak angkat kaki, ada peluru panas menembus dada kiriku. Tanganku pasti akan langsung menyentuh dadaku, lalu kakiku lemas sehingga jatuh tersungkur. Aku coba menarik napas tapi dadaku mulai sesak. Aku seperti kucing yang dibuang dalam karung ke sungai.
Aku pikir lebih enak mati terbaring di kamar hotel dengan wanita di kanan kiriku. Alas terakhirku harusnya bukan jalanan aspal, dan yang mengelilingiku harusnya bunga mawar merah bukan darah segar merah. Itu bisa terjadi kalau saja Aku selamat pagi itu. Tapi sudah ku duga akan seperti ini. Ini semua sudah ku persiapkan jauh lebih matang ketika Aku akan ujian nasional, surat untuk Ibuku yang tadi malam aku tulis ku pegang erat.
“Oy udah belom?” kata temanku membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap kaget, hampir saja wajahku dan wajahnya bertabrakan
“Eh iya bentar lagi,” kataku cepat. Mataku kembali pada karton yang hendak aku tulis. Sebenarnya sudah ku tulis apa yang ku mau, tapi Aku masih mengulur-ulur waktu.
“Ayok cepet yang lain udah pada nunggu,” kata temanku tak sabar. Dia bangun dari duduknya lalu bersiap-siap pergi. Almamaternya, topinya, tas ranselnya, semua sudah siap. Tapi aku tidak. Tiba-tiba saja nyaliku hilang. Aku memasukkan tanganku ke saku almamater dan menemukan secarik surat. Surat perpisahan yang hendak aku taruh di meja Ibuku. Aku jadi semakin takut.
“Lo duluan deh,” kataku
“Hah? Maksud lo?” temanku melongo heran
“Kayaknya gue gak jadi ikut demo,” kataku. Aku mengecilkan suaraku sekecil mungkin berharap Ia tidak mendengarnya. Tapi temanku hanya terdiam lalu menghela napas.
“Yaudah terserah lo. Gue pengen bilang lo cupu tapi ini juga pilihan lo. Gue gak bisa maksa,” katanya. “Gue duluan. Assalamualaikum.”
Ia lalu berbalik dan keluar dari rumahku. Aku melihatnya berjalan dengan percaya diri setinggi langit. Ia seperti Batman yang hendak membasmi kejahatan, sangat jantan. Kalau saja dia masih hidup dan selamat, dia akan jadi politisi yang dielukan masyarakat. Sayang dia mati pagi itu.
sumber gambar: clipartpanda